Muhtar Tajuddin ibnu Munawwir el-Mediuniy
Tajud- nama panggilan bagi muhtar tajuddin pada waktu itu- memulai karier pendidikannya di TK pada tahun 1993. tajud menghabiskan waktu ke-TK-annya di sebuah lembaga pendidikan yang bernama Roudlotul athfal Barek, Pucanganom, Kebonsari, Madiun. sebuah lembaga pendidikan tingkat kanak-kanak yang diasuh oleh bu Ida.
ia didaftarkan oleh ibunya di TK itu ketika umurnya hampir 4 tahun.
Hari pertama pun menjadi hari yang sangat indah untuk dikenang;-waktu istirahat tiba, ia pun langsung mengambil inisiatif untuk segera menemui Ibunya di rumah, minta makan, lalu kembali bermain bersama ikan-ikan kecil di selokan, ia tidak tahu bahwa belajar di TK itu dibagi menjadi dua session. ia menganggap bahwa semua itu hanya ada satu session, dan tidak akan ada session berikutnya. tak ayal, besoknyapun ia pun dinasehati oleh guru TK nya bahwa setelah istirahat ia harus masuk kelas lagi. setelah session ke dua selesei, ia baru bisa pulang ke rumah. ia pun mulai mengerti dengan berbagai hal yang harus ia ikuti jika ia menjadi murid TK.
Guru favorit di kelas ini adalah pak Sulaiman. Ia tidak pernah memberi nilai kurang dari seratus. Setiap beliau meminta kami untuk menulis atau menggambar, beliau selalu memberi nilai seratus. Termasuk si tajud yang baru bisa mencorat-coret sekenanya di atas kertas. Waktu itu ia belajar menulis huruf hijaiyah. Alif sampai ya`. Terimakasih bapak..
kurang lebih selama 12 bulan tajud mencoba segala hal yang baru, mencoba menemukan hal-hal yang baru, mencoba merasakan hal-hal baru, dan belajar mengenang hal-hal yang baru, di Roudlotul athfal Barek. Tajud menamatkan jenjang pendidikan formal grade pertamanya pada tahun 1994 dengan status cumlaude, sangat puas dan memuaskan. karena memang pada waktu itu, semua murid TK lulus dengan nilai memuaskan.
tajud pun bermetamorfosis, setelah tamat TK, ia sekarang mempunyai nama baru; Bonggol. nama itu merupakan julukan yang diberikan oleh seorang kawan se-kampung, walaupun tidak se-halaman. sebuah ungkapan indah yang terinspirasi oleh bentuk tubuh si tajud yang memang mbuthel dan mentheg mirip bonggol pohon pisang. nama barunya semakin terkenal sehingga dalam forum-forum non-formal, orang-orang lebih suka memanggilnya Bonggol.
hal yang patut dicatat ketika Bonggol duduk di bangku kelas satu MIS Barek adalah bahwa ia mulai menunjukkan sifat khasnya; ngotot, keras, ngeyel, gak mau kalah, bila perlu berantem pun OK. salah satu pertempuran yang sangat dahsyat terjadi ketika si Bonggol terlibat cekcok dengan Harun, teman sekelasnya yang juga tak kalah ngotot. pertempuran berlangsung cukup seru, hingga akhirnya terjadi peristiwa yang mungkin akan senantiasa diingat oleh Bonggol dan harun sampai sekarang. karena kalah dari segi fisik, bonggol pun menggunakan segenap cara untuk dapat mengalahkan si harun. dan cara yang dipilihnya adalah menggigit (mungkin terinspirasi ketika ingat makan daging kurban) kulit yang menutupi tulang dada si harun. darah segar pun bercucuran dari dada si harun. pertempuran usai. Harun merasa puas dan merasa menang. si Bongol pun tak kalah merasa puas dan merasa menang.
satu tahun di kelas 1 MIS Barek, bonggol belajar menulis, membaca, berhitung, menyanyi dan menggambar, serta tak lupa berdoa setiap sebelum dan sesudah belajar. ia juga belajar mengingat nama-nama temannya; alfian, mbak ruroh, anik1, anik2, hariA, hariB, adib, harun, topa A, topa B, andri, nur kholis, ima, dewi, aan, munir, bud.
salah satu pelajaran yang penting baginya di kelas 1 adalah dia belajar menulis. Ia sudah pandai menulis, menulis dengan huruf latin. Sampai sekarang pun ia belum paham kenapa yang satu disebut huruf gedrik dan satunya lagi disebut huruf latin. Menulis, atau bisa dikatakan melukis, adalah penting baginya. Karena mulai saat itu ia tidak hanya bisa mengekspresikan apa yang ia inginkan dengan oral, gesture, dan mimik wajahnya, tetapi juga dengan tulisan atau lukisan. Mulai saat itu pula ia mulai merasakan keajaiban tulisan atau lukisan
satu cerita bersama alfian.
pada suatu hari kaki Bonggol menginjak duri dan menyebabkan kakinya bengkak. orang tua mengatakan bahwa itu adalah nanah uwok. sampai sekarang pun bonggol belum mengerti apa nanah uwok itu. kebengkakan itu menyebabkan bonggol, ketika mau sekolah, harus diantar pake sepeda angin oleh kakaknya. tapi problem sebenarnya datang ketika pulang sekolah. entah lupa atau sengaja, kakak bonggol tidak menjeputnya. bonggol pun kebingungan dan mencoba memeras otak untuk mencari cara terbaik agar bisa pulang. di tengah keberpikirannnya, alfian yang memang salah satu teman dekat si Bonggol menawarkan diri untuk menggendong bonggol, si bonggol tak perlu waktu lama untuk mengiyakannya. sebagi imbal jasa, bonggol mentraktir alfiah segelas setrup (sejenis minuman). mereka berdua pun sama-sama gembira, ceria. keceriaan yang tulus.
Si tajud or si bonggol sudah naek kelas, kelas 2.
Di kelas 2, bonggol mempunyai lebih banyak teman dan kawan. Dan tentu lawannya pun juga bertambah. Dunia anak-anak pun tidak sepi dari persaingan, bahkan kadang menjurus keras, seperti yang dialami bonggol di kelas 1. Namun kebanyakan, atau hampir semuanya, persaingan tersebut mudah mereka lupakan. Pagi berantem, jotos-jotosan,ntar siang sudah beli jajan bareng di kantin sekolah. Sore lempar-lemparan gragal, malamnya udah bisa main petak umpet bareng pula. Mereka akan mengingatnya dengan senyuman nanti kalau udah –merasa- dewasa. Karena ketika dewasa, mereka sulit untuk mengulanginya.
Ada peristiwa menggemparkan di kelas. Suatu hari salah seorang murid berak di celana, ia pun lari keluar, dan tak ayal ia meninggalkan jejak berupa hasil metabolismenya yang kurang sempurna. Entah karena salah makan atau memang lagi nervous berat. Aku tak perlu menyebut namanya. Kalau ia membaca tulisan ini, semoga ia ingat dan besyukur karena aku masih mengingatnya. Tak ayal, ia jadi bahan tertawaan teman sekelas. kasihan sekali dia. namun begitulah, hal tersebut justru membuat dia mulai dikenal di kelas. dikenal di antara teman-temannya.
Selama duduk di kelas 2, si bonggol mulai belajar betapa besar kasih sayang seorang guru kepada muridnya. Mbah Sam, alm. (allohumaghfir lahu warhamhu wa’afihi wa’fu ’anhu, lahul fatihah), seorang guru yang sudah cukup berumur, berwibawa, dan bersahaja. Salah satu pesan –yang sering terbahasakan melalui bahasa visual- besar beliau kepada para murid adalah; Jangan pernah mentolelir hal-hal yang sudah jelas dilarang..!! beliau tidak segan menghukum murid-murid yang melakukan pelanggaran, walau pelanggaran itu semisal gaduh di kelas saat pelajaran berlangsung. Terimakasih bapak...
Si bonggol hanya butuh satu tahun untuk menyelesaikan studinya di kelas 2. Ya, karena ada beberapa temannya yang harus menghabiskan waktu 2 tahun. Ia naik kelas 3. Usianya setahun lebih tua. Pengalamannya pun bertambah setahun. Di kelas ini ada seorang guru senior yang murid-murid segani. Pak Tahid, lengkapnya pak Mujtahid, alm. (allohumaghfir lahu warhamhu wa’afihi wa’fu ’anhu, lahul fatihah) Beliau mengajrkan murid-murid pelajaran al-quran hadits dan fiqih. Salah satu peristiwa yang mungkin banyak diingat oleh murid-murid adalah; kejadian di mana pak Tahid menunjukkan apa yang terjadi bila murid-murid tidak memperhatkan pelajaran al-quran hadits. Yang jadi sample pada waktu itu adalah si Bondet. Semoga sekarang ia sudah sadar bahwa al-quran hadits adalah sangat penting bagi kita. Terimakasih bapak...
Di kelas 3 ini si bonggol mulai belajar merasa puas dan tidak puas. Semester pertama ia berhasil mendapatkan nilai yang cukup baik; cukup baik bagi orang yang 2 tahun sebelumnya tidak begitu diperhitungkan di dunia persaingan peringkat kelas. Di tengah tahun tersebut ia finish di peringkat kedua. Sungguh membanggakan. Entah kenapa, atau mungkin terlena dengan kenikmatan sesaat, ia pun mulai berulah; jarang belajar, banyak bermain dan bergurau. Di akhir tahun kelas3 ia terlempar jauh dari 10 besar, bahkan namanya tidak masuk di 20 besar dari 40-an siswa. gurunya pun sempat memanggilnya, menasehatinya secara pribadi. Ia kesal, ia marah, bahkan ia mulai menyalah-nyalahkan orang, termasuk dirinya sendiri. Padahal ketika masih kelas 1 dan kelas 2, ia tidak pernah merasa seperti itu. Walaupun ia tidak masuk di dalam jajaran 40 siswa dengan nilai terbaik. peristiwa tersebut memberinya pengalaman yang sangat berharga bahwa, setiap pencapaian dan prestasi yang aku raih, itu hanyalah sebuah, masih ada prestasi-prestasi lain di depan sana yang mungkin bisa ku raih, jika aku teledor, kesempatan itu pun akan menguap.
Si bonggol berusaha sekuat tenaga untuk melupakan ‘kegagalannya’. Ia tetap naik kelas dengan nilai mepet pet… di kelas barunya ini, kelas 4, ia meneguhkan tekad agar tidak mau dipermalukan lagi.
Seorang guru, pak Kardi namanya, mengajar pelajaran matematika, hampir setiap pertemuan beliau meminta murid maju ke depan secara berurutan untuk mengerjakan soal. Bagi yang sukses dan benar jawabannya, pertanda baik baginya. Bagi yang gagal, siap-siap berdiri lebih lama di depan kelas. Biasanya Pak Kardi meminta siswa yang sudah bisa untuk mengajari temannya yang belum bisa sampai ia bisa. Jika sampai batas waktu yang ketentuannya hanya diketahui pak Kardi anak-anak yang sudah cukup lama berdiri tadi masih belum bisa mengerjakan soal, maka mereka akan mendapatkan hukuman berupa saling jewer. Itulah mengapa dalam pelajaran yang satu ini si Bongggol termasuk salah satu siswa yang biasa mengajari temannya sampai bisa. Rasa malu dan semangat tidak mau dipermalukan telah membentuknya sedemikian rupa.
Pak sulaiman kembali menjadi guru “favorit” di kelas ini. Beliau mengajar IPS. masih jelas teringat bagaimana metode pengajaran beliau, urutannya adalah sebagai berikut;
1. pak sulaiman masuk kelas, duduk, lalu mengucap salam.
2. setelah berdoa, pak sulaiman membuka-buka buku paket IPS berwarna hijau yang bisa dipinjam di perpus dengan membayar kas (seingat saya) Rp 5oo untuk satu tahun.
3. setelah menemukan halam yang dicari, sang guru “favorit” ini berucap: anak-anak, silahkan dibuka halaman …., dibaca bergantian dari depan pojok kanan, kalau ada yang baca yang lain menyimak yaa.. setelah selesai nanti dikerjakan sola-soal di halaman …., setelah itu hasil kerjaan dikumpul di meja.
4. ketika beberapa menit anak-anak barisan pertama membaca, pak sulaiman berangsur-angsur “menghilang dari dunia kami”, beliau akan “kembali” tepat ketika kami selesai membaca atau rampung mengerjakan soal.
Begitulah dan berulang-ulang… terimakasih atas pelajaran membacanya pak…
Di akhir tahun kelas 4, bonggol bisa tersenyum agak lebar. Ia finish di 5 besar. Bersama dengan mbak Ruroh, Athok, dan 2 temannya.
Ia pun mantap menjajaki kelas barunya, kelas 5. Tantangan baru. Semangat baru.
suatu hari, pada saat jam istirahat, di dalam kelas, Bonggol kembali terlibat dalam sebuah pergumulan. Dimulai dengan bercanda, pergumulan tersebut berakhir serius. Bonggol melawan Holifyl. Se kecil melawan si besar. Terlihat kembali betapa si bonggol memang keras kepala, gak mau ngalah, apalagi mundur. Walau sudah jelas secara matematis logis ia tidak akan menang. Beruntung pergumulan itu tidak berkelanjutan. Sifat “anak-anak” masih ada di jiwa bonggol dan holifyl. Dengan mudah mereka bercanda senda gurau kembali.
Di kelas 5 ini ada seorang Guru yang dikenal sangat tegas, bahkan ada yang menyebut sangar. Terutama anak-anak yang sering melanggar peraturan. Namun bagi bonggol guru inilah salah satu guru favoritnya. Pak Damanuri namanya, guru pelajaran IPA dan Penjaskes. Sejak saat itu si bonggol mulai gemar belajar IPA.
Salah satu Guru favorit yang seharusnya disebut di sini sejak bonggol duduk di kelas 4 adalah Mbah Haji Subakir. Kepala sekolah MIS Barek pada waktu itu. Beliau mengajar bahasa arab di kelas 4,5,6, matematika di kelas 5 dan 6. Beliau merupakan salah satu guru yang sangat berwibawa. Anak-anak tidak akan banyak bertingkah bila beliau sudah memulai pembicaraan. Selain mengajar ilmu secara praktis, beliau senantiasa mengajarkan kejujuran, keuletan, kerjakeras, rajin beribadah, hormat dan ta’dhim, dan berbagai nilai-nilai lainnya. Allohuman_fa’na bihi wabi’ulumihi fi daroini amiin.
Salah satu ujaran beliau yang masih mengiang-ngiang dan menginspirasi kami adalah; “selama masih diberi kemampuan dan kekuatan, saya akan mengabdikan diri saya di madrasah ini, saya tidak akan berhenti mengajar”. Sebuah dedikasi dan totalitas yang luar biasa, yang muncul dari seorang Guru, tokoh masyarakat, Kyai, dan sesepun desa. Dan kata-kata beliau itu masih bisa dilihat, didengar, dan dirasakan sampai hari ini.
Bonggol naik kelas 6. Jenjang tertinggi di MIS Barek. Saya akan berusaha mengingat nama guru-guru kami sebanyak-banyaknya. Bu ida, bu Eni, pak Sulaiman, Mbah sam, pak Tahid, pak jailani, bu Sundari, pak hadi, pak Damanuri, pak Jakfar, pak Kardi, mbah haji Bakir, (dan semua guru yang –maaf- saya tak mampu mengingat lagi nama beliau) Allohuman_fa’na bihim wabi’ulumihim fi daroini amiin.
Saya juga akan berusaha mengingat nama teman-teman saya. Alfian, mbak ruroh, mbak anik (kidul), mbak anik (lor), laila, budi, tajuddin, faif, hari kemen, topa B, harun, Kadis, fery, Adib, Ima, Aan, Munir, Budi, Gino, Sana, Sani, Endang, Dewi, Nurul, Topa A, Kholis, Bondet, farid, hanif, lisa, nova, dan yang –maaf- saya tidak mampu lagi mengingatnya. Terus berjuang kawan..! semoga kita bisa berjumpa lagi, dalam keadaan yang lebih baik.
Di kelas ini bonggol mulai belajar menatap hari esok. Ke mana arahnya, apa tujuannya, cita-citanya. Cita-cita bonggol pada waktu itu adalah menjadi pedagang. Cita-cita yang terus ia pertahankan sejak pertama ia menulis apa cita-citanya. Hal tersebut tak lepas dari kenyataan bahwa Ayah si bonggol ini adalah seorang pedagang. Pedagang arit, pacul, pangot, gancu, dan mbako. Si bonggol sangat terinspirasi oleh ayahnya, hingga ia ber-asa agar bisa meneruskan jejak perjalanan sang ayah. Ya, ia sadar dan tahu (walau dengan makna yang lebih sederhana) ayahnya lah yang telah menafkahinya sejak ia masih di kandungan sampai ia bisa berjalan, berlari, dan mungkin nanti “terbang”. Ayahnya tidak hanya menafkahinya dengan beras, sayur, lauk-pauk, susu dan jajan, tetapi juga dengan akhlaq yang baik, terutama sabar dan menjaga diri. Dan justru yang nafkah terakhirlah yang lebih berguna baginya di hari-hari selanjutnya.
Si bonggol juga senantiasa mengingat betapa Ibunya menyayanginya dengan sangat. Tidak pernah satu kali pun sang ibu mengecewakan si bonggol. Ibunyalah yang setiap hari menyiapkan makanan kesukaanya. Ibunyalah yang dengan penuh kehangatan memeluknya ketika ia demam dan kedinginan. Ibunyalah yang dengan lembut memijatnya ketika ia kecapekan. Ibunyalah yang pertama kali mengingatkan jika ia berbuat kesalahan. Ibunyalah yang senantiasa mengusahakan apa yang ia minta. Ya, ibunya…
Di kelas ini bonggol masih mampu mempertahankan prestasinya di 5 besar. Ia memang masih kalah dengan mbak Ruroh, putri pakdenya, yang memang terkenal cerdas. Tapi ia masih punya asa, suatu saat ia akan menang. Ia berusaha dengan ‘segala cara’ agar dapat melewati prestasi mbak Ruroh. Dan hasil akhirnya adalah; sampai akhir sekolah di MIS Barek, ia tetap tak mampu mengalahkan kakak sepupunya tersebut. Ia kalah, namun sudahlah, hidup ini bukan sekedar kalah dan menang. bukan boleh, menang dua-duanya?
MTs Wali9
Saat yang paling mendebarkan telah tiba; pembagian ijazah. Mbah Subakir, begitu kami memanggil kepala sekolah yang kami cintai dan kami segani, mengumpulkan kami di ruang kelas 6. Hari itu merupakan pengumuman kelulusan murid kelas 6 Madrasah Ibtidaiyyah Salafiyah Barek. Sebuah Madrasah Ibtidaiyyah (MI), selevel dengan Sekolah Dasar (SD), yang berdiri di dusun Barek, Desa Pucanganom, Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun. Di daerah kami, di dusun, MI lebih populer daripada SD. Mayoritas anak-anak sekolah di MI. Hanya sedikit orang tua yang menyekolahkan anak-anak mereka di SD. Saking gak ada muridnya, salah satu SD yang ada di tetangga desa kami ditutup. Sampai hari ini SD itu sudah tak berbentuk. Wujudnya mirip dengan bangunan sekolah yang dihantam gempa 7.8 SR plus tsunami.
Sebelum mengumumkan kelulusan, Mbah Subakir menanyai kami satu per satu, “setelah lulus dari madrasah ini, kalian mau melanjutkan sekolah di mana?”
Satu per satu murid menjawab. “MTs Doho Dolopo”, salah satu teman kami menjawab, merujuk kepada salah satu Madrasah Tsanawiyah yang cukup popular di Kecamatan Dolopo, tetangga kecamatan Kebonsari. “MTs Kembangsawit”, teman kami yang lain menyahut. “MTs Rejosari”, yang lain juga ikut unjuk tangan. Yang dua terakhir merupakan MTs yang sudah cukup lama beridiri di Kecamatan Kebonsari. “SMPN Dolopo”, beberapa teman kami merujuk kepada salah satu SMP terbaik yang ada di Madiun selatan. Begitulah satu per satu murid menjawab pertanyaan Mbah Subakir, jawaban mereka berkisar antara MTs dan SMP tersebut.
Ketika tiba giliran Tajud menjawab, dengan ragu ia mengatakan, “MTs Wali9”. Beberapa temannya menengokkkan kepala kepadanya. Maklum, nama MTs yang ini belum begitu familiar. Baru beroperasi selama satu tahun. Jangan tanya jumlah muridnya. Wong baru ada satu kelas. Ya sekitar 20an. Jangan pula bertanya bangunan dan fasilitasnya.
“Ooo, Madrasah Tsanawiyah milik Mekar Agung yang baru itu ya??” Mbah Subakir mencoba bertanya. “Ya” jawab si Tajud. Beberapa teman kami, terutama mereka yang mukim di pesantren Darussalam Mekar Agung, juga menjawab sama dengan apa yang dikatakan Tajud. Ya pikir mereka saat itu, kalau gak mereka yang sekolah di Madrasah yang baru itu, siapa lagi?? selain itu faktor murahnya biaya SPP menjadi alasan pendukung yang cukup kuat. waktu itu murid MTS Wali9 dikenakan biaya SPP tujuh ribu rupiah per bulan.
Akhirnya Mbah Subakir mengumumkan kelulusan. Semua lulus. Yang meraih NUM (Nilai Ujian Murni) tertinggi waktu itu adalah Farid. Teman kami, seorang lelaki tinggi kerempeng tapi cerdas dari Desa Kerandegan. Kami pun bersuka ria menyambut kelulusan kami. Kelulusan kami dari Madrasah Ibtidaiyyah terbaik yang ada di Kecamatan kebonsari.
Tajud, Budi, Ruroh, Alfiyan, Novra, merekalah yang melanjutkan pendidikan tingkat lanjut pertama di Madrasah Tsanawiyah Wali9 itu. Mbak Ruroh merupakan putri pak Kyai yang sangat cerdas. Dia lah yang senantiasa meraih rangking pertama di kelas. Alfiyan, Budi, dan Novra merupakan anak-anak yang sudah nyantri di Pondok Mekar Agung sejak kecil, sejak duduk di bangku MI. sedangkan Tajud merupakan anak udik yang rumahnya hanya berjarak 256 meter dari Pondok. Jarak rumahnya dengan Madrasah Tsanawiah itu lebih dekat lagi, sekitar 187 meter. Ketika masih MI dulu, tiap sore hari ia ikut Taman pendidikan Al-Quran yang diselenggarakan Pondok Mekar Agung itu. Namun ketika memasuki kelas 5 MI. Ia sudah sangat jarang ikut ngaji. Ia lebih suka menghabiskan waktu sorenya untuk main sepak bola. Sementara malamnya ia gunakan juga untuk main bersama teman-teman dusunnya, biasanya main petak umpet, betengan, atau gim-giman. Ketika lulus MI dan masuk ke MTs Wali9 yang notabene Madrasah milik pesantren, plus suatu saat, ketika ia main sepak bola sore hari, Pak Kyai datang secara tiba-tiba dan memarahi Tajud dan teman-temannya. Pak Kyai menyuruh mereka untuk ikut sekolah diniyyah, mau tak mau sejak saat itu Tajud ikut sekolah Diniyyah sore hari.
Madrasah Tsanawiyah Wali9 merupakan madrasah baru. Berdiri tahun 1999, sementara kami lulus MI tahun 2000. Itu artinya kami merupakan generasi ke dua madrasah itu. Jumlah total murid kelas satu adalah 18. Ya jumlah yang cukup besar. Madrasah ini lantainya bukanlah keramik atau tegel. Lantainya berupa plesteran semen dan pasir yang masih kasar. Jendelanya bukanlah kaca. Jendelanya adalah kayu kotak yang ditempeli kayu bekas untuk ngecor. Pembatas kelas satu dan kelas dua bukanlah tembok atau rolling door. Pembatas kelasnya adalah kayu bekas ngecor yang ditata apik. Seringkali murid laki-laki yang agak ndablek menjebol pembatas tersebut. Namun kalau melihat desaignnya dari kejauhan, tampak bahwa di masa depan, Madrasah ini diproyeksikan menjadi Madrasah dengan dua lantai. Dan tentu Madrasah ini jauh lebih baik daripada SD nya anak-anak Laskar Pelangi di Belitong.
Walaupun dengan fasilitas seadanya, kami belajar dengan biasa. Maksudnya, yang biasa rajin ya rajin. Yang biasa ndableg ya ndableg. Yang biasa semangat ya semangat. Ya biasa klemar-klemer ya klemar-klemer. Tapi yang jelas, kami bahagia bisa sekolah. Kepala Sekolah kami bernama Bpk Abdul Rosyid, S.Ag. Kami biasa memanggil beliau pak Rosyid. Beliau tinggal di Krowe, Magetan. Jaraknya sekitar 30 kilometer dari Madrasah kami. Toh setiap pagi jam 6 beliau senantiasa siap dengan motor Yamaha 80 beliau yang berwarna biru pucat. Beliau dengan senang hati mengarungi jalan raya sejauh 30 kilometer hampir setiap hari untuk menemui murid-murid kesayangannya. Konon beliau begitu karena beliau mendapatkan amanah langsung dari Pak Kyai Thohir. Kyai Pondok Mekar Agung. Karena rasa ta’dhimnya yang besar, Pak Rosyid menerima amanah itu dengan tanpa syarat apa pun. Sampai hari ini Pak Rosyid masih menjadi kepala sekolah MTs Wali9 itu. Sama. Setiap pagi beliau berangkat dari rumah di Krowe Magetan menuju Madrasah di Pusanganom Kebonsari Madiun. Bedanya, sekarang beliau mengendarai motor Honda supra.
Guru-guru kami merupakan orang-orang yang “malaikatan”. Itu sebutan yang lazim digunakan di Pondok Mekar Agung untuk menyebut mereka yang mau berjuang dengan menjadi guru tanpa mengharap imbalan berupa uang. Meski begitu, beliau dengan penuh semangat membagikan ilmu-ilmunya kepada kami. Semuanya mempunyai alas an yang sama; berjuang. Kami sempat mencuritahu bahwa Pak Kepala sekolah dan pengurus yayasan berusaha maksimal untuk tetap memberikan insentif bulanan. Jumlahnya kira-kira 100.000-150.000 per bulan per guru. Ya, saat itu uang segitu cukup untuk beli beras 20-30 kilogram. Yang jelas kami tidak pernah sekalipun mendengar berita atau gossip bahwa para guru minta gaji. Tidak pernah sekalipun. Mereka hanya mengajar dan mengajar.
Di Madrasah ini kami mendapatkan pelajaran Al-Quran Hadits, Fiqh, Aqidah Akhlaq, Aswaja, Bahasa Arab, Matematika, Biologi, Fisika, Bahasa Indonesia, IPS, Bahasa Inggris, Bahasa Jawa dan satu pelajaran yang mungkin jarang ditemui di Madrasah Tsanawiyah yang lain, apalagi SMP, yaitu Ta’lim al-Muta’allim. Ya, selain diajari ilmu-ilmu, kami juga diajari bagaimana cara mencari ilmu. Bagaimana cara mendapatkan ilmu yang manfaat dan barokah. Kami diajari bagaimana menghormati ilmu dan ahli ilmu. Memang, di antara guru pengajar kami, atau bahkan kebanyakan, bukanlah guru asli mata pelajaran. Misalnya pak Anwar, beliau sarjana ekonomi, tapi mengajar mata pelajaran Fisika. Bu Bad, sedang kuliah jurusan PAI (Pendidikan Agama Islam), beliau mengajar matematika. Namun begitu, sekali lagi, kami sebagai murid tidak pernah merasa keberatan, apalagi memprotes, akan hal tersebut. Setahu kami, beliau para guru bisa mengajar kami, bisa menjadikan kami yang semula tidak tahu menjadi tahu, itu cukup bagi kami. Selain itu, setiap ahad malam senin ba’da jama’ah sholat Isya, kami murid-murid MTs Wali9 senantiasa mengadakan istighostah Ihsaniyah. Kami mengadakannya di sekolah. Murid putra di satu ruang kelas. Murid putri juga di satu ruang kelas, yang terpisah tentunya. Biasanya ada seorang guru atau murid senior yang jadi imam. Istighotsah ini rutin kami lakukan sejak madrasah didirikan dan hingga saat ini, alhamdulillah, istighotsah ini masih terus berjalan.
Sementara itu, Tajud yang semula malas ngaji dan ikut sekolah Diniyyah, akhirnya mulai menemukan kesenangan di madrasah diniyyah. Ia mulai mendapatkan teman dan sahabat baru. Bahkan ia mulai sering ikut kegiatan di pondok mekar agung malam harinya. Semakin lama ia semakin betah tinggal di pondok. Akhirnya ia pun ikut menjadi salah satu santri nduduk. Ia menempati asrama al-Mubarokah. Ia hanya pulang ketika perut lapar. Apalagi kalau bukan untuk makan. Namun begitu, tidak jarang ia masak dan makan bareng teman-teman santri di dapur pondok. Menu andalannya adalah nasi sambal tomat. Masih tentang Tajud. Ada cerita rahasia yang sampai hari ini masih menjadi rahasia. Mungkin ini hari terakhir rahasia itu menjadi rahasia. Ketika itu Tajud dan teman sekelas tentunya sedang menjalani ujian akhir semester. Waktu itu ujian mata pelajaran matematika. Alhasal, ketika itu tiba-tiba bu Guru menyatakan bahwa waktu sudah habis dan lembar jawaban harus segera dikumpul. Tajud yang saat itu belum selesei menjawab soal karuan saja kelabakan. Ia takut, cemas, gugup, berkeringat, dan turrrrrrr… ia ngompol di celana saat ujian. Begitulah, ia pun segera menyerahkan lembar jawabannya yang belum selesai seratus persen. Kemudian segera berlari pulang untuk mengganti celananya. Karena rumahnya yang dekat pula, Tajud mempunyai kebiasaan buruk. Ia baru berlari berangkat ke madrasah ketika bel sudah dipukul oleh petugas piket. Kecuali hari senin atau ketika ia piket kelas. Ia berangkat lebih awal. Namun begitu, jarang sekali ia terlambat masuk kelas.
Di tahun 2001 terjadi sebuah peristiwa yang mengejutkan kami sekaligus banyak orang. Ketika itu, pada hari jumat. Setelah sholat jumat, Pak Kyai Thohir minta dipijat, beliau merasakan nyeri di tangan beliau. Pak Kyai Thohir memang sering bepergian untuk bersilaturrahim kepada Kyai-Kyai serta tokoh masyarakat. Beliau juga sering berziarah ke makam-makam para ulama dan auliya’. Mungkin ketika itu beliau sedang capek hingga merasa nyeri di tangan. Tajud dan Gus Hamid (putra pak Kyai) diminta Pak Kyai untuk memijat. Ternyata rasa nyeri yang dirasakan Pak Kyai bukan nyeri biasa. Akhirnya keluarga mengantarkan beliau ke rumah sakit sore harinya. Setelah di rumah sakit 1 hari, keadaan beliau semakin membaik. Di hari ke 2 di rumah sakit, hari ahad siang, beberapa sesepuh dusun menjenguk beliau. Beliaupun sudah bisa menjagongi mereka dengan gayeng. Seperti orang yang benar-benar sehat. Kemudian beliau berkata, “wes muliho, aku tak istirahat” (sudah. Kalian pulanglah, aku mau istirahat). Para sesepuh yang menjenguk pun maklum, mungkin beliau masih dalam masa penyembuhan. Mereka segera undur diri. Tak lama kemudian terdengar suara telpon pos jaga keamanan pondok Mekar Agung bordering. Terdengar suara sayup-sayup dari seberang gagang telpon, “Mbah Yai Thohir sedo” (Kyai Thohir wafat). Berita pun segera menyebar dengan cepat, bukan hanya di pondok, tapi ke seluruh dusun. Rombongan sesepuh dusun yang baru datang langsung lemas ketika mendengar kabar duka tersebut. Bahkan ada yang mencak-mencak saking tak percayanya. Masyarakat tentu juga ingat bahwa beberapa waktu sebelumnya Pak Kyai membagi-bagikan dua ekor ayam untuk setiap rumah di dusun. Pak Kyai meminta agar yang satu ekor dipanggang dan dibawa ke masjid untuk syukuran bersama santri dan jamaah masjid. Sedangkan yang satu ekor silahkan dinikmati oleh keluarga masing-masing.
Barulah ketika ambulance yang mengantarkan jenazah pak Kyai datang, semua benar-benar sadar bahwa Kyai yang sangat mereka hormati dan mereka cintai itu telah berpulang ke haribaan Alloh ta’ala. Suasana duka pun menyelimuti pondok dan dusun. Berita duka kemudian menyebar se kabupaten madiun, bahkan sampai luar kota, sampai nganjuk, jombang, Kediri, banyuwangi, dan lain-lain. Ribuan pelayat datang silih berganti. Mensholatkan pak Kyai. Membaca tahlil dan yasin serta mendokan beliau. Saat itu si Tajud sedang menggendong Gus Rohman, putra bungsu pak Kyai yang masih sangat belia. Sementara para santri terus menerus membaca al-Quran. Suasana itu berlangsung hingga ke esokan harinya. Hari senin. Senin pagi Gus Imam dari Jombang datang dan langsung memimpin pemakaman Pak Kyai Thohir. Banyak sekali santri dan warga yang ingin ikut memberangkatkan pemakaman beliau. Santri dan warga berjejalan mulai dari pintu masjid sampai ke liang lahad. Keranda Pak Kyai pun seakan berjalan di atas kepala ratusan bahkan ribuan santri dan warga serta pelayat yang datang dari berbagai daerah. Setelah jasad pak Kyai dimasukkan ke liang lahad. Para santri dan warga diminta untuk turut mengubur jasad beliau dengan menggunakan tangan tanpa alat apa pun. Dalam sekejap, ribuan tangan bergantian menaburkan segenggam tanah di liang lahad itu. Pemakaman ditutup dengan doa. Allohummaghfir lahu war hamhu wa ‘afihi wa’fu ‘anhu. Lahu al-fatihah.
Begitulah, bulan demi bulan kami lalui. Tahun demi tahun kami lewati. Sampailah kami di kelas 3, jenjang terakhir Madrasah Tsanawiyah itu. Di awal tahun itu, kami dikejutkan dengan keputusan Mbak Ruroh untuk drop out dari Madrasah. Dia memilih untuk focus menyelesaikan hafalan al-Qurannya. Tidak ada yang bisa kami katakan pada waktu itu. Kami hanya kurang bisa mengerti, kenapa dia meninggalkan bangku madrasah, padahal dia adalah murid terpandai di kelas.
Ujian Nasional pun tiba. Semua persiapan dilakukan dengan sebaik-baiknya. Belajar setiap pagi, siang dan malam. Belajar individu dan kelompok. Sholat tahajjud dan istighotsah setiap malam. Semua murid siap menghadapi UNAS. Karena jumlah murid madrasah kami masih sedikit, kami belum mendapatkan izin untuk menyelenggarakan UNAS secara mandiri di gedung madrasah kami. Kami harus nebeng ke MTs Rejosari. Tak apalah. Kami justru senang karena bisa keluar dari pesantren dan keluar dari dusun. Bisa naik angkudes. Hal yang mengagetkan kami terjadi. Mbak Ruroh, sahabat plus andalan kelas kami, tiba-tiba datang dan ikut UNAS. Ya setelah satu tahun tidak merasakan bangku madrasah karena focus menghafal al-Quran, ia kembali saat UNAS. Kami sedikit ragu dia bisa melalui ujian ini. Kami bertambah kaget karena teman kami yang bernama Huda yang merupakan murid laki-laki terpandai di sekolah, yang merupakan murid peraih nilai Ujian Murni terbaik se kecamatan kebonsari tingkat MI-SD, mendadak jatuh sakit, cukup parah, sehingga atas usul para guru dan kepala sekolah, panitia ujian mengantarkan soal ujian tersebut ke rumah Huda sekaligus sebagai pengawas untuk Huda dalam mengerjakan soal UNAS. Ya, Huda saudara kami yang imut-imut dan pipinya mentul-mentul itu mengerjakan soal UNAS di atas tempat tidur, saat ia terbaring lemah karena hantaman penyakit asma serta komplikasinya. Kami pun melipatgandakan jurus andalan kami, apalagi kalau bukan doa; semoga semua bisa lulus dari UNAS. Bahkan kami pun mendapat doa khusus dari Kyai Abdul Aziz agar diberi kecerdasan dan kemudahan dalam belajar dan menyelesaikan soal unas.
Unas pun usai dan tibalah saat pengumuman kelulusan. Kepala sekolah kami, Pak Rosyid mengumpulkan kami di satu ruang kelas. Dag dig dug hati kami berdebar. Berharap-harap cemas semuanya lulus. Pokoknya lulus walau dengan nilai mepet. Lulus. Itu sudah cukup bagi kami. Setelah memberikan cukup taushiyah, Pak Rosyid pun akhirnya mengumumkan kelulusan. Namun beliau tidak langsung menyatakannya secara terbuka. Tapi beliau memanggil murid-murid satu per satu dan memberinya amplop putih. Amplop itu, bisa ditebak, isinya adalah pengumuman kelulusan; lulus atau tidak lulus. Tidak lama kemudian kami sekelas mengetahui bahwa semua murid lulus ujian. Mbak Ruroh yang absen sekolah selama satu tahun juga lulus, walau dengan nilai pas-pasan. Biasanya ia menjadi juara di kelas. Walaupun hanya lulus UNAS dengan nilai pas-pasan, kami pantas untuk kagum kepadanya. Sepulangnya ia pulang dari Pondok Sumber Sari Kediri, setelah satu tahun focus menghafal al-Quran, ia berhasil menyelesaikan hafalannya 30 juz. Ya, hanya butuh waktu satu tahun. Kemudian dia mondok di Langitan lalu mondok lagi ke Ploso Kediri untuk mengkhatamkan al-Fiyah. Sekarang, dia sudah bersuami, punya satu putri yang cantik, dan jadi seorang Bu Nyai. Sahabat kami yang satunya, Huda, yang mengerjakan soal unas di atas tempat tidur dalam keadaan sakit juga lulus. Walaupun tubuhnya ketika itu sangat lemah, otak dan semangatnya mampu mengatasi masalah itu. Nilainya masuk jajaran nilai yang memuaskan. Sementara si Tajud, untuk pertamakalinya terkejut mendapatkan nilai ujian nasional tertinggi se kelas.
to be continue...