Saudaraku yang semoga senantiasa
dijaga oleh Alloh ta’ala. Kita tahu bahwa salah satu pra-syarat pendidikan yang
berkualitas adalah adanya guru yang berkualitas. Murid yang cerdas, kreatif,
jujur, dan bertanggungjawab biasanya “lahir” dari pembinaan guru yang juga
mempunyai kualitas serupa. Jika gurunya malas belajar, suka marah-marah,
mempelopori nyontek masal, dan tidak mau inshaf mengakui kesalahan ketika
berbuat salah, kita sudah bisa membayangkan, muridnya akan menjadi seperti apa.
Memang, guru bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan. Ada faktor-faktor
lain yang turut mempengaruhi perkembangan seorang murid, seperti pendidikan di
dalam keluarga, masyarakat tempat dia berdomisili, dan juga teman-teman
dekatnya. Namun begitu, seorang guru tentu mempunyai pengaruh yang cukup besar
terhadap perkembangan seorang murid. Hampir setiap hari, rata-rata 5-7 jam,
seorang murid belajar bersama gurunya di sekolahan. Jumlah jam itu akan
meningkat jika ditambah les privat, bimbingan belajar, serta pengajian di
masjid dan mushola. Lalu, bagaimanakah guru yang berkualitas itu? Bagaimanakah
guru yang baik itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu ada beragam jawaban,
tergantung dari sudut mana dan dengan dasar apa kita memandang. Pada kesempatan
kali ini, kami mengajak Anda sekalian untuk menelaah konsep Adab seorang guru,
berdasarkan al-Hadits, atsar para sahabat dan hikmah para ulama.
Apakah Adab itu?
Menurut Prof. Naquib al-Attas, pakar
filsafat dan sejarah Melayu, adab adalah “pengenalan serta pengakuan akan
hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana
susunan berperingkat martabat dan darjat, yang merupakan suatu hakikat
yang berlaku dalam tabiat semesta.”
Contoh 1: Manusia yang beradab kepada
Alloh ta’ala adalah manusia yang mengenal Alloh dan mengakui hak dan kedudukan
Alloh sebagai Pencipta alam semesta, yaitu disembah. Kemudian manusia tersebut
merespon dengan melaksanakan sholat sebagai bentuk penyembahan dia kepada Alloh
ta’ala. Itulah contoh manusia yang beradab kepada Alloh ta’ala.
Contoh 2: Anak yang beradab kepada
orang tuanya adalah anak yang mengenal dan mengakui bahwa Alloh menciptakan dia
melalui perantara orangtuanya. Ia menyadari bahwa orangtuanya telah merawat,
menjaga, dan mendidiknya hingga dia cukup umur. Olehkarena itu orangtua berhak
mendapatkan baktinya. Kemudian si anak merespon dengan berbakti dan berbuat
baik kepada orang tua. Itulah contoh anak yang beradab kepada orangtua.
Seberapa pentingkah adab itu?
Untuk menjawab pertanyaan ini, mari
kita merenungkan dalam-dalam, perkataan dan pernyataan para ulama terkait
dengan adab.
‘Abdurrahman bin al-Qasim berkata,
“Saya berkhidmat kepada Imam Malik selama 20 tahun. Dua tahun diantaranya (saya
habiskan) untuk mempelajari ilmu, sedangkan 18 tahun lainnya untuk mempelajari
adab. Duh, andai saja saya habiskan seluruh masa itu untuk mempelajari adab!”
Abdulloh Ibnu Mubarok, seorang ahli
hadits, berkata, “Barangsiapa yang meremehkan adab-adab, maka ia akan dihukum
dengan terhalang dari sunnah-sunnah. Barangsiapa yang meremehkan sunnah-sunnah,
maka ia akan dihukum dengan terhalang dari
fardhu-fardhu. Dan barangsiapa
yang meremehkan fardhu-fardhu, maka ia akan dihukum dengan terhalang dari
ma’rifat (mengenal Allah)”.
Imam Syafii, imam mazhab yang banyak
menjadi panutan kaum Muslim di Indonesia, pernah ditanya, bagaimana
upayanya dalam meraih adab? Sang Imam menjawab, bahwa ia selalu mengejar adab
laksana seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang.
Dengan merenungkan perkataan dan
pernyataan para ulama di atas, yang kualitas keilmuannya tidak diragukan lagi,
kita bisa menyimpulkan bahwa adab ini merupakan perkara yang sangat penting.
Oleh karena itu, patut bagi kita untuk senantiasa memperhatikan adab dalam
setiap tindakan kita.
Adab-adab Seorang Guru
Diantara adab bagi seorang guru
adalah berniat untuk mendapatkan ridlo Alloh ta’ala, berhati-hati dan tidak
serampangan dalam menjawab pertanyaan, jika berbuat salah mau mengakui dan
memperbaiki (inshaf), tawadlu dan tidak sombong, simpatik dan penuh kasing
sayang kepada murid, senantiasa belajar untuk memperbaiki dan meningkatkan
kualitas diri.
1.
Berniat untuk mendapatkan ridlo dari Alloh ta’ala
Seorang guru hendaknya meniatkan diri
belajar dan mengajar untuk mendapatkan ridlo dari Alloh ta’ala, menyebarkan ilmu,
menghidup-hidupkan agama, menegakkan kebenaran, berharap menumbuhkan
bibit-bibit ulama yang menerangi manusia, serta mengharap pahala dari Alloh
ta’ala. Seorang guru hendaknya tidak merendahkan dirinya dengan hanya mencari
kemuliaan di dunia saja, hanya untuk mendapatkan harta benda, popularitas,
kekuasaan dan tujuan duniawi lainnya. Mari belajar dari para maha guru
pendahulu kita.
Rosululloh shollallohu alaihi wa
sallam dawuh, “Sesungguhnya setiap
perbuatan tergantung niatnya.
Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas)
berdasarkan apa yang dia niatkan. …” (riwayat Imam Bukhori dan Imam Muslim)
Imam
Syafi'i rahimahullah pernah berkata, "Aku sangat berharap orang-orang
mempelajari ilmu ini dariku, sementara tidak satu hurufpun yang dinisbatkan kepadaku."
Imam
al-Ghazali menyatakan, bahwa seorang ‘alim (berilmu) namun dia termasuk salah
seorang dari budak-budak dunia, maka dia lebih rendah posisinya dan lebih berat
siksanya dibanding orang yang jahil (tidak berilmu).
Al-Hasan
al-Bashri berkata, “Hukuman untuk para ulama’ adalah matinya hati. Dan kematian
hati (akan terjadi ketika) mereka memburu dunia dengan amal-amal akhirat.”
2.
Berhati-hati, tidak serampangan menjawab pertanyaan
Ketika mendapatkan pertanyaan dari
murid, biasanya seorang guru berhasrat untuk menjawabnya. Ini adalah hal yang
wajar. Menjadi tidak wajar ketika, karena merasa malu jika dikatakan tidak bisa
menjawab pertanyaan, seorang guru selalu menjawab setiap pertanyaan murid,
padahal dia sendiri tidak memahami persoalan tersebut. Hal ini tentu berakibat
buruk. Para ulama memberi teladan bahwa seorang guru sebaiknya mengatakan “aku
tidak tahu”, jika memang tidak memahami persoalan yang dilontarkan oleh seorang
penanya.
Ada
sebuah atsar yang dikutip dari Ibnu ‘Umar, bahwa beliau berkata, “Ilmu itu ada
tiga: Kitab Allah yang berbicara, Sunnah yang sudah berlaku tetap, dan la
adriy (saya tidak tahu).” – dikeluarkan oleh ath-Thabrani dalam al- Awsath.
Imam
an-Nawawi berkata, “Diantara bentuk ilmu yang dimiliki seorang ‘alim adalah
pernyataan ‘saya tidak tahu’ atau ‘Alloh lebih tahu’ dalam persoalan-persoalan
yang tidak diketahuinya.” Beliau juga
berkata, “Ketahuilah, menurut keyakinan muhaqqiqin (orang-orang yang sangat
mantap ilmunya) bahwa pernyataan ‘saya tidak tahu’ dari seorang ‘alim tidak
akan menjatuhkan martabatnya. Sebaliknya, hal itu menunjukkan hebatnya
kedudukan, ketakwaan dan kesempurnaan pengetahuannya. Sebab, orang yang sudah
sangat mantap ilmunya, tidak masalah jika dia tidak mengetahui beberapa
persoalan. Bahkan, pernyataannya: ‘saya tidak tahu’ itu bisa menjadi petunjuk
atas ketaqwaannya, dan bahwasanya dia tidak sembarangan/ngawur dalam berfatwa.”
– dari: Muqaddimah Syarh al-Muhadzdzab.
3.
Jika berbuat salah, mengakui dan mau memperbaiki
(inshaf)
Kadangkala kita temui ada seorang
guru yang merasa dirinya paling pandai dan paling benar. Dia tidak mau menerima
kritikan dan saran dari orang lain. Ada juga yang sudah berpuluh-puluh tahun menjadi
guru sehingga dia merasa dirinya paling berpengalaman. Ketika ada yang memberi
saran kepada dia akan suatu hal, dia malah berkata, “aku ini sudah jadi guru 30
tahun, kamu anak kemarin sore gak usah banyak omong”. Apakah sikap seperti itu
selayaknya ada pada diri seorang guru?
Imam
Ibnu ‘Abdil Barr, semoga Alloh merahmatinya, berkata, “Diantara berkah dan adab
ilmu adalah inshaf.”
Diantara
contoh inshaf adalah: ada seorang wanita yang membantah pernyataan ‘Umar ibnu
al-Khotthob dan mengingatkan beliau mana yang benar, padahal ketika itu beliau
sedang berkhutbah di hadapan khalayak ramai. Apakah beliau menyangkal? Justru
beliau berkata, “Wanita itu benar, dan laki-laki ini keliru.”
Pada
kesempatan yang lain, ada seorang laki-laki yang bertanya kepada ‘Ali, dan
beliau menjawabnya. Kemudian, ada orang lain yang berkata, “Bukan begitu, wahai
Amirul Mu’minin. Tetapi, begini dan begitu.” Maka, beliau berkomentar, “Kamu
benar, dan aku keliru. Dan diatas setiap yang berilmu itu adalah yang lebih
pandai (darinya).” – dikutip dari al-Ihya’.
4.
Tawadlu dan tidak sombong, tidak menolak kebenaran
dari orang lain, walaupun lebih muda usianya.
Seorang guru layaknya menjadi teladan
bagi muridnya bahwa belajar itu bisa dari siapa saja, termasuk orang yang
usianya lebih muda. Jangan mentang-mentang sudah jadi guru, lalu enggan belajar
dari orang yang lebih muda, bahkan muridnya sendiri pun. Mari kita saksikan
bagaimana para maha guru kita memberikan teladan.
Diriwayatkan
dari al-Fudhail bin ‘Iyadh, “Sesungguhnya Alloh mencintai orang ‘alim yang
rendah hati dan membenci orang ‘alim yangangkuh. Dan, barangsiapa yang bersikap
rendah hati semata-mata karena Alloh, maka Alloh akan mewariskan hikmah
kepadanya.”
Imam
an-Nawawi berkata, “Dulu, banyak sekali ulama’ salaf yang mau belajar dari murid-muridnya,untuk
persoalan-persoalan yang tidak mereka mengerti.”
Al-Humaydi
– salah seorang murid Imam Syafi'i – bercerita, "Saya menemani Imam
Syafi'i dari Makkah ke Mesir. Maka saya belajar dari beliau tentang
persoalan-persoalan (fiqh), sedangkan beliau belajar hadits dari saya."
Imam
Ahmad bin Hanbal juga bercerita tentang guru beliau, "Imam Syafi'i pernah
berkata kepada kami: “Anda lebih memahami hadits dibanding saya. Jika menurut
Anda sebuah hadits itu shahih, maka katakanlah kepada saya, supaya saya dapat
berpegang kepadanya."
5.
Bersikap simpatik dan penuh kasih sayang kepada murid
Bagaimana mungkin seseorang mau
belajar dari orang yang dia benci? Begitu juga seorang murid, dia akan
cenderung malas dan menolak belajar dari guru yang dia tidak sukai. Oleh karena
itu, hendaknya seorang guru bersikap simpatik kepada murid. Seorang guru
hendaknya senantiasa mencurahkan kasih sayangnya dan bersikap lembut kepada
murid.
Tersebut dalam riwayat Imam Ahmad,
at-Thobroni dan Ibnu Hibban bahwasanya sahabat Shofwan bin ‘Asal al-Murodi
mendatangi Nabi dan berkata, “wahai Rosululloh, saya datang untuk menuntut
ilmu”, Nabi shollallohu alaihi wa sallam pun menyambut dengan ucapan, “selamat
datang wahai penuntut ilmu! Sesungguhnya penuntut ilmu dinaungi oleh para
malaikat dengan sayapnya. Kemudian mereka menumpuk hingga langit dunia, karena
kecintaan mereka terhadap apa yang dicari oleh penuntut ilmu tersebut”.
Dalam
Muqaddimah Syarh al-Muhadzdzab, Imam an-Nawawi berkata, “Dianjurkan kepada
seorang guru agar bersikap simpatik kepada murid dan berbuat baik kepadanya
semaksimal mungkin.
Diriwayatkan
dari Abu Harun al-‘Abdiy, beliau berkata: “Dulu kami pernah mendatangi Abu
Sa’id al-Khudry, maka beliau pun berkata: ‘Selamat datang wasiat Rasulullah!
Sungguh beliau bersabda,‘Sesungguhnya manusia akan mengikuti kalian. Akan ada
orang-orang yang datang dari berbagai penjuru untuk mendalami urusan agamanya.
Jika mereka datang kepada kalian, maka perlakukanlah mereka sebaik-baiknya.” –
dikeluarkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Majah.
6.
Senantiasa belajar untuk memperbaiki dan meningkatkan
kualitas diri
Seorang ahli ilmu adalah pembelajar
sejati. Dia tidak pernah berhenti belajar. Seorang guru pun demikian, hendaknya
senantiasa belajar dan belajar untuk terus memperbaiki dan meningkatkan
kualitas diri. Menurut Pak Munif Chatib, praktisi pendidikan berbasis Multiple
Intelligences, konsultan pendidikan, serta penulis buku Sekolahnya Manusia dan
Gurunya Manusia, idealnya guru itu 40% belajar, 60% mengajar. Ingat! Senjata
yang tidak pernah diasah, lama-lama akan menjadi tumpul.
Sa'id
bin Jubair berkata, "Seseorang itu selalu disebut 'alim selama dia mau
untuk terus belajar. Jika ia meninggalkan belajar dan menyangka bahwa dia telah
kelebihan dan merasa cukup dengan apa yang sudah diketahuinya, maka diapun
menjadi orang yang lebih bodoh disbanding sebelumnya."
Saya
pernah mendengar guru saya, KH. Ihya Ulumiddin bercerita, suatu ketika beliau
berjalan bersama guru beliau Abuya Sayyid Muhammad al-Maliki. Waktu itu guru
saya mendapatkan sambutan yang hangat dari banyak orang. Tangan beliau diciumi.
(Tentu hal tersebut karena memang beliau telah mencapai derajat tertentu
sehingga banyak orang yang mengagungkan beliau). Apa yang dikatakan Abuya
melihat hal ini? Abuya berkata kepada guru saya, “maa zilta tholiban”
(Anda, tetap seorang pelajar).
Itulah
beberapa adab bagi guru yang kami nukil dari hadits, atsar dan hikmah para
ulama. Semoga kita semua, khususnya para guru, diberi hidayah dan pertolongan
oleh Alloh ta’ala, untuk memahami dan mengamalkan adab-adab ini.
“Ilmu yang
tak diamalkan, laksana pohon tak berbuah”
Wallohu a’lam. [tije/LP2A PBSB]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar