Sabtu, 13 Juli 2013

Mengapa Kita Berpuasa?


Di dalam bulan Romadlon, seringkali tema puasa dijadikan bahan ceramah, diskusi, dan tulisan oleh berbagai kalangan. Saya berharap, kali ini kita tidak bosan dalam membahas dan mendiskusikan tema puasa tersebut. Ada syair diucapkan: “Barang siapa enggan mencicipi pahit getirnya belajar sesaat, niscaya dia kan merasakan pahitnya kebodohan sepanjang hayat”. Oleh karena itu saya berharap kita senantiasa bersemangat dalam mempelajari ajaran agama kita, Islam.
Sebelumnya, saya ingin mengajukan pertanyaan. Mengapa kita berpuasa? Apa tujuan kita berpuasa?
Saudaraku yang semoga senantiasa dijaga oleh Alloh ta’ala. Mengapa kita berpuasa? Setiap kita tentu memiliki alasan yang bisa jadi sama atau berbeda. Ada orang yang berpuasa karena ikut-ikutan euphoria Romadlon. Ada orang yang berpuasa karena malu kepada teman atau keluarga. Ada orang yang berpuasa karena ingin diet, ingin sehat. Ada orang yang berpuasa karena takut kepada siksa Alloh ta’ala yang maha dahsyat; neraka. Ada orang yang berpuasa karena ingin mendapatkan ampunan dan pahala dari Alloh. Ada juga orang yang berpuasa karena berharap ridlo Alloh ta’ala.
Alloh ta’ala berfirman:
وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكاة ج  وذلك دين القيمة
(Maksudnya): “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Alloh ta’ala dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus [tidak mempersekutukan Alloh dan menjauhi kesesatan], dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Selanjutnya, marilah kita menghayati nasehat Rosulillah sollallohu alaihi wa sallam terkait dengan hal ini.
“Bahwasanya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang mendapatkan balasan atas apa yang ia niatkan.” (HR. Imam Bukhori [1] dan Muslim [1907])
Syekh Ibnu Athoillah rohimahulloh dalam Miftah al Falah wa Mishbah al Arwah menyampaikan bahwa motivasi dari amal perbuatan manusia itu ada yang bersifat ruhani (ikhlash) dan ada yang bersifat setani (riya’, beramal karena selain Alloh ta’ala). Motivasi yang bersifat ruhani dimiliki oleh mereka yang cenderung dan cinta kepada Alloh ta’ala. Sedangkan motivasi setani dimiliki oleh meraka yang cinta kepada nafsu dan dunia. Tentu, kita berusaha agar setiap amal ibadah yang kita lakukan, semata-mata didasari oleh motivasi ruhani, ikhlash karena Alloh ta’ala.
Sementara itu, dalam Syarh Arba’un an-Nawawiyah, Imam Nawawi rohimahulloh menjelaskan bahwa amal perbuatan yang disertai niat (ruhani) itu ada tiga keadaan;
Pertama, orang-orang yang melakukan amal perbuatan karena takut kepada siksa Alloh ta’ala; neraka. Mereka menjauhi keburukan dan ma’shiat serta mengerjakan kebaikan dan ta’at karena takut kelak akan mendapatkan siksa yang sangat pedih di akhirat. Ini adalah ibadah seorang hamba. Sekedar info: Nabi Muhammad shollallohu alaihi wa sallam mengingatkan kita akan pedihnya siksa neraka.
Sesungguhnya penghuni neraka yang paling ringan siksanya adalah orang yang mengenakan sepasang sandal dari api neraka, maka mendidihlah otaknya sebagaimana mendidihnya air dalam bejana. Ia beranggapan bahwa tidak ada orang lain yang lebih besar siksanya daripada dirinya. Padahal itu adalah siksa yang paling ringan”. (HR. Muslim: 196)
Ini yang paling ringan lho. Bagaimana dengan yg ‘ringan’? Bagaimana yang ‘sedang’? Apalagi yang ‘berat’? Gak kebayang deh betapa berat dan pedihnya. Na’udzu billahi min dzalik… Rasa takut kepada siksa neraka yang sangat dahsyat akan mampu menjaga seseorang dari perbuatan-perbuatan dosa yang pada akhirnya akan menyelamatkannya dari neraka dan mengantarkannya ke dalam surga.
Firman Alloh ta’ala:
(maksudnya): “dan sebagian mereka menghadap kepada sebagian yang lain saling tanya-menanya. Mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami dahulu, sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami, merasa takut (akan diazab)’. Maka Alloh memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka. (QS. Ath-thur: 25-27)
Kedua, orang-orang yang melakukan amal perbuatan karena berharap pahala dari Alloh ta’ala; surga. Mereka menghindari perbuatan-perbuatan buruk dan melaksanakan amal-amal sholih karena berharap kelak di akhirat mendapatkan pahala yang besar dari Alloh ta’ala. Ini adalah ibadah seorang pedagang. Adakah yang lebih menguntungkan daripada berdagang dengan Alloh ta’ala?
Firman Alloh ta’ala
(maksudnya): “Sesungguhnya Alloh telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka…. ”. (QS. At-taubah: 111)
(Maksudnya): “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Alloh dan mendirikan sholat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. Agar Alloh menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri”. (QS. Al-Fathir: 29-30)
Berkenaan dengan keadaan orang yang pertama (takut kepada siksa neraka) dan kedua (berharap pahala surga) tersebut, Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda (yang maksudnya):
“Tidaklah seorang muslim meminta surga tiga kali kecuali surga akan berkata; ‘Ya Alloh, masukkan dia ke dalam surga ‘. Dan tidaklah dia meminta keselamatan dari neraka kecuali neraka berkata; ‘Ya Alloh, selamatkan dia’”. (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dan selainnya; hasan li ghayrihi)
Ketiga, orang-orang yang melakukan amal perbuatan karena menunaikan hak Alloh ta’ala. Mereka menjauhi berbagai jenis keburukan dan ma’shiat karena malu kepada Alloh ta’ala. Mereka bersemangat menjalankan berbagai macam ibadah karena bersyukur kepada Alloh ta’ala. Inilah yang dinyatakan oleh Rosululloh ketika sayyidah ‘Aisyah bertanya kepada beliau saat melihat beliau mengerjakan sholat malam hingga kaki beliau bengkak-bengkak. “Wahai Rosululloh, masihkah engkau terbebani dosa? Padahal Alloh telah mengampuni dosa-dosa engkau yang akan datang dan yang telah lampau”. Rosululloh menjawab,
أَفَلَا أَنْ أكُوْنَ عَبْدًا شَكُوْرًا
“Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?” (HR. Imam Bukhori [4837] dan Muslim [2820]). Ini adalah ibadahnya orang-orang istimewa. Jumlahnya sangat sedikit.
...وَقَلِيْلٌ مِنْ عِبَادِىَ الشَّكُوْر
(maksudnya): “…. dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang banyak bersyukur.” (QS. As-Saba`: 13)
Dari ketiga macam motivasi ruhani tersebut, bisa jadi diantara kita ada yang memiliki satu, dua, atau ketiga-tiganya. Boleh-boleh saja. Yang penting, motivasi dari amal ibadah kita adalah motivasi ruhani, karena Alloh ta’ala. Bukan karena ingin dipuji, malu kepada manusia, atau motivasi setani yang lain.
Saudaraku yang semoga senantiasa disayang oleh Alloh ta’ala. Kita tentu berharap bahwa amal ibadah, termasuk puasa, yang kita kerjakan diterima oleh Alloh ta’ala. Diterima atau tidaknya amal ibadah yang kita kerjakan itu tergantung kepada dua hal; ittiba’us sunnah (mengikuti apa yang dicontohkan oleh Nabi) dan ikhlash. Dua hal ini dijelaskan oleh Alloh ta’ala dalam surat al-Kahfi ayat 110
(maksudnya): “Katakanlah, Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (QS. Al-Kahfi: 110)
Untuk hal yang pertama, agar puasa yang kita kerjakan sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rosululloh, marilah kita menelaah lagi ajaran Islam tentang puasa; syarat, rukun, yang membatalkan, perkara-perkara sunnah dan makruh dalam puasa.
Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.HR. Muslim no. 1718)
Silahkan membaca buku-buku tentang puasa dan berkonsultasi kepada ustadz dan/atau Kyai yang Anda kenal.
Selanjutnya, marilah kita melaksanakan ibadah puasa dengan niat yang ikhlash, hanya karena Alloh ta’ala. Bukan karena yang lain, bukan karena ingin dilihat dan didengar manusia, bukan karena malu kepada teman atau keluarga.
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa berpuasa romadlon dengan dasar iman dan berharap pahala dari Alloh, maka dosanya yang telah berlalu diampuni.” (HR. Imam Bukhori dan Muslim)
Ikhlash adalah ruh-nya amal. Jika amal ibadah dikerjakan tanpa keikhlasan, maka sama saja dengan seonggok jasad tanpa ruh. Apakah kita mau mempersembahkan amal seperti itu kepada Alloh ta’ala? Betapa buruk adab kita. Sungguh Alloh ta’ala hanya menerima amal ibadah yang didasarkan pada ikhlash.
Dalam hadits qudsi Alloh ta’ala berfirman: “Aku sangat tidak butuh sekutu, siapa saja yang beramal menyekutukan sesuatu dengan-Ku, maka Aku akan meninggalkannya dan syirknya.” (HR. Muslim)
Orang-orang yang beramal karena berharap dilihat, didengar, dipuji oleh manusia, maka kelak mereka akan merugi di akhirat. Firman Alloh ta’ala:
(maksudnya): “dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan terhapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”. (QS. Az-Zumar: 65)
Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam menjelaskan keadaan orang yang beramal ibadah tanpa didasari ikhlash karena Alloh ta’ala.
“Sesungguhnya orang yang pertama kali diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid. Ia pun dihadapkan, lalu Alloh mengingatkan kepadanya nikmat-nikmatNya, ia pun mengingatnya, kemudian ditanya, “Kamu gunakan untuk apa nikmat itu?” Ia menjawab, “Aku (gunakan untuk) berperang di jalan-Mu hingga aku mati syahid”, Alloh berfirman, “Kamu dusta, sebenarnya kamu berperang agar dikatakan sebagai pemberani dan sudah dikatakan demikian”, kemudian Alloh memerintahkan orang itu agar dibawa, lalu ia diseret dalam keadaan telungkup kemudian dilempar ke neraka. (Kedua) seorang yang belajar agama, mengajarkannya dan membaca Al Qur’an, Ia pun dihadapkan, lalu Alloh mengingatkan kepadanya nikmat-nikmat-Nya, ia pun mengingatnya, kemudian ditanya, “Kamu gunakan untuk apa nikmat itu?” Ia menjawab, “Aku (gunakan untuk) mempelajari agama, mengajarkannya dan membaca Al Qur’an karena Engkau”, Alloh berfirman: “Kamu dusta, sebenarnya kamu belajar agama agar dikatakan orang alim, dan membaca Al Qur’an agar dikatakan qaari’, dan sudah dikatakan”, kemudian Alloh memerintahkan orang itu agar dibawa, lalu ia diseret dalam keadaan telungkup kemudian dilempar ke neraka. (Ketiga) seseorang yang dilapangkan rezkinya dan diberikan kepadanya berbagai jenis harta, ia pun dihadapkan, lalu Alloh mengingatkan kepadanya nikmat-nikmat-Nya, ia pun mengingatnya, kemudian ditanya, “Kamu gunakan untuk apa nikmat itu?” Ia menjawab, “Tidak ada satu pun jalan, di mana Engkau suka dikeluarkan infak di sana kecuali aku keluarkan karena Engkau”. Alloh berfirman, “Kamu dusta, sebenarnya kamu lakukan hal itu agar dikatakan sebagai orang yang dermawan dan sudah dikatakan“, kemudian Alloh memerintahkan orang itu agar dibawa, lalu ia diseret dalam keadaan telungkup kemudian dilempar ke neraka.” (HR. Muslim)
Saudaraku. Marilah kita merenungkan dalam-dalam hadits tersebut. Tiga orang yang diceritakan di dalam hadits tersebut sama-sama memiliki amal ibadah yang banyak dan besar. Namun di akhirat mereka tidak mendapatkan manfaat sedikit pun dari amalan mereka. Hal itu disebabkan mereka beramal bukan karena Alloh ta’ala. Sungguh, Alloh Maha Tahu apa yang terlintas di sanubari manusia.
Oleh karena itu, marilah kita melaksanakan ibadah puasa (serta ibadah-ibadah yang lain; sholat fardlu, sholat tarowih, sholat malam, tilawah al-Qur`an, sedekah, infaq, zakat, dan lain sebagainya) semata-mata hanya karena Alloh ta’ala. Mari senantiasa menanamkan rasa ikhlash ini di dalam sanubari kita. Tentu, hal ini memerlukan latihan yang terus-menerus, latihan yang istiqomah.
Lebih lanjut, keikhlasan inilah yang sebenarnya akan menghubungkan batin kita kepada Alloh ta’ala. Imam Junaid al-Baghdadi berkata; “Ikhlash adalah rahasia antara Alloh ta’ala dan hamba-Nya. Malaikat pencatat tidak mengetahui sedikit pun mengenainya untuk dapat dituliskannya, setan tidak mengetahuinya hingga tak dapat merusaknya, nafsu pun tidak menyadarinya hingga ia tak mampu mempengaruhinya”.
Semoga Alloh ta’ala senantiasa melimpahkan taufiq-Nya kepada kita semua. Wallohu a’lam bi ash-showab. [tj/LP2A PBSB]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar