Selasa, 15 April 2014

Mendamba Pemimpin Yang Adil



Saudaraku yang semoga senantiasa dijaga oleh Alloh ta’ala. Tahun 2014 adalah tahun politik. Tahun 2014 adalah tahun bagi kita untuk memilih pemimpin-pemimpin kita, baik itu wakil rakyat di DPRD dan DPR, maupun presiden Negara yang kita cintai ini; Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tentu, kita berharap memiliki pemimpin yang baik, yang adil, dan yang senantiasa berjuang untuk mensejahterakan rakyatnya. Bagaimanakah ciri-ciri pemimpin yang ideal itu? Ada baiknya kita menelaah ayat al-Qur`an yang memberikan panduan tentang bagaimana profil pemimpin yang ideal. Bukankah al-Qur`an adalah petunjuk bagi manusia?
Di dalam al-Qur`an surat an-Nahl ayat 120-122, Alloh ta’ala menjelaskan bahwa profil pemimpin yang ideal itu ada di dalam diri Nabi Ibrahim ‘alahissalam.
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan, lagi patuh kepada Alloh dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Alloh, Alloh telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang shaleh.”
Dari ayat al-Qur`an tersebut kita bisa mengambil pelajaran bahwa pemimpin yang ideal itu minimal memiliki tiga ciri, yaitu; (1) patuh kepada Alloh, (2) hanif, dan (3) pandai bersyukur.
Pertama, patuh kepada Alloh ta’ala.
Seorang pemimpin haruslah orang yang patuh kepada Alloh ta’ala. Dia senantiasa taat menjalankan perintah-perintah Nya. Baik perintah yang berhubungan langsung dengan Alloh ta’ala seperti sholat dan puasa, maupun perintah yang berkaitan dengan hubungan sesama manusia seperti zakat, shodaqoh, memuliakan tetangga, dan berlaku jujur. Dia senantiasa meninggalkan larangan-larangan Nya seperti syirik, mencuri, berbohong, berkhianat, dan berbuat dholim kepada orang lain . Oleh karena itu sebelum memilih seorang pemimpin, kita harus berusaha mengenal dia, mengetahui rekam jejak kehidupannya. Bagaimana kehidupan sehari-harinya? Bagaimana sholatnya, zakatnya, dan puasanya? Apakah dia sering terlihat melakukan ma’shiat? Bagaimana sikapnya kepada tetangga? Apakah dia pernah melakukan korupsi? Apakah dia pernah atau bahkan sering terlibat kasus kriminal?
Ada sebuah syair:
Jika kepada Sang Penguasa jagat raya saja dia tidak patuh,
siapa lagi?
Jika kepada Sang Penggenggam nyawa manusia saja dia tidak takut,
siapa lagi?
Kedua, hanif.
Arti kata ‘hanif’ adalah lurus berada di jalan kebenaran, menyimpang dari jalan yang salah menuju jalan yang benar. Makna kata ‘hanif’ ini secara eksplisit dijelaskan oleh Alloh ta’ala di dalam ayat selanjutnya, ‘sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan [Tuhan]’ (an-Nahl: 121). Senada dengan keterangan ayat ini, Imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau menjelaskan bahwa makna ‘hanif’ adalah ‘menyimpang dari syirik menuju tauhid’. Jadi memang, orang yang beragama Islam semestinya memilih pemimpin yang beragama Islam. Ini bukan masalah SARA atau bagaimana. Tapi memang begitulah semestinya. Dalam agama Islam, kepemimpinan bukan hanya sarana untuk mencapai kesejahteraan di dunia. Tapi yang justru lebih penting, adalah keselamatan di dunia dan akhirat. Tidak ada yang bisa menjamin keselamatan seseorang di dunia dan akhirat kecuali berpegang teguh kepada agama tauhid; agama Islam.
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari golongan ahli kitab dan kaum musyrik berada di dalam neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itulah seburuk-buruk makhluq.” (QS. Al Bayyinah: 6)
Mungkinkah seorang pemimpin yang musyrik bisa memimpin rakyatnya untuk senantiasa bertauhid?
Ketiga, pandai bersyukur.
Seorang pemimpin haruslah orang yang pandai bersyukur; senantiasa mengakui bahwa apa yang dia miliki adalah pemberian dari Alloh ta’ala dan memperlihatkannya dalam perkataan dan perbuatannya. Lisannya basah dengan ungkapan pujian kepada Sang Maha Pemberi. Dalam berperilaku dia senantisa menggunakan anugerah pemberian Alloh ta’ala itu untuk hal-hal yang sesuai dengan aturan-Nya. Dia merasa bahwa jabatan yang ia miliki adalah pemberian Alloh ta’ala, sekaligus sebagai ujian baginya. Dia mensyukuri hal itu dengan senantiasa menggunakan jabatannya untuk ta’at kepada-Nya, untuk mensejahterakan rakyat yang ia pimpin. Pemimpin seperti ini jauh dari sifat rakus, tamak, dan korup. Seseorang yang lebih suka untuk memperkaya diri sendiri, mementingkan urusan diri sendiri, tidak layak untuk menjadi seorang pemimpin. Begitu juga orang yang dengan tanpa risih bergaya hidup mewah di tengah-tengah rakyatnya yang masih terjerat kemiskinan, tidak pantas menjadi pemimpin.

Pemimpin yang tahan banting
Di dalam ayat yang lain, Al-Baqoroh [2]:124, Alloh ta’ala menyampaikan bahwa pemimpin yang ideal lahir dari sebuah poses ujian yang berat. Seperti itulah Nabi Ibrohim ‘alaihissalam.
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim AS diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Alloh berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia’. Ibrahim berkata: ‘(Dan saya mohon juga) dari keturunanku’. Alloh berfirman: ‘Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang dholim’.”
Diantara ujian yang telah dilalui oleh Nabi Ibrahim adalah beliau hidup di tengah masyarakat yang menyembah berhala. Bahkan Rajanya pun adalah seorang penyembah berhala. Beliau berdebat dengan masyarakat tentang siapakah Tuhan yang sebenarnya, Tuhan yang layak disembah. Hingga beliau berjuang dengan menghancurkan berhala-berhala yang berakibat beliau dibakar hidup-hidup oleh kaumnya. Dan pada akhirnya beliau harus pergi dan keluar dari kampung halamannya. Nabi Ibrohim juga diuji oleh agar melakukan khitan pada usia yang senja. Selanjutnya beliau diuji harus berpisah dari istri dan anaknya. Meninggalkan mereka berdua di sebuah lembah yang tandus, yang sepi dari hilir mudik manusia. Dan pada puncaknya beliau diperintah oleh Alloh ta’ala untuk menyembelih anak kesayangannya, Nabi Ismail ‘alaihissalam. Ujian yang datang bertubi-tubi tersebut dijalani oleh Nabi Ibrahim dengan keyakinan yang mantap dan ketegaran yang kokoh. Beliau pun lulus ujian dan diberi penghargaan oleh Alloh ta’ala:
‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam (pemimpin) bagi seluruh manusia’
Oleh karena itu, seseorang yang lembek, tidak tahan uji, dan gampang mengeluh, tidak pantas dan tidak layak untuk menjadi seorang pemimpin. Bagaimana mungkin seseorang yang lemah bisa menjadi tumpuan hidup dan tempat bergantung bagi masyarakat yang ia pimpin?
Orang yang dholim tidak layak menjadi pemimpin
Ketika mengetahui bahwa Alloh ta’ala hendak menjadikan beliau sebagai pemimpin bagi umat manusia, Nabi Ibrohim pun berdoa, ‘(Dan saya mohon juga) dari keturunanku’. Doa beliau ini dikabulkan oleh Alloh ta’ala. Nabi Ya’kub, Nabi Yusuf, Nabi Dawud, Nabi Sulaiman dan seluruh nabi Bani Israil adalah keturunan beliau. Begitu juga Nabi Ismail dan Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam. Mereka semua menjadi imam, pemimpin, dan panutan bagi umat manusia.
Namun Alloh ta’ala menggarisbawahi, ‘‘Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang dholim’. Dalam ayat tersebut Alloh ta’ala menyampaikan kepada Nabi Ibrohim dan seluruh umat manusia bahwa orang yang dholim tidak layak menjadi pemimpin. Dholim berarti gelap, menganiaya; baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Contoh dholim kepada diri sendiri; syirik, meninggalkan kewajiban pribadi seperti sholat dan puasa. Sedangkan contoh dholim kepada orang lain adalah melanggar janji, melanggar hak orang lain, menipu, melakukan riba, menghina dan menyakiti orang lain. Dholim adalah melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan seharusnya, meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Lawan kata dari dholim adalah adil.
Seorang yang jelas-jelas suka berbuat dholim tidak layak untuk menjadi pemimpin. Bagaimana mungkin seorang yang dholim bisa memimpin dengan adil?
Pemimpin yang dholim lahir dari masyarakat yang dholim
Saudaraku yang semoga senantiasa dijaga oleh Alloh ta’ala. Namun perlu kita mengerti bahwa pemimpin itu adalah cermin dari suatu masyarakat. Profil pemimpin merupakan gambaran dari jati diri masyarakat yang dia pimpin. Bukankah pemimpin itu adalah bagian dari masyarakat? Bukankah anggota DPRD dan DPR, serta presiden itu yang memilih adalah rakyat?
Jika masyarakat suka berbuat dholim, tidak takut kepada Alloh, senang melanggar aturan agama, suka berbuat curang, saling bermusuhan, maka layaklah masyarakat tersebut dipimpin oleh pemimpin yang (juga) dholim, kejam, dan tidak mengenal kasih sayang kepada rakyatnya.
Firman Alloh ta’ala:
“dan demikianlah Kami kuasakan sebagian orang-orang yang dholim kepada sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am: 129)
Oleh karena itu, salah satu cara agar kita memiliki pemimpin yang adil adalah dengan cara kita senantiasa berlaku adil dalam kehidupan sehari-hari. Baik adil kepada diri sendiri, maupun adil kepada orang lain. Jangan sampai kita memilih seorang pemimpin hanya karena dibayar 100ribu atau 200ribu. Jangan sampai kita cuma ‘enak satu hari’ kemudian ‘sengsara selama 5 tahun’. Jangan sampai kita menjual suara kita, karena kelak mereka akan menjual diri kita. Mari menjadi masyarakat yang cerdas. Mari memilih pemimpin yang ta’at kepada Alloh, hanif, pandai bersyukur, tahan banting, dan senantiasa berlaku adil.
Mari kita berdo`a bersama;
“Wahai Tuhan kami, jangan biarkan kami dipimpin oleh orang-orang yang tidak meyayangi kami….”
Amien…
Wallohu a’lam bi ash-showab. [tije/alumni PBSB Kemenag RI]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar