Saudaraku yang semoga
senantiasa dijaga oleh Alloh ta’ala. Tahun 2014 adalah tahun politik. Tahun
2014 adalah tahun bagi kita untuk memilih pemimpin-pemimpin kita, baik itu
wakil rakyat di DPRD dan DPR, maupun presiden Negara yang kita cintai ini;
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tentu, kita berharap memiliki pemimpin yang
baik, yang adil, dan yang senantiasa berjuang untuk mensejahterakan rakyatnya.
Bagaimanakah ciri-ciri pemimpin yang ideal itu? Ada baiknya kita menelaah ayat
al-Qur`an yang memberikan panduan tentang bagaimana profil pemimpin yang ideal.
Bukankah al-Qur`an adalah petunjuk bagi manusia?
Di dalam al-Qur`an surat
an-Nahl ayat 120-122, Alloh ta’ala menjelaskan bahwa profil pemimpin yang ideal
itu ada di dalam diri Nabi Ibrahim ‘alahissalam.
“Sesungguhnya
Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan, lagi patuh kepada
Alloh dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang
mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Alloh, Alloh
telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan
kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar
termasuk orang-orang yang shaleh.”
Dari ayat al-Qur`an tersebut
kita bisa mengambil pelajaran bahwa pemimpin yang ideal itu minimal memiliki
tiga ciri, yaitu; (1) patuh kepada Alloh, (2) hanif, dan (3) pandai bersyukur.
Pertama,
patuh kepada Alloh ta’ala.
Seorang pemimpin haruslah
orang yang patuh kepada Alloh ta’ala. Dia senantiasa taat menjalankan
perintah-perintah Nya. Baik perintah yang berhubungan langsung dengan Alloh
ta’ala seperti sholat dan puasa, maupun perintah yang berkaitan dengan hubungan
sesama manusia seperti zakat, shodaqoh, memuliakan tetangga, dan berlaku jujur.
Dia senantiasa meninggalkan larangan-larangan Nya seperti syirik, mencuri,
berbohong, berkhianat, dan berbuat dholim kepada orang lain . Oleh karena itu
sebelum memilih seorang pemimpin, kita harus berusaha mengenal dia, mengetahui
rekam jejak kehidupannya. Bagaimana kehidupan sehari-harinya? Bagaimana sholatnya,
zakatnya, dan puasanya? Apakah dia sering terlihat melakukan ma’shiat? Bagaimana
sikapnya kepada tetangga? Apakah dia pernah melakukan korupsi? Apakah dia
pernah atau bahkan sering terlibat kasus kriminal?
Ada sebuah syair:
Jika kepada Sang Penguasa
jagat raya saja dia tidak patuh,
siapa lagi?
Jika kepada Sang Penggenggam
nyawa manusia saja dia tidak takut,
siapa
lagi?
Kedua,
hanif.
Arti kata ‘hanif’ adalah lurus berada di jalan
kebenaran, menyimpang dari jalan yang salah menuju jalan yang benar. Makna kata
‘hanif’ ini secara eksplisit
dijelaskan oleh Alloh ta’ala di dalam ayat selanjutnya, ‘sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan [Tuhan]’
(an-Nahl: 121). Senada dengan keterangan ayat ini, Imam Ibnu Katsir dalam
tafsir beliau menjelaskan bahwa makna ‘hanif’
adalah ‘menyimpang dari syirik menuju
tauhid’. Jadi memang, orang yang beragama Islam semestinya memilih pemimpin
yang beragama Islam. Ini bukan masalah SARA atau bagaimana. Tapi memang
begitulah semestinya. Dalam agama Islam, kepemimpinan bukan hanya sarana untuk
mencapai kesejahteraan di dunia. Tapi yang justru lebih penting, adalah keselamatan
di dunia dan akhirat. Tidak ada yang bisa menjamin keselamatan seseorang di
dunia dan akhirat kecuali berpegang teguh kepada agama tauhid; agama Islam.
“Sesungguhnya
orang-orang yang kafir dari golongan ahli kitab dan kaum musyrik berada di
dalam neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itulah seburuk-buruk
makhluq.” (QS. Al Bayyinah: 6)
Mungkinkah seorang pemimpin
yang musyrik bisa memimpin rakyatnya untuk senantiasa bertauhid?
Ketiga,
pandai bersyukur.
Seorang pemimpin haruslah
orang yang pandai bersyukur; senantiasa mengakui bahwa apa yang dia miliki
adalah pemberian dari Alloh ta’ala dan memperlihatkannya dalam perkataan dan
perbuatannya. Lisannya basah dengan ungkapan pujian kepada Sang Maha Pemberi.
Dalam berperilaku dia senantisa menggunakan anugerah pemberian Alloh ta’ala itu
untuk hal-hal yang sesuai dengan aturan-Nya. Dia merasa bahwa jabatan yang ia
miliki adalah pemberian Alloh ta’ala, sekaligus sebagai ujian baginya. Dia
mensyukuri hal itu dengan senantiasa menggunakan jabatannya untuk ta’at
kepada-Nya, untuk mensejahterakan rakyat yang ia pimpin. Pemimpin seperti ini
jauh dari sifat rakus, tamak, dan korup. Seseorang yang lebih suka untuk
memperkaya diri sendiri, mementingkan urusan diri sendiri, tidak layak untuk
menjadi seorang pemimpin. Begitu juga orang yang dengan tanpa risih bergaya hidup
mewah di tengah-tengah rakyatnya yang masih terjerat kemiskinan, tidak pantas
menjadi pemimpin.
Pemimpin
yang tahan banting
Di dalam ayat yang lain,
Al-Baqoroh [2]:124, Alloh ta’ala menyampaikan bahwa pemimpin yang ideal lahir
dari sebuah poses ujian yang berat. Seperti itulah Nabi Ibrohim ‘alaihissalam.
“Dan
(ingatlah), ketika Ibrahim AS diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah
dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Alloh berfirman: ‘Sesungguhnya Aku
akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia’. Ibrahim berkata: ‘(Dan saya mohon
juga) dari keturunanku’. Alloh berfirman: ‘Janji-Ku (ini) tidak mengenai
orang-orang yang dholim’.”
Diantara ujian yang telah
dilalui oleh Nabi Ibrahim adalah beliau hidup di tengah masyarakat yang
menyembah berhala. Bahkan Rajanya pun adalah seorang penyembah berhala. Beliau
berdebat dengan masyarakat tentang siapakah Tuhan yang sebenarnya, Tuhan yang
layak disembah. Hingga beliau berjuang dengan menghancurkan berhala-berhala
yang berakibat beliau dibakar hidup-hidup oleh kaumnya. Dan pada akhirnya
beliau harus pergi dan keluar dari kampung halamannya. Nabi Ibrohim juga diuji
oleh agar melakukan khitan pada usia yang senja. Selanjutnya beliau diuji harus
berpisah dari istri dan anaknya. Meninggalkan mereka berdua di sebuah lembah
yang tandus, yang sepi dari hilir mudik manusia. Dan pada puncaknya beliau
diperintah oleh Alloh ta’ala untuk menyembelih anak kesayangannya, Nabi Ismail ‘alaihissalam. Ujian yang datang
bertubi-tubi tersebut dijalani oleh Nabi Ibrahim dengan keyakinan yang mantap
dan ketegaran yang kokoh. Beliau pun lulus ujian dan diberi penghargaan oleh
Alloh ta’ala:
‘Sesungguhnya
Aku akan menjadikanmu imam (pemimpin) bagi seluruh manusia’
Oleh karena itu, seseorang
yang lembek, tidak tahan uji, dan gampang mengeluh, tidak pantas dan tidak
layak untuk menjadi seorang pemimpin. Bagaimana mungkin seseorang yang lemah
bisa menjadi tumpuan hidup dan tempat bergantung bagi masyarakat yang ia
pimpin?
Orang
yang dholim tidak layak menjadi pemimpin
Ketika mengetahui bahwa
Alloh ta’ala hendak menjadikan beliau sebagai pemimpin bagi umat manusia, Nabi
Ibrohim pun berdoa, ‘(Dan saya mohon
juga) dari keturunanku’. Doa beliau ini dikabulkan oleh Alloh ta’ala. Nabi
Ya’kub, Nabi Yusuf, Nabi Dawud, Nabi Sulaiman dan seluruh nabi Bani Israil
adalah keturunan beliau. Begitu juga Nabi Ismail dan Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam. Mereka
semua menjadi imam, pemimpin, dan panutan bagi umat manusia.
Namun Alloh ta’ala menggarisbawahi,
‘‘Janji-Ku (ini) tidak mengenai
orang-orang yang dholim’. Dalam ayat tersebut Alloh ta’ala menyampaikan
kepada Nabi Ibrohim dan seluruh umat manusia bahwa orang yang dholim tidak
layak menjadi pemimpin. Dholim berarti
gelap, menganiaya; baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Contoh dholim kepada diri sendiri; syirik,
meninggalkan kewajiban pribadi seperti sholat dan puasa. Sedangkan contoh dholim kepada orang lain adalah
melanggar janji, melanggar hak orang lain, menipu, melakukan riba, menghina dan
menyakiti orang lain. Dholim adalah
melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan seharusnya, meletakkan sesuatu bukan
pada tempatnya. Lawan kata dari dholim adalah adil.
Seorang yang jelas-jelas
suka berbuat dholim tidak layak untuk
menjadi pemimpin. Bagaimana mungkin seorang yang dholim bisa memimpin dengan adil?
Pemimpin
yang dholim lahir dari masyarakat yang dholim
Saudaraku yang semoga
senantiasa dijaga oleh Alloh ta’ala. Namun perlu kita mengerti bahwa pemimpin
itu adalah cermin dari suatu masyarakat. Profil pemimpin merupakan gambaran
dari jati diri masyarakat yang dia pimpin. Bukankah pemimpin itu adalah bagian
dari masyarakat? Bukankah anggota DPRD dan DPR, serta presiden itu yang memilih
adalah rakyat?
Jika masyarakat suka berbuat
dholim, tidak takut kepada Alloh, senang melanggar aturan agama, suka berbuat
curang, saling bermusuhan, maka layaklah masyarakat tersebut dipimpin oleh
pemimpin yang (juga) dholim, kejam, dan tidak mengenal kasih sayang kepada rakyatnya.
Firman Alloh ta’ala:
“dan demikianlah Kami kuasakan sebagian orang-orang yang dholim
kepada sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka kerjakan.” (QS.
Al-An’am: 129)
Oleh
karena itu, salah satu cara agar kita memiliki pemimpin yang adil adalah dengan
cara kita senantiasa berlaku adil dalam kehidupan sehari-hari. Baik adil kepada
diri sendiri, maupun adil kepada orang lain. Jangan sampai kita memilih seorang
pemimpin hanya karena dibayar 100ribu atau 200ribu. Jangan sampai kita cuma ‘enak satu hari’ kemudian ‘sengsara selama 5 tahun’. Jangan sampai
kita menjual suara kita, karena kelak mereka akan menjual diri kita. Mari
menjadi masyarakat yang cerdas. Mari memilih pemimpin yang ta’at kepada
Alloh, hanif, pandai bersyukur, tahan
banting, dan senantiasa berlaku adil.
Mari
kita berdo`a bersama;
“Wahai
Tuhan kami, jangan biarkan kami dipimpin oleh orang-orang yang tidak meyayangi
kami….”
Amien…
Wallohu a’lam bi ash-showab.
[tije/alumni PBSB Kemenag RI]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar