Di dalam bulan Romadlon, seringkali
tema puasa dijadikan bahan ceramah, diskusi, dan tulisan oleh berbagai
kalangan. Saya berharap, kali ini kita tidak bosan dalam membahas dan
mendiskusikan tema puasa tersebut. Ada syair diucapkan: “Barang siapa enggan mencicipi
pahit getirnya belajar sesaat, niscaya dia kan merasakan pahitnya kebodohan
sepanjang hayat”. Oleh karena itu saya berharap kita senantiasa bersemangat
dalam mempelajari ajaran agama kita, Islam.
Sebelumnya, saya ingin mengajukan
pertanyaan. Mengapa kita berpuasa? Apa tujuan kita berpuasa?
Saudaraku yang semoga senantiasa
dijaga oleh Alloh ta’ala. Mengapa kita berpuasa? Setiap kita tentu memiliki
alasan yang bisa jadi sama atau berbeda. Ada orang yang berpuasa karena
ikut-ikutan euphoria Romadlon. Ada orang yang berpuasa karena malu kepada teman
atau keluarga. Ada orang yang berpuasa karena ingin diet, ingin sehat. Ada
orang yang berpuasa karena takut kepada siksa Alloh ta’ala yang maha dahsyat;
neraka. Ada orang yang berpuasa karena ingin mendapatkan ampunan dan pahala
dari Alloh. Ada juga orang yang berpuasa karena berharap ridlo Alloh ta’ala.
Alloh ta’ala berfirman:
وما
أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكاة ج وذلك دين القيمة
(Maksudnya): “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Alloh ta’ala dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus [tidak mempersekutukan Alloh dan menjauhi
kesesatan], dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat; dan yang
demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Selanjutnya, marilah kita menghayati
nasehat Rosulillah sollallohu alaihi wa sallam terkait dengan hal ini.
“Bahwasanya amal perbuatan itu
tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang mendapatkan balasan atas
apa yang ia niatkan.” (HR. Imam Bukhori [1] dan Muslim [1907])
Syekh Ibnu Athoillah rohimahulloh
dalam Miftah al Falah wa Mishbah al Arwah menyampaikan bahwa motivasi
dari amal perbuatan manusia itu ada yang bersifat ruhani (ikhlash) dan ada yang
bersifat setani (riya’, beramal karena selain Alloh ta’ala). Motivasi yang
bersifat ruhani dimiliki oleh mereka yang cenderung dan cinta kepada Alloh
ta’ala. Sedangkan motivasi setani dimiliki oleh meraka yang cinta kepada nafsu
dan dunia. Tentu, kita berusaha agar setiap amal ibadah yang kita lakukan,
semata-mata didasari oleh motivasi ruhani, ikhlash karena Alloh ta’ala.
Sementara itu, dalam Syarh Arba’un
an-Nawawiyah, Imam Nawawi rohimahulloh menjelaskan bahwa amal perbuatan
yang disertai niat (ruhani) itu ada tiga keadaan;
Pertama, orang-orang yang melakukan
amal perbuatan karena takut kepada siksa Alloh ta’ala; neraka. Mereka menjauhi
keburukan dan ma’shiat serta mengerjakan kebaikan dan ta’at karena takut kelak
akan mendapatkan siksa yang sangat pedih di akhirat. Ini adalah ibadah seorang
hamba. Sekedar info: Nabi Muhammad shollallohu alaihi wa sallam
mengingatkan kita akan pedihnya siksa neraka.
“Sesungguhnya
penghuni neraka yang paling ringan siksanya adalah orang yang mengenakan
sepasang sandal dari api neraka, maka mendidihlah otaknya sebagaimana
mendidihnya air dalam bejana. Ia beranggapan bahwa tidak ada orang lain yang
lebih besar siksanya daripada dirinya. Padahal itu adalah siksa yang paling
ringan”. (HR. Muslim: 196)
Ini yang paling ringan lho. Bagaimana
dengan yg ‘ringan’? Bagaimana yang ‘sedang’? Apalagi yang ‘berat’? Gak
kebayang deh betapa berat dan pedihnya. Na’udzu billahi min dzalik… Rasa
takut kepada siksa neraka yang sangat dahsyat akan mampu menjaga seseorang dari
perbuatan-perbuatan dosa yang pada akhirnya akan menyelamatkannya dari neraka
dan mengantarkannya ke dalam surga.
Firman Alloh ta’ala:
(maksudnya): “dan sebagian mereka menghadap kepada sebagian yang
lain saling tanya-menanya. Mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami dahulu, sewaktu
berada di tengah-tengah keluarga kami, merasa takut (akan diazab)’. Maka Alloh
memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka. (QS.
Ath-thur: 25-27)
Kedua, orang-orang yang melakukan
amal perbuatan karena berharap pahala dari Alloh ta’ala; surga. Mereka
menghindari perbuatan-perbuatan buruk dan melaksanakan amal-amal sholih karena
berharap kelak di akhirat mendapatkan pahala yang besar dari Alloh ta’ala. Ini
adalah ibadah seorang pedagang. Adakah yang lebih menguntungkan daripada
berdagang dengan Alloh ta’ala?
Firman Alloh ta’ala
(maksudnya):
“Sesungguhnya Alloh telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka
dengan memberikan surga untuk mereka…. ”. (QS. At-taubah: 111)
(Maksudnya):
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Alloh dan mendirikan sholat
dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka
dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang
tidak akan merugi. Agar Alloh menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan
menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi
Maha Mensyukuri”. (QS. Al-Fathir: 29-30)
Berkenaan dengan keadaan orang
yang pertama (takut kepada siksa neraka) dan kedua (berharap pahala surga)
tersebut, Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda (yang
maksudnya):
“Tidaklah seorang muslim meminta surga tiga kali
kecuali surga akan berkata; ‘Ya Alloh, masukkan dia ke dalam surga ‘. Dan tidaklah
dia meminta keselamatan dari neraka kecuali neraka berkata; ‘Ya Alloh,
selamatkan dia’”. (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dan selainnya; hasan li ghayrihi)
Ketiga, orang-orang yang melakukan
amal perbuatan karena menunaikan hak Alloh ta’ala. Mereka menjauhi berbagai
jenis keburukan dan ma’shiat karena malu kepada Alloh ta’ala. Mereka
bersemangat menjalankan berbagai macam ibadah karena bersyukur kepada Alloh
ta’ala. Inilah yang dinyatakan oleh Rosululloh ketika sayyidah ‘Aisyah bertanya
kepada beliau saat melihat beliau mengerjakan sholat malam hingga kaki beliau
bengkak-bengkak. “Wahai Rosululloh, masihkah engkau terbebani dosa? Padahal
Alloh telah mengampuni dosa-dosa engkau yang akan datang dan yang telah
lampau”. Rosululloh menjawab,
أَفَلَا أَنْ أكُوْنَ عَبْدًا
شَكُوْرًا
“Tidak bolehkah
aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?” (HR. Imam Bukhori [4837] dan Muslim
[2820]). Ini adalah ibadahnya orang-orang istimewa. Jumlahnya sangat sedikit.
...وَقَلِيْلٌ مِنْ عِبَادِىَ الشَّكُوْر
(maksudnya): “…. dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang banyak
bersyukur.” (QS. As-Saba`: 13)
Dari ketiga macam motivasi ruhani
tersebut, bisa jadi diantara kita ada yang memiliki satu, dua, atau
ketiga-tiganya. Boleh-boleh saja. Yang penting, motivasi dari amal ibadah kita
adalah motivasi ruhani, karena Alloh ta’ala. Bukan karena ingin dipuji, malu
kepada manusia, atau motivasi setani yang lain.
Saudaraku yang semoga senantiasa
disayang oleh Alloh ta’ala. Kita tentu berharap bahwa amal ibadah, termasuk
puasa, yang kita kerjakan diterima oleh Alloh ta’ala. Diterima atau tidaknya amal
ibadah yang kita kerjakan itu tergantung kepada dua hal; ittiba’us sunnah
(mengikuti apa yang dicontohkan oleh Nabi) dan ikhlash. Dua hal ini dijelaskan
oleh Alloh ta’ala dalam surat al-Kahfi ayat 110
(maksudnya): “Katakanlah, Sesungguhnya aku ini manusia biasa
seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu
adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya,
maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (QS. Al-Kahfi: 110)
Untuk hal yang pertama, agar puasa
yang kita kerjakan sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rosululloh, marilah
kita menelaah lagi ajaran Islam tentang puasa; syarat, rukun, yang membatalkan,
perkara-perkara sunnah dan makruh dalam puasa.
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka
amalan tersebut tertolak.”( HR.
Muslim no. 1718)
Silahkan membaca buku-buku tentang
puasa dan berkonsultasi kepada ustadz dan/atau Kyai yang Anda kenal.
Selanjutnya, marilah kita melaksanakan
ibadah puasa dengan niat yang ikhlash, hanya karena Alloh ta’ala. Bukan karena
yang lain, bukan karena ingin dilihat dan didengar manusia, bukan karena malu
kepada teman atau keluarga.
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
“Barang siapa berpuasa romadlon dengan dasar
iman dan berharap pahala dari Alloh, maka dosanya yang telah
berlalu diampuni.” (HR. Imam Bukhori dan Muslim)
Ikhlash adalah ruh-nya amal. Jika
amal ibadah dikerjakan tanpa keikhlasan, maka sama saja dengan seonggok jasad
tanpa ruh. Apakah kita mau mempersembahkan amal seperti itu kepada Alloh
ta’ala? Betapa buruk adab kita. Sungguh Alloh ta’ala hanya menerima amal ibadah
yang didasarkan pada ikhlash.
Dalam hadits qudsi Alloh ta’ala
berfirman: “Aku sangat tidak butuh
sekutu, siapa saja yang beramal menyekutukan sesuatu dengan-Ku, maka Aku akan
meninggalkannya dan syirknya.” (HR. Muslim)
Orang-orang yang beramal karena
berharap dilihat, didengar, dipuji oleh manusia, maka kelak mereka akan merugi
di akhirat. Firman Alloh ta’ala:
(maksudnya): “dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan
kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan),
niscaya akan terhapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang
merugi”. (QS. Az-Zumar: 65)
Rosululloh shollallohu alaihi wa
sallam menjelaskan keadaan orang yang beramal ibadah tanpa didasari ikhlash
karena Alloh ta’ala.
“Sesungguhnya orang
yang pertama kali diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid. Ia
pun dihadapkan, lalu Alloh mengingatkan kepadanya nikmat-nikmatNya, ia pun
mengingatnya, kemudian ditanya, “Kamu gunakan untuk apa nikmat itu?”
Ia menjawab, “Aku (gunakan untuk) berperang di jalan-Mu hingga aku mati
syahid”, Alloh berfirman, “Kamu dusta, sebenarnya kamu berperang
agar dikatakan sebagai pemberani dan sudah dikatakan demikian”,
kemudian Alloh memerintahkan orang itu agar dibawa, lalu ia diseret dalam
keadaan telungkup kemudian dilempar ke neraka. (Kedua) seorang yang belajar
agama, mengajarkannya dan membaca Al Qur’an, Ia pun dihadapkan, lalu Alloh
mengingatkan kepadanya nikmat-nikmat-Nya, ia pun mengingatnya, kemudian
ditanya, “Kamu gunakan untuk apa nikmat itu?”
Ia menjawab, “Aku (gunakan untuk) mempelajari agama, mengajarkannya dan membaca
Al Qur’an karena Engkau”, Alloh berfirman: “Kamu dusta, sebenarnya kamu belajar agama
agar dikatakan orang alim, dan membaca Al Qur’an agar dikatakan qaari’, dan
sudah dikatakan”, kemudian Alloh memerintahkan orang itu agar
dibawa, lalu ia diseret dalam keadaan telungkup kemudian dilempar ke neraka.
(Ketiga) seseorang yang dilapangkan rezkinya dan diberikan kepadanya berbagai
jenis harta, ia pun dihadapkan, lalu Alloh mengingatkan kepadanya
nikmat-nikmat-Nya, ia pun mengingatnya, kemudian ditanya, “Kamu gunakan untuk apa nikmat itu?” Ia menjawab, “Tidak ada satu pun
jalan, di mana Engkau suka dikeluarkan infak di sana kecuali aku keluarkan
karena Engkau”. Alloh berfirman, “Kamu dusta, sebenarnya kamu lakukan hal
itu agar dikatakan sebagai orang yang dermawan dan sudah dikatakan“,
kemudian Alloh memerintahkan orang itu agar dibawa, lalu ia diseret dalam
keadaan telungkup kemudian dilempar ke neraka.” (HR. Muslim)
Saudaraku. Marilah
kita merenungkan dalam-dalam hadits tersebut. Tiga orang yang diceritakan di
dalam hadits tersebut sama-sama memiliki amal ibadah yang banyak dan besar.
Namun di akhirat mereka tidak mendapatkan manfaat sedikit pun dari amalan
mereka. Hal itu disebabkan mereka beramal bukan karena Alloh ta’ala. Sungguh,
Alloh Maha Tahu apa yang terlintas di sanubari manusia.
Oleh karena itu, marilah kita
melaksanakan ibadah puasa (serta ibadah-ibadah yang lain; sholat fardlu, sholat
tarowih, sholat malam, tilawah al-Qur`an, sedekah, infaq, zakat, dan lain
sebagainya) semata-mata hanya karena Alloh ta’ala. Mari senantiasa menanamkan
rasa ikhlash ini di dalam sanubari kita. Tentu, hal ini memerlukan latihan yang
terus-menerus, latihan yang istiqomah.
Lebih lanjut, keikhlasan inilah yang
sebenarnya akan menghubungkan batin kita kepada Alloh ta’ala. Imam Junaid al-Baghdadi
berkata; “Ikhlash adalah rahasia antara Alloh ta’ala dan hamba-Nya. Malaikat
pencatat tidak mengetahui sedikit pun mengenainya untuk dapat dituliskannya,
setan tidak mengetahuinya hingga tak dapat merusaknya, nafsu pun tidak
menyadarinya hingga ia tak mampu mempengaruhinya”.
Semoga Alloh ta’ala senantiasa
melimpahkan taufiq-Nya kepada kita semua. Wallohu a’lam bi ash-showab.
[tj/LP2A PBSB]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar