Setelah beberapa hari tidak ketemu
karena kesibukan masing-masing, Mas Ikhwan (I) dan Kang Selamet (S) sepakat
untuk jagongan lagi. Kali ini jagongannya tidak di pagi hari, tapi di malan
hari, selepas jama’ah sholat Isya`. Bertemankan secangkir kopi hitam putih yang HOT, obrolan pun
mengalir…
I :
gimana kabar kamu Met?
S :
Alhamdulillah. Sae… Mas Ikhwan sendiri gimana kabar?
I :
Alhamdulillah. Baik. Oiya Met… kita lanjutkan diskusi kita ya?
S :
oke Mas.. diskusi tentang apa mas?
I :
apalagi? Tentang tahlilan.
S :
ooo… belum selesai ta Mas?
I :
Met. Tahlilan itu kan bisasanya diadakan selama tujuh hari, kemudian hari ke
empat puluh, hari ke seratus, hari ke seribu, lalu setiap tahun. Benar kan?
S :
enjeh Mas. Biasane memang seperti itu..
I :
itukan tradisi Hindu!?
S :
lho? Iya ta Mas?
I :
Iya. Kamu gak tahu ya? Dalam Kitab Manawa Dharma Sastra Weda Smerti hal. 99,
192, 193 disebutkan bahwa, termasyhurlah selamatan yang diadakan pada hari
pertama, ketujuh, empat puluh, seratus dan seribu. Itu kitabnya orang Hindu. Jadi
tradisi tahlilan selama tujuh hari, hari ke-40, hari ke-100, dan seterusnya
adalah budaya Hindu. Kita jelas tidak boleh ikut-ikutan.
S :
oooalah.. itu ta?
I :
emang kenapa Met?
S :
Tradisi Hindu dan Tradisi Tahlilan jelas sangat berbeda.
I :
maksudmu?
S :
Tradisi Hindu yang berhubungan dengan kematian itu biasane diisi dengan ritual
selamatan dengan menghidangkan makanan disertai dengan sabung ayam, minuman
keras, judi, dan hal-hal lain yang keharamannya sudah jelas dalam Islam. Lha kalo
Tahlilan yang biasa saya lakukan itu kan isinya baca surat dan ayat-ayat
pilihan, istighfar, sholawat, tahlil, dan dzikr-dzikr lainnya. Jelas sangat
berbeda.
I :
mana dalilnya?
S :
ooalah.. Mas Ikhwan minta dalil.
I :
iya. Kan harus ada dalil.
S :
yaweslah kalau itu maunya Mas Ikhwan. Begini mas, Imam Sufyan meriwayatkan, bahwa Imam Thowus berkata, Sesungguhnya orang yang
meninggal akan diuji di dalam kubur
selama tujuh hari,
oleh karena itu
mereka (kaum salaf) menganjurkan bersedekah
makanan untuk keluarga
yang meninggal selama tujuh hari tersebut.
I :
ada di kitab mana keterangan itu?
S :
keterangan itu ditulis oleh Imam Ahmad dalam al-Zuhd al-Hafizh, Abu Nu'aim dalam Hilyah al-Auliya’ juz 4, hal
11 dan al-Hafizh Ibn Hajar dalam al-Mathalib al-'Aliyah, juz5, hal 330
I :
benar ta?
S :
silahkan Mas Ikhwan cek sendiri.
I :
oke.
S :
Mas Ikhwan, seandainya Tradisi Tahlilan itu dianggap mengadopsi tradisi Hindu. Kan
gak papa tu? Bagus malahan.
I :
kamu ini ngomong ngawur aja.
S :
ngawur karena benar kan gak papa. hehehe. Di dalam Tradisi Hindunya kan diisi
dengan minuman keras, judi, sabung ayam, dan kema’shiatan yang lain. Kemudian setelah
diadopsi, isinya berubah menjadi baca al-Quran, istighfar, sholawat, tahlil,
dan shodaqoh makanan. Kan bagus itu?
I :
baca al-Quran dan lain-lain itu memang bagus. Sangat dianjurkan dalam Islam. Tapi
yang aku gak setuju, kenapa ada pengkhususan hari-harinya. Hari ke tujuh, empat
puluh, seratus, dan seterusnya yang menyerupai budaya Hindu?
S :
Mas, baca al-Quran itu kan baik?
I :
iya. Terus kenapa?
S :
boleh gak jika aku mengkhususkan diriku untuk membaca al-Quran satu juz setiap
jam 10 pagi?
I :
gak tahu sih.. jangan melebar ke mana-mana. Fokus aja ke pembahasan kita.
S :
maksudnya?
I :
mana dalilnya kalau mengkhususkan amal itu diperbolehkan?
S :
oooalah. Dalil ta? Gini aja ya.. ni aku bawa kitabnya Imam Nawawi, al-Majmu’. Aku
baca terjemahannya aja ya.. berjabat tangan itu disunnahkan dalam setiap
perjumpaan. Sedangkan tradisi berjabat tangan yang dibiasakan masyarakat seusai
sholat subuh dan ‘ashr tidak ada dalil syariatnya secara khusus, akan tetapi
tidak apa-apa dilakukan, karena hukum asalnya adalah sunnah.
I :
maksudnya?
S :
ya.. boleh-boleh aja kita mengkhususkan sebuah amal baik yang hukum asalnya
adalah sunnah. Kita tidak mendapatkan pahala karena pengkhususan itu, karena
memang tidak ada dalil syariatnya. Tapi kita tetap mendapatkan pahala karena
melakukan amal-amal sunnah. Ya seperti baca al-Quran, istighfar, sholawat,
tahlil, dan shodaqoh makanan itu kan hukumnya sunnah.
I :
bisa aja kamu.
S :
Mas Ikhwan juga bisa aja. Hehehe
I :
Ini saya juga bawa kitab. I’anatuth-tholibin. Karya syeikh al-Bakri. Ahli fiqh
madzhab Syafi’I ini.
S :
iya. Betul mas. Ada apa di kitab itu?
I :
dan dimakruhkan bagi keluarga duka duduk di rumah agar dita’ziahi dan membuat
jamuan dengan maksud mengumpulkan orang untuk memakannya, berdasarkan hadits
riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdulloh al-Bajali.
Ada lagi ni, Imam Nawaw dalam Al
Majmu’ menukil perkataan penulis Asy Syaamil dan ulama lainnya. Adapun yang
dilakukan keluarga mayit dengan membuatkan makanan dan mengumpulkan orang-orang
di kediaman mayit, maka tidak ada tuntunan dalam hal ini. Hal ini termasuk
bid’ah yang tidak dianjurkan
Lho? Ini adalah pendapat ahli Fiqh
Syafi’iyyah, kamu kan bermadzhab Syafi’iy?
S :
iya Mas. Beberapa waktu yang lalu kan pernah saya sampaikan bahwa Imam Syafi’I menyampaikan
bahwa para ulama sepakat bila telah jelas baginya sunnah Rosululloh, maka tidak
diperkenankan untuk meninggalkannya, dikarenakan pendapat seseorang.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal pun berkata
bahwa seorang faqih tidak
sebaiknya memaksa orang lain mengikuti madzhabnya.
I :
okedah. Terus mana dalilmu?
S :
yang pertama, tadi kan sudah saya sampaikan tentang perkataan Imam Thowus.
I :
ada dalil yang lain gak?
S :
ada riwayat dari Sayyidina Umar bin al-Khoththob, bahwa ketika
akan wafat beliau berwasiat agar
orang-orang yang berta’ziyah disuguhi makanan. Al-Hafizh
Ibn Hajar berkata dalam
kitabnya al-Mathalib al’-Aliyah: Al-Ahnaf bin Qais berkata, Aku
pernah mendengar Umar RA berkata: Apabila seseorang dari
suku Quraisy memasuki
satu pintu, pasti
orang lain akan mengikutinya. Aku tidak mengerti maksud
perkataan ini, sampai akhirnya Umar RA ditikam,
lalu beliau berwasiat
agar Shuhaib yang
menjadi Imam Shalat selama
tiga hari dan
agar menyuguhkan makanan
pada orang-orang yang ta’ziyah. Setelah
orang-orang pulang dari
mengantarkan jenazah Umar
RA, ternyata hidangan makanan
telah disiapkan, tetapi
mereka tidak jadi
makan, karena duka cita
yang tengah menyelimuti
mereka. Keterangan ini ditulis oleh imam Ahmad bin
Mani’ dalam al-Musnad dan
al-Hafizh Ibn Hajar dalam al-Mathalib
al-‘Aliyah, juz 5 hal. 328
I :
oke. Itu kan keterangannya sampai 3 hari saja. Kalau lebih kan tidak boleh!? Sebagaimana
disebutkan dalam Matan Abi Syuja’ atau Matan Al Ghoyah wat Taqrib, bahwa keluarga
mayit dita’ziyahi selama tiga hari setelah pemakaman si mayit.
S :
Balik maneng, tadi kan saya sudah menyampaikan sebuah riwayat. Imam Thowus
berkata bahwa sesungguhnya orang yang meninggal akan diuji di dalam
kubur selama tujuh
hari, oleh karena
itu mereka para ulama salaf menganjurkan bersedekah
makanan untuk keluarga
yang meninggal selama tujuh hari tersebut.
I :
iya. Jadi dalam hal ini memang terjadi perbedaan pendapat antar Ulama ya?
S :
betul Mas.
I :
okelah. Perbedaan pendapat memang hasrus disikapi dengan bijak.
S :
setuju Mas Ikhwan.
I :
tapi ini bukan berarti aku mau tahlilan lho? Tahlilan kan gak wajib?
S :
benar. Tahlilan gak wajib. Dan tahlilan juga gak harom. Mau tahlilan silahkan. Gak
mau tahlilan ya gak masalah.
I :
sip dah… sudah malem. Aku pulang dulu ya? Kasihan istriku menunggu di rumah.
S :
oh.. iya Mas. Waktunya smack down ya? Hehehe
I :
kamu ini bisa aja. Hahaha
I :
Bu.. berapa semuanya?
D :
sudah dibayari Kang Selamet mas…
I :
kapan Bu?
S :
sebelumnya tadi Kang Selamet sudah ngasih uang. Dan bilang kalau dia yang
bayar.
I :
oooalah.. yaudah kalo gitu.
I :
terimakasih Met. Jazakumulloh…
S :
podo-podo Mas.
I :
kapan-kapan jagongan maneh ya?
S :
siap Mas!
I :
assalamualikum
S :
wa’alaikumsalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar