Minggu, 24 Februari 2013

Jagongan Ahli Bid'ah: Tahlilan (1)



Di pagi hari yang agak pucat karena mendung, sepasang sahabat terlihat asyik njagong di sebuah warung kopi. Mereka adalah Selamet (S) dan Ikhwan (I). Sambil menyeruput dikit-dikit kopi yang panas itu, mereka ngobrol ngalor ngidul ngetan ngulon. Walaupun dalam suasana yang mendung, mereka sangat bersemangat dalam berdiskusi. Mungkin saja ini karena pengaruh seruputan kopi..

I           : Met, tadi malam di rumahmu ada tahlilan ya?
S          : iya. Kamu ku undang kok gak datang. Kenapa?
I           : aku gak mau ikut-ikutan bid’ah. Tahlilan itu kan bid’ah. Rosululloh dan para sahabat kan pernah tahlilan.
S          : oooalah itu to sebabnya…
I           : iya. Tahlilan itu perbuatan sia-sia. Buang-buang uang, waktu, dan tenaga. Toh gak ada manfaatnya bagi embahmu yang sudah meninggal dunia. Pahala yang katanya orang dikirim itu gak mungkin bisa nyampek. Qoola ta’ala:
“Dan sesunguhnya manusia tiada memiliki selain apa yang telah diusahakannya”
Itu surat an-Najm ayat 39. Pasti kamu gak hafal. Buktinya kamu tahlilan.
S          : emmm.. jadi manusia itu hanya mendapatkan manfaat dari usahanya saja ya?
I           : iya. Betul itu!
S          : kalau ada orang yang berusaha menjadi muslim baik, menjadi sholih. Kemudian dia berusaha mencari teman yang baik, menikahi orang yang baik, memiliki keluarga yang baik, mempunyai keturunan yang baik-baik, kemudian orang-orang yang baik itu mendoakannya ketika dia sudah meninggal dunia. Apakah orang itu bisa mendapat manfaat dari usahanya tersebut?
Ayat tersebut jelas menyatakan bahwa seseorang tidak mendapatkan pahala kecuali dari hasil usahanya. Sedangkan orang lain juga memiliki pahala dari apa yang ia usahakan sendiri. Itu sangat benar. Namanya orang punya, kan boleh-boleh aja tuh, pahalanya dikasihkan ke orang lain? Masak mau ngasih pahala gak boleh?
I           : kamu ini bisa aja ngutak-ngatik permasalahan.
S          : lho, ini bukan utak-atik saya mas Ikhwan. Ini pendapatnya Syeikh Ibnu Abil ‘Izz dalam syarh aqidah Thohawiyyah. Saya setuju aja dengan pendapat beliau. Kalau gak salah halaman 925. Coba nanti mas ikhwan cek. Mase kan ahli baca kitab.
I           : Nabi bersabda: Jika anak Adam meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali 3 perkara: shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholih yang mendoakan. Ini hadits nya shohih. Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim. Jadi selain 3 amal itu, ya terputus semuanya. Makanya kamu ngaji hadits yang benar. Sampai hafal.
S          : ya jelas mas. Orang mati ya gak bisa beramal sholih lagi. Kalau gak salah di hadits tersebut sebenarnya Nabi ingin mengingatkan kita bahwa ada amal-amal yang pahalanya bisa didapatkan terus menerus walaupun kita sudah mati. Yaitu shodaqoh jariyah, Ilmu yang bermanfaat, dan anak yang sholih yang mendoakan. Namun saya pernah baca hadits riwayat Ibnu Majah dari Abu huroiroh yang menjelaskan bahwa ada amal-amal lain yang pahalanya terus mengalir walaupun si pengamal sudah meninggal dunia, yaitu; mushaf yang diwariskan, rumah untuk ibnu sabil, air sungai yang dialirkan, hartanya yang terus dishodaqohkan baik ketika dia masih hidup maupun sudah mati. Jadi bukan hanya 3. Bahkan Imam Suyuthi menambahakan bahwa menanam pohon juga termasuk amal yang pahalanya terus mengalir.
I           : benar juga. Tapi kan tetap aja yang mendapatkan pahala dari amal adalah si pengamal tersebut. Jadi pahala orang yang masih hidup tidak bisa dihadiahkan kepada orang yang sudah mati.
S          : hehehe. Justru itu, di dalam hadits tersebut Nabi menyatakan terputusnya amal. Bukan terputusnya manfaat. Sebagaimana yang saya sampaikan sebelumnya, pahala dari amal kebaikan adalah milik si pelaku amal. Jika dia mau, dia akan menyimpannya sendiri. Jika dia mau, boleh dong dia menghadiahkan kepada orang yang disayanginya?
Eh, ayahmu kan sudah meninggal dunia?
I           : iya. Dan aku gak mau tahlilan kayak kamu. Gak ada manfaatnya buat ayahku.
S          : iya. Gak apa-apa. Tahlilan memang tidak wajib. Bukan hal itu yang ingin saya bahas. Ketika meninggal dunia dulu, ayah mas Ikhwan kan masih punya hutang kepada ayahku. Mase kan yang melunasinya? Dengan harta mas sendiri. Mas Ikhwan benar-benar anak yang berbakti kepada orang tua. Yang saya tanyakan, uang untuk bayar hutang itukan uangnya mas, bukan uang ayahe mas? Jadi bukan hasil usaha ayahe m? Benar kan?
I           : iya. Benar. Emang kenapa?
S          : jadi di akhirat nanti, ayahe mas masih harus bayar hutang ke ayahku dong?
I           : ya gak bisa begitu. Aku kan sudah melunasinya. Aku anaknya. Aku ahli warisnya. Aku yang berkewajiban melunasi hutang ayahku. Agar kelak di akhirat beliau tidak menanggung beban hutang lagi..
S          : iya. Aku setuju dengan pean Mas. Mas Ikhwan benar-benar anak yang sholih.
I           : eh, kita belum selesai. Aku tidak pernah mendengar ada keterangan bahwa nabi, shohabat, dan ulama salaf melakukan tahlilan. Jadi tahlilan itu bid’ah. Dan pelaku bid’ah adalah calon penghuni neraka.
S          : sebentar mas… kita sepakati apa tahlilan itu. Tahlilan itu kan membaca ayat al-Quran, istighfar, sholawat, tahlil, dan dzikr yang lain secara bersama-sama kemudian diakhiri dengan penghadiahan pahala bacaan tadi kepada si mayyit dan juga mendoakan serta memohonkan ampun untuk si mayyit.
I           : iya. Aku tahu hal itu. Kalau mendoakan dan memintakan ampunan untuk si mayyit sih aku setuju. Itu dalilnya jelas. Nabi mengajarkannya dalam sholat jenazah. Nabi juga mengajarkan kita agar mengucapkan salam kepada ahli qubur. Di al-Quran juga ada, “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang mendahului kami dengan iman”. Itu tercantum dalam al-Quran surat al-Hasyr ayat 10. Namun mendoakan dan meminta ampunnya gak pas tahlilan. Ya pas sholat jenazah, atau doa setelah sholat.
Yang aku tidak setuju adalah penghadiahan pahala dari orang yang masih hidup kepada orang yang sudah mati. Karena hal tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Nabi, para sabahat, dan juga salaf yang sholih.
S          : mas Ikhwan ingatkan hadits bahwa seorang mayyit bisa disiksa di kubur akibat tangisan keluarganya?
I           : iya. Hadits itu shohih, riwayat Bukhori.
S          : kalau menangis aja bisa berpengaruh negatif terhadap si mayyit, maka pahala dari sebuah amal kebaikan yang dihadiahkan kepada si mayyit kemungkinan juga bermanfaat bagi dia. Alloh adalah Tuhan yang Maha Mulia, masak Alloh menyampaikan hukuman atau siksaan kepada mayyit, tapi menghalangi kiriman pahala untuk untuknya?
I           : kamu gak boleh bilang gitu..!
S          : Satu lagi. Mas Ikhwan ingatkan hadits bahwa Rosululloh menancapkan dua batang pelepah kurma di atas kuburan dan beliau mengabarkan bahwa kedua mayyit di kubur itu diringankan siksanya selama pelepah kurma itu masih basah.
I           : iya. Itu hadits shohih riwayat Bukhori Muslim.
S          : kalau pelepah kurma yang basah saja bisa bermanfaat bagi si mayyit, bagaimana dengan bacaan al-Quran, istighfar, sholawat, dan tahlil? Tentu bisa bermanfaat bagi si mayyit.
I           : itu akal-akalan kamu aja.
S          : ya gak papa kalau mas Ikhwan gak sependapat dengan saya. Saya gak maksa mas. Saya hanya ingin menyampaikan, dengan pengetahuannya saya yang sangat terbatas ini, bahwa saya dan orang-orang yang seide dengan saya melakukan tahlilan itu bukan asal-asalan. Yang kami lakukan ada dasarnya dalam agama Islam.
Sekalian saya tambahkan.
Di dalam kitab al Musnad juz V halaman 26-27 Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits yang berarti: “Bacakanlah Yasin bagi orang-orang yang mati diantara kalian”.
Dalam Musnad Firdaus juz IV halaman 32 juga ada sebuah hadits yang disampaikan oleh Abu Darda’, “setiap mayyit yang dibacakan surat Yasin untuknya, maka Alloh meringankan bebannya”.
Silahkan mas Ikhwan cek di kitab-kitab hadits tersebut. Jika mas Ikhwan memang ingin tabayyun.
I           : sudah siang. Aku mau berangkat kerja. Diskusi kita belum selesai. Besok pagi kita jagongan lagi di warung ini ya..
S          : insyaalloh mas Ikhwan. Matur suwun. Jazakumulloh
I           : podo-podo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar