Kamis, 30 Mei 2013

Adab Seorang GURU


Saudaraku yang semoga senantiasa dijaga oleh Alloh ta’ala. Kita tahu bahwa salah satu pra-syarat pendidikan yang berkualitas adalah adanya guru yang berkualitas. Murid yang cerdas, kreatif, jujur, dan bertanggungjawab biasanya “lahir” dari pembinaan guru yang juga mempunyai kualitas serupa. Jika gurunya malas belajar, suka marah-marah, mempelopori nyontek masal, dan tidak mau inshaf mengakui kesalahan ketika berbuat salah, kita sudah bisa membayangkan, muridnya akan menjadi seperti apa. Memang, guru bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan. Ada faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi perkembangan seorang murid, seperti pendidikan di dalam keluarga, masyarakat tempat dia berdomisili, dan juga teman-teman dekatnya. Namun begitu, seorang guru tentu mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan seorang murid. Hampir setiap hari, rata-rata 5-7 jam, seorang murid belajar bersama gurunya di sekolahan. Jumlah jam itu akan meningkat jika ditambah les privat, bimbingan belajar, serta pengajian di masjid dan mushola. Lalu, bagaimanakah guru yang berkualitas itu? Bagaimanakah guru yang baik itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu ada beragam jawaban, tergantung dari sudut mana dan dengan dasar apa kita memandang. Pada kesempatan kali ini, kami mengajak Anda sekalian untuk menelaah konsep Adab seorang guru, berdasarkan al-Hadits, atsar para sahabat dan hikmah para ulama.
Apakah Adab itu?
Menurut Prof. Naquib al-Attas, pakar filsafat dan sejarah Melayu, adab adalah “pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan darjat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta.” 
Contoh 1: Manusia yang beradab kepada Alloh ta’ala adalah manusia yang mengenal Alloh dan mengakui hak dan kedudukan Alloh sebagai Pencipta alam semesta, yaitu disembah. Kemudian manusia tersebut merespon dengan melaksanakan sholat sebagai bentuk penyembahan dia kepada Alloh ta’ala. Itulah contoh manusia yang beradab kepada Alloh ta’ala.
Contoh 2: Anak yang beradab kepada orang tuanya adalah anak yang mengenal dan mengakui bahwa Alloh menciptakan dia melalui perantara orangtuanya. Ia menyadari bahwa orangtuanya telah merawat, menjaga, dan mendidiknya hingga dia cukup umur. Olehkarena itu orangtua berhak mendapatkan baktinya. Kemudian si anak merespon dengan berbakti dan berbuat baik kepada orang tua. Itulah contoh anak yang beradab kepada orangtua.
Seberapa pentingkah adab itu?
Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita merenungkan dalam-dalam, perkataan dan pernyataan para ulama terkait dengan adab.
‘Abdurrahman bin al-Qasim berkata, “Saya berkhidmat kepada Imam Malik selama 20 tahun. Dua tahun diantaranya (saya habiskan) untuk mempelajari ilmu, sedangkan 18 tahun lainnya untuk mempelajari adab. Duh, andai saja saya habiskan seluruh masa itu untuk mempelajari adab!”
Abdulloh Ibnu Mubarok, seorang ahli hadits, berkata, “Barangsiapa yang meremehkan adab-adab, maka ia akan dihukum dengan terhalang dari sunnah-sunnah. Barangsiapa yang meremehkan sunnah-sunnah, maka ia akan dihukum dengan terhalang dari  fardhu-fardhu.  Dan barangsiapa yang meremehkan  fardhu-fardhu, maka  ia akan dihukum dengan terhalang dari ma’rifat (mengenal Allah)”.
Imam Syafii, imam mazhab yang banyak menjadi panutan kaum Muslim di Indonesia, pernah ditanya, bagaimana upayanya dalam meraih adab? Sang Imam menjawab, bahwa ia selalu mengejar adab laksana seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang.
Dengan merenungkan perkataan dan pernyataan para ulama di atas, yang kualitas keilmuannya tidak diragukan lagi, kita bisa menyimpulkan bahwa adab ini merupakan perkara yang sangat penting. Oleh karena itu, patut bagi kita untuk senantiasa memperhatikan adab dalam setiap tindakan kita.
Adab-adab Seorang Guru
Diantara adab bagi seorang guru adalah berniat untuk mendapatkan ridlo Alloh ta’ala, berhati-hati dan tidak serampangan dalam menjawab pertanyaan, jika berbuat salah mau mengakui dan memperbaiki (inshaf), tawadlu dan tidak sombong, simpatik dan penuh kasing sayang kepada murid, senantiasa belajar untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas diri.
1.     Berniat untuk mendapatkan ridlo dari Alloh ta’ala
Seorang guru hendaknya meniatkan diri belajar dan mengajar untuk mendapatkan ridlo dari Alloh ta’ala, menyebarkan ilmu, menghidup-hidupkan agama, menegakkan kebenaran, berharap menumbuhkan bibit-bibit ulama yang menerangi manusia, serta mengharap pahala dari Alloh ta’ala. Seorang guru hendaknya tidak merendahkan dirinya dengan hanya mencari kemuliaan di dunia saja, hanya untuk mendapatkan harta benda, popularitas, kekuasaan dan tujuan duniawi lainnya. Mari belajar dari para maha guru pendahulu kita.
Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam dawuh, “Sesungguhnya setiap  perbuatan tergantung niatnya.  Dan  sesungguhnya  setiap  orang  (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. …” (riwayat Imam Bukhori dan Imam Muslim)
Imam Syafi'i rahimahullah pernah berkata, "Aku sangat berharap orang-orang mempelajari ilmu ini dariku, sementara tidak satu hurufpun yang dinisbatkan kepadaku."
Imam al-Ghazali menyatakan, bahwa seorang ‘alim (berilmu) namun dia termasuk salah seorang dari budak-budak dunia, maka dia lebih rendah posisinya dan lebih berat siksanya dibanding orang yang jahil (tidak berilmu).
Al-Hasan al-Bashri berkata, “Hukuman untuk para ulama’ adalah matinya hati. Dan kematian hati (akan terjadi ketika) mereka memburu dunia dengan amal-amal akhirat.”
2.     Berhati-hati, tidak serampangan menjawab pertanyaan
Ketika mendapatkan pertanyaan dari murid, biasanya seorang guru berhasrat untuk menjawabnya. Ini adalah hal yang wajar. Menjadi tidak wajar ketika, karena merasa malu jika dikatakan tidak bisa menjawab pertanyaan, seorang guru selalu menjawab setiap pertanyaan murid, padahal dia sendiri tidak memahami persoalan tersebut. Hal ini tentu berakibat buruk. Para ulama memberi teladan bahwa seorang guru sebaiknya mengatakan “aku tidak tahu”, jika memang tidak memahami persoalan yang dilontarkan oleh seorang penanya.  
Ada sebuah atsar yang dikutip dari Ibnu ‘Umar, bahwa beliau berkata, “Ilmu itu ada tiga: Kitab Allah yang berbicara, Sunnah yang sudah berlaku tetap, dan la adriy (saya tidak tahu).” – dikeluarkan oleh ath-Thabrani dalam al- Awsath.
Imam an-Nawawi berkata, “Diantara bentuk ilmu yang dimiliki seorang ‘alim adalah pernyataan ‘saya tidak tahu’ atau ‘Alloh lebih tahu’ dalam persoalan-persoalan yang tidak diketahuinya.”  Beliau juga berkata, “Ketahuilah, menurut keyakinan muhaqqiqin (orang-orang yang sangat mantap ilmunya) bahwa pernyataan ‘saya tidak tahu’ dari seorang ‘alim tidak akan menjatuhkan martabatnya. Sebaliknya, hal itu menunjukkan hebatnya kedudukan, ketakwaan dan kesempurnaan pengetahuannya. Sebab, orang yang sudah sangat mantap ilmunya, tidak masalah jika dia tidak mengetahui beberapa persoalan. Bahkan, pernyataannya: ‘saya tidak tahu’ itu bisa menjadi petunjuk atas ketaqwaannya, dan bahwasanya dia tidak sembarangan/ngawur dalam berfatwa.” – dari: Muqaddimah Syarh al-Muhadzdzab.
3.     Jika berbuat salah, mengakui dan mau memperbaiki (inshaf)
Kadangkala kita temui ada seorang guru yang merasa dirinya paling pandai dan paling benar. Dia tidak mau menerima kritikan dan saran dari orang lain. Ada juga yang sudah berpuluh-puluh tahun menjadi guru sehingga dia merasa dirinya paling berpengalaman. Ketika ada yang memberi saran kepada dia akan suatu hal, dia malah berkata, “aku ini sudah jadi guru 30 tahun, kamu anak kemarin sore gak usah banyak omong”. Apakah sikap seperti itu selayaknya ada pada diri seorang guru?
Imam Ibnu ‘Abdil Barr, semoga Alloh merahmatinya, berkata, “Diantara berkah dan adab ilmu adalah inshaf.”
Diantara contoh inshaf adalah: ada seorang wanita yang membantah pernyataan ‘Umar ibnu al-Khotthob dan mengingatkan beliau mana yang benar, padahal ketika itu beliau sedang berkhutbah di hadapan khalayak ramai. Apakah beliau menyangkal? Justru beliau berkata, “Wanita itu benar, dan laki-laki ini keliru.”
Pada kesempatan yang lain, ada seorang laki-laki yang bertanya kepada ‘Ali, dan beliau menjawabnya. Kemudian, ada orang lain yang berkata, “Bukan begitu, wahai Amirul Mu’minin. Tetapi, begini dan begitu.” Maka, beliau berkomentar, “Kamu benar, dan aku keliru. Dan diatas setiap yang berilmu itu adalah yang lebih pandai (darinya).” – dikutip dari al-Ihya’.
4.     Tawadlu dan tidak sombong, tidak menolak kebenaran dari orang lain, walaupun lebih muda usianya.
Seorang guru layaknya menjadi teladan bagi muridnya bahwa belajar itu bisa dari siapa saja, termasuk orang yang usianya lebih muda. Jangan mentang-mentang sudah jadi guru, lalu enggan belajar dari orang yang lebih muda, bahkan muridnya sendiri pun. Mari kita saksikan bagaimana para maha guru kita memberikan teladan.
Diriwayatkan dari al-Fudhail bin ‘Iyadh, “Sesungguhnya Alloh mencintai orang ‘alim yang rendah hati dan membenci orang ‘alim yangangkuh. Dan, barangsiapa yang bersikap rendah hati semata-mata karena Alloh, maka Alloh akan mewariskan hikmah kepadanya.”
Imam an-Nawawi berkata, “Dulu, banyak sekali ulama’ salaf yang mau belajar dari murid-muridnya,untuk persoalan-persoalan yang tidak mereka mengerti.”
Al-Humaydi – salah seorang murid Imam Syafi'i – bercerita, "Saya menemani Imam Syafi'i dari Makkah ke Mesir. Maka saya belajar dari beliau tentang persoalan-persoalan (fiqh), sedangkan beliau belajar hadits dari saya."
Imam Ahmad bin Hanbal juga bercerita tentang guru beliau, "Imam Syafi'i pernah berkata kepada kami: “Anda lebih memahami hadits dibanding saya. Jika menurut Anda sebuah hadits itu shahih, maka katakanlah kepada saya, supaya saya dapat berpegang kepadanya."
5.     Bersikap simpatik dan penuh kasih sayang kepada murid
Bagaimana mungkin seseorang mau belajar dari orang yang dia benci? Begitu juga seorang murid, dia akan cenderung malas dan menolak belajar dari guru yang dia tidak sukai. Oleh karena itu, hendaknya seorang guru bersikap simpatik kepada murid. Seorang guru hendaknya senantiasa mencurahkan kasih sayangnya dan bersikap lembut kepada murid.
Tersebut dalam riwayat Imam Ahmad, at-Thobroni dan Ibnu Hibban bahwasanya sahabat Shofwan bin ‘Asal al-Murodi mendatangi Nabi dan berkata, “wahai Rosululloh, saya datang untuk menuntut ilmu”, Nabi shollallohu alaihi wa sallam pun menyambut dengan ucapan, “selamat datang wahai penuntut ilmu! Sesungguhnya penuntut ilmu dinaungi oleh para malaikat dengan sayapnya. Kemudian mereka menumpuk hingga langit dunia, karena kecintaan mereka terhadap apa yang dicari oleh penuntut ilmu tersebut”.
Dalam Muqaddimah Syarh al-Muhadzdzab, Imam an-Nawawi berkata, “Dianjurkan kepada seorang guru agar bersikap simpatik kepada murid dan berbuat baik kepadanya semaksimal mungkin.
Diriwayatkan dari Abu Harun al-‘Abdiy, beliau berkata: “Dulu kami pernah mendatangi Abu Sa’id al-Khudry, maka beliau pun berkata: ‘Selamat datang wasiat Rasulullah! Sungguh beliau bersabda,‘Sesungguhnya manusia akan mengikuti kalian. Akan ada orang-orang yang datang dari berbagai penjuru untuk mendalami urusan agamanya. Jika mereka datang kepada kalian, maka perlakukanlah mereka sebaik-baiknya.” – dikeluarkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Majah.
6.     Senantiasa belajar untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas diri
Seorang ahli ilmu adalah pembelajar sejati. Dia tidak pernah berhenti belajar. Seorang guru pun demikian, hendaknya senantiasa belajar dan belajar untuk terus memperbaiki dan meningkatkan kualitas diri. Menurut Pak Munif Chatib, praktisi pendidikan berbasis Multiple Intelligences, konsultan pendidikan, serta penulis buku Sekolahnya Manusia dan Gurunya Manusia, idealnya guru itu 40% belajar, 60% mengajar. Ingat! Senjata yang tidak pernah diasah, lama-lama akan menjadi tumpul.
Sa'id bin Jubair berkata, "Seseorang itu selalu disebut 'alim selama dia mau untuk terus belajar. Jika ia meninggalkan belajar dan menyangka bahwa dia telah kelebihan dan merasa cukup dengan apa yang sudah diketahuinya, maka diapun menjadi orang yang lebih bodoh disbanding sebelumnya."
Saya pernah mendengar guru saya, KH. Ihya Ulumiddin bercerita, suatu ketika beliau berjalan bersama guru beliau Abuya Sayyid Muhammad al-Maliki. Waktu itu guru saya mendapatkan sambutan yang hangat dari banyak orang. Tangan beliau diciumi. (Tentu hal tersebut karena memang beliau telah mencapai derajat tertentu sehingga banyak orang yang mengagungkan beliau). Apa yang dikatakan Abuya melihat hal ini? Abuya berkata kepada guru saya, “maa zilta tholiban” (Anda, tetap seorang pelajar).
Itulah beberapa adab bagi guru yang kami nukil dari hadits, atsar dan hikmah para ulama. Semoga kita semua, khususnya para guru, diberi hidayah dan pertolongan oleh Alloh ta’ala, untuk memahami dan mengamalkan adab-adab ini.
“Ilmu yang tak diamalkan, laksana pohon tak berbuah”

Wallohu a’lam. [tije/LP2A PBSB]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar