Ahad, 31 Maret 2013 di Darul Hikmah.
Hari itu terasa tidak biasa. Di aula
PA. Darul Hikmah berkumpul beberapa orang yang ternyata adalah para ustadz dan
ustadzah TPA di wilayah kelurahan Airlangga. Mereka sedang mengikuti pelatihan
Mendongeng dengan Mata Hati yang dibimbing oleh Ki Heru Cokro, seorang Master
Trainer Mendongeng, pendongeng nasional, dan juga penulis buku.
Di awal sesi Ki Heru menceritakan
kisah hidupnya yang begitu mengharukan sekaligus membuat siapa saja mengacungi
dua jempol kepada beliau. Alumnus UNTAG fakultas hukum ini mengisahkan bahwa
tahun 90-an awal hingga pertengahan merupakan masa-masa kejayaan. Beliau aktif
sebagai aktifis masjid, seniman, pendongeng, penulis, dan juga bintang sinetron
islami. Cobaan mulai menghampiri di
akhir 90-an. Beliau mengalami gangguang mata yang memaksa beliau naik di meja
operasi. Tidak berselang lama, ayah beliau meninggal dunia karena sakit. Awal tahun
2000 beliau berbahagia karena menikah dan memiliki seorang anak perempuan. Cobaan
rupanya masih berlanjut. Ibunya menyusul sang ayah. Ditambah penyakitnya yang
semkin parah. Beliau pun divonis terkena virus tokso plasma yang mengakibatkan
kebutaan di mata.
Tidak lama kemudian, adik
satu-satunya pun ikut menyusul kedua orang tuanya, menghadap Alloh ta’ala. Bertambah
beratlah beban hidup sang pejuang dongeng ini. Puncaknya adalah ketika sang
istri meminta cerai. Beliau tidak bisa berbuat apa-apa. Sang istri pun akhirnya
membawa serta anak beliau satu-satunya. Jadilah beliau hidup sebatang kara.
Beliau sempat shock, drop, dan hampir
saja putus asa. Alloh ta’ala menyayangi beliau. Melaui guru dan teman-teman
beliau, Alloh ta’ala mengirimkan hidayahNya. Ki Heru pun bangkit. Kembali mendongeng.
Kali ini lebih dahsyat. Beliau tidak lagi memikirkan kekurangan beliau yang
tuna netra. Justru beliau menjadikan kekurangan sebagai nilai lebih. Beliau menjadi
lebih peka terhadap rasa. Sebuah kemampuan yang sangat penting bagi seorang
pendongeng. Selain mendongeng untuk anak-anak, remaja, dan orang dewasa, beliau
juga melakukan road show pelatihan mendongeng bagi guru-guru TK, SD, dan TPA. Kota
dan kabupaten yang pernah beliau kunjungi diantaranya adalah Surabaya, Sampang,
Lamongan, Pasuruan, Malang, Gresik,
Tuban, Bondowoso dan Jogjakarta. Beliau juga
mengkoordinir sahabat-sahabat beliau yang juga tuna netra dalam komunitas
AZIMAT, Kependekan dari Anti Zina Mata. Ki Heru tidak mau menyerah kepada
keadaan. Beliau terus dan terus membumikan dongeng. Berjuang untuk dongeng.
Sepenggal kisah hidup beliau membuat
para peserta pelatihan merinding di awal-awal. Airmata keharuan pun tumpah. Rupanya
Ki Heru menyadari hal ini. Beliau pun langsung mangajak para guru TPA tersebut
untuk menghibur diri lewat nyanyi bareng.
Setelah itu Ki Heru langsung meminta
beberapa peserta untuk praktek mendongeng. Ada peserta yang cukup PD
mendongeng. Ada juga yang kelagapan di awal. Ada yang malu-malu, namun akhirnya
mau mendongeng juga. Kemudian Ki Heru memberikan komentar dan masukan langsung
kepada peserta yang praktek mendongeng tersebut. Sebaiknya pendongeng memilih
materi dongeng yang sesuai dengan usia anak. Untuk anak pra SD sebaiknya
materinya berisi tokoh-tokoh hewan yang imaginative. Biarkan anak berimaginasi
seluas mungkin. Untuk anak SD materi bisa diambil dari kisah-kisah teladan yang
ringan-ringan. Seorang pendongeng juga musti menggunakan bahasa anak ketika
mendongeng. Bahasa yang sederhana. Agar anak bisa memahami.
Selanjutnya para peserta diajak Ki
Heru untuk berlatih konsentrasi dalam mendongeng. Peserta berpasang-pasangan
saling membelakangi. Masing-masing peserta mendongeng sendiri-sendiri. Ki Heru
memberikan instruksi agar peserta focus ke dongengnya sendiri dan jangan sampai
terganggu oleh dongeng orang di belakangnya. Pelatihan konsentrasi pn
berlanjut. Kali ini peserta saling berhadap-hadapan. Saling mendongeng. Peserta
diminta agar senantiasa focus mendongeng. Pada level selanjutnya, satu peserta
berakting sedang mendongeng sementara pasangannya berakting sebaga anak kecil
yang sedang mendengarkan dongeng. Anak kecil ini diusahakan ‘senakal” mungkin. Pendongeng
harus mampu memasuki dunia anak dan membawa anak ke dalam dunianya. Latihan ini
dilakukan secara bergantian sambil dibimbing oleh Ki Heru.
Hari mulai beranjak siang. Ki Heru
mengajak para peserta latihan vocal a i u e o. Caranya adalah dengan
menyanyikan lagu satu satu, aku sayang ibu, dst. Namun setiap huruf vokalnya
diganti a semua, I semua, u semua, e semua, dan o semua. Tak ayal para peserta
pun tertawa cekakaan. Hahaha.
Setelah itu, Ki Heru mempresentasikan
bagaimana cara menggunakan boneka dalam mendongeng. Baik berupa boneka besar,
maupun boneka tangan. Terlebih dahulu Ki Heru meminta salah satu guru TK yang
merupakan binaan beliau. Guru TK tersebut sengaja beliau ajak untuk berbagi
semangat mendongeng kepada para peserta. Guru TK tersebut pernah menjuarai
lomba mendongeng se Surabaya. Kemudian Ki Heru pun beraksi. Beliau membawa
boneka cukup besar. Namanya Nelmo. Boneka itu dimodifikasi sedemikian rupa sehingga
tangan pendongeng bisa masuk ke kepalanya dan menggerak-gerakkan boneka ketika
mendongeng. Beliau juga mempraktekkan bagaimana cara menggunakan boneka tangan
sebagai alat peraga dalam mendongeng. Ki Heru memberikan contoh bagaimana cara
memunculkan suara yang berbeda beda untuk karakter yang berbeda. Suara 1, 2, 3,
dan tentu, suara pendongeng. Beliau memberikan tips agar pendongeng hendaknya;
memunculkan suara pendongeng selain suara tokoh, membuat dialog antara tokoh
dengan anak-anak.
Sebelum break, Ki Heru meminta agar
para peserta membuat scenario dongeng. Di dalam scenario tersebut harus ada
dialog antar tokoh. Temanya bebas. Para peserta pun antusias menulis scenario dongeng.
Tak terasa, makan siang sudah datang. Para peserta pun break untuk makan siang.
Kemudian sholat dzuhr berjama’ah.
Setelah sholat dzuhr, Ki Heru
memberikan motivasi kepada para guru TPA agar bersemangat dalam berjihad,
berjuang di jalan Alloh lewat TPA. Dengan mendidik anak-anak Islam agar menjadi
anak-anak yang sholih. Dan salah satu media yang sangat ampuh dalam mendidik
anak adalah dongeng. Dongeng merupakan hiburan yang bisa digunakan untk
menanamkan nilai-nilai positif kepada anak. Berbeda denga sulap atau badut yang
99% berisi hiburan semata. Melalui dongeng kita bisa mengenalkan aqidah kepada
anak, kita bisa membuat anak bersemangat ngaji, kita bisa mensugesti anak agar
rajin belajar.
Sesi kedua diawali dengan praktek. Beberapa
peserta diminta membacakan skenario dongeng yang telah ditulis. Ada beberapa
dongeng yang cukup menarik. Misalnya dongeng tentang dialog malaikat Jibril dan
para hewan seperti kerbau, kelelawar, dan cacing. Ki Heru mengomentari dan
memberikan pujian kepada para peserta.
Selanjutnya para peserta diajak
latihan pernafasan. Latihan ini berfungsi agar pendongeng bisa mengingat dan
meresapi alur dongeng. Selain itu latihan ini juga bermanfaat agar pendongeng
bisa konsentrasi, focus, dan percaya diri ketika mendongeng. Latihan ini mirip
meditasi.
Kemudian panitia membagikan penutup
mata kepada para peserta. Kali ini para peserta berlatih acting dengan mata
tertutup. Tujuannya agar para peserta bisa lepas dalam berakting. Karena mereka
semua matanya tertutup. Tidak ada lagi rasa “malu” untuk berakting. Ki Heru
mengomandani peserta untk berakting seperti bayi yang baru lahir, anak minta
nyusu, anak nangis, anak tertawa, anak bermain, belajar sepeda, anak naik
motor, guru, tentara, pemimpin, anak nakal, goyang dombret, pak tani, anak yang
merawat ibu, sampai berakting sebagai anak yang kehilangan ibu. Tak ayal, tawa
dan tangis pun silih berganti. Ki Heru mencoba mengaduk-aduk perasaan para
peserta. Bisa dikatakan, latihan inilah yang paling banyak menguras energy para
peserta. Pikira dan perasaan mereka diaduk-aduk. Ada canda, tawa, gembira,
sedih, dan tangis.
Ki Heru mengakhiri pelatihan dengan
mendongeng sebuah kisah anak nakal yang taubat. Anak itu bernama Toni. Dia sangat
nakal. Tidak mau membantu Ibu. Malah sering mem”babu”kan sang Ibu hingga sang
ibu pun wafat ketika tepeleset di pasar. Si Toni malah senang karena mewarisi
harta peningalan ibunya. Dia merasa bebas. Hingga suatu ketika, Toni menemukan
sebuah album yang berisi gambar kebersamaan dia dan Ibu ketika masih belia
dulu. Ia juga membaca pesan Ibu, “nak, jadilah anak yang sholeh”. Toni pun
tersadar. Dia menyesali segala perlakuan buruknya kepada sang ibu. Sejak saat
itu si Toni berjanji untuk menjadi anak yang baik dan akan selalu mendoakan
ibunya yang telah meninggal dunia. Terasa sekali bagaimana Ki Heru begitu
menghayati setiap detail cerita. Ekspresinya, intonasi suaranya, getaran
persaannya, menyayat perasaan siapapun yang mendengar dan melihat beliau
mendongeng. Para peserta pun larut dalam tangis keharuan.
Ki Heru tidak membiarkan para peserta
terlalu larut dalam tangisan. Beliau mengajak nyanyi bersama, Jangan Menyerah. Sambil
nyanyi bareng, Ki Heru berpesan agar para peserta senantiasa sabar dan tidak
kenal menyerah dalam mendidik anak-anak muslim melalui TPA (Taman pendidikan
al-Quran).
“Tuhan pastikan menunjukkan, kuasa
dan kebesaranNya, bagi hambaNya yang sabar, dan tak kenal putus asa… jangan
menyerah…”
Begitulah gambaran Pelatihan
Mendongeng dengan Mata Hati yang diselenggarakan oleh Pesantren Mahasiswa Baitul
Hikmah bekerjasama dengan TPA-TPA di kelurahan Airlangga. Semoga bermanmafaat
dan berbarokah. Amin.
[tije/lp2a pbsb kemenag ri/alumnipbsbunair/pesmabaitulhikmah/pa.darulhikmah)
subhallah!
BalasHapus