Akhir-akhir ini banyak pakar -termasuk juga pemerintah- yang berpendapat bahwa pendidikan berbasis karakter adalah penting dan perlu dicanangkan dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini sepertinya disebabkan oleh kenyataan yang semakin memilukan bahwa tidak sedikit manusia di negeri ini yang cerdas secara intelektual namun justru malah menjadi masalah besar bagi bangsa. Banyak orang pintar yang justru jadi koruptor, baik koruptor di lembaga pemerintahan maupun lembaga non-pemerintah. Ada juga yang sudah cerdas, punya jabatan tinggi lagi, namun malah mengorbankan kepentingan bangsa dengan memberikan fasilitas kepada Negara asing untuk mengeruk kekayaan di negeri ini sedangkan pada saat yang sama masih banyak warga masyarakat yang belum terpenuhi kebutuhan ekonomi, pendidikan dan kesehatannya. Ditambah dengan kenyataan bahwa beberapa kaum intelektual muda bangsa ini lebih senang tawuran masal dari pada berusaha keras untuk menemukan solusi konkrit bagi permasalahan masyarakat. Belum lagi masalah kejujuran yang bahkan di lembaga pendidikan pun kadang-kadang (atau malah seringkali) dikorbankan demi kepentingan sesaat. Masih ingatkan kasus nyontek masal ketika UAN..? Cukup..!! Berhenti mengecam kegelapan. Nyalakan sebuah lilin. Meminjam kata-kata Anies Baswedan, Pendiri Yayasan Indonesia Mengajar, “Ini negeri besar dan akan lebih besar. Sekedar mengeluh dan mengecam kegelapan tidak akan mengubah apapun. Nyalakan lilin, lakukan sesuatu”.
Ide untuk mencanangkan pendidikan berkarakter memang sebuah langkah maju yang bagus dan patut didukung oleh segenap warga Negara Indonesia, termasuk saya dan Anda. Pendidikan karakter bukan hanya masalah bisa menghafal materi atau tidak. Bukan sekedar bisa menjawab soal ujian dan mendapatkan nilai 100. Karakter seseorang tidak bisa dibentuk hanya dengan membuat orang tersebut tahu dan hafal pelajaran. Karakter seseorang dibentuk oleh kebiasaannya. Jadi proses pendidikan hendaknya memfasilitasi agar peserta didik tidak hanya bisa hafal dan paham pelajaran tentang akhlak yang mulia tet`pi juga bisa mempraktikkan akhlak yang mulia itu dalam kehidupan sehari-hari sehingga akhlak mulia itu menjadi kebiasaan perserta didik.
Dalam proses pembiasaan, bukan hanya transfer pengetahuan saja yang dibutuhkan, tetapi juga (dan ini justru lebih penting) transfer nilai. Dalam proses transfer nilai ini, peserta didik memerlukan model atau teladan yang berkarakter yang bisa mereka teladani sehingga membantu mereka untuk melihat secara nyata pelajaran akhlak mulia dalam kehidupan mereka. Hal ini secara efektif akan membantu mereka untuk menginternalisasi nilai-nilai mulia dalam diri mereka. Jadi sesungguhnya dalam pendidikan berbasis karakter, yang sangat diperlukan adalah model atau panutan yang berkarakter. Dalam hal ini tentu guru lah yang selayaknya berupaya dengan ikhlash dan sepenuh hati agar menjadi teladan yang ideal bagi anak didik mereka. Guru yang dimaksud bukan hanya pengajar di sekolah atau madrasah, tetapi adalah semua pihak yang mempunyai peran dalam proses pendidikan. Guru adalah pengajar di sekolah, guru adalah orang tua murid di rumah, guru adalah para pemimpin. Guru adalah orang yang digugu (didengarkan nasehatnya) dan ditiru (diteladani sifat dan prilakunya).
Nabi kita tercinta Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam adalah potret guru yang paripurna. Sejak usia muda bahkan sejak usia dini beliau senantiasa menghiasi diri dengan sifat-sifat yang mulia seperti jujur, semangat bekerja keras, dan penuh kasih sayang. Bahkan di kalangan masyarakat Qurasy Mekah beliau dijuluki al-amin, orang yang dapat dipercaya. Sepanjang sejarah, hanya beliaulah yang mendapat julukan seperti itu. Beliau adalah seorang pendidik yang luar biasa sukses. Dari madrasah beliau lahirlah generasi Islam yang mendapat predikat khoiru ummah, umat terbaik, yaitu generasi para sahabat. Nabi kita yang oleh Michael H. Hart dalam bukunya The 100 ditetapkan sebagai manusia paling berpengaruh di muka bumi ini sukses mendidik generasi yang bukan hanya cerdas tapi juga berkarakter kuat serta berakhlaqul karimah. Contohnya adalah Ali bin Abi Thalib. Selain dikenal sebagai seorang yang cerdas hingga mendapat julukan “gerbangnya ilmu” beliau juga seseorang yang sangat pemberani dan rela berkorban demi agama Islam. Perang Khandaq menjadi saksi keberanian Ali bin Abi Thalib ketika Amar bin Abdi Wud, seorang jagoan kafir Qurays yang terkenal kuat berhasil melompati parit dan masuk ke daerah kaum Muslimin. Beliau berani menghadapinya dalam pertarungan satu lawan satu dan dengan satu tebasan saja Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian. Selain itu Ali bin Abi Thalib juga terkenal sangat dermawan. Suatu ketika beliau dan istrinya, Sayyidah Fatimah, hanya memiliki satu roti yang akan dimakan untuk berbuka puasa. Tiba-tiba datanglah orang yang minta-minta, beliau pun langsung memberikan roti tersebut kepada peminta-minta itu.
Orang tua di rumah hendaknya menjadi guru bagi putra putri mereka. Guru yang pantas dan layak digugu dan ditiru. Kalau bapak-ibu ingin agar sang buah hati rajin sholat lima waktu, maka sudah seharusnya bapak ibu memberikan contoh terlebih dulu. Ketika mengajar anak-anak di TPA saya sering bertanya kepada mereka, “siapa yang pagi ini mengerjakan sholat subuh?” Di antara mereka ada yang angkat tangan sambil menjawab, “saya..!” Sementara yang lain diam saja tidak mau menjawab. Mereka yang diam itu beberapa mengaku bahwa mereka tidak mengerjakan sholat subuh pagi itu. Pertanyaan tersebut sering saya ulang dan hasilnya tidak jauh beda. Kalau pun ada beda itu sangat kecil. Yang biasanya angkat tangan dan menjawab “iya” ya anak-anak itu. Yang diam dan kadang-kadang mau mengaku kalau mereka tidak mengerjakan sholat subuh ya anak-anak itu. Kemudian saya mencoba untuk mencari tahu lebih lanjut dengan mengajak anak-anak ngobrol. Mereka yang dengan percaya diri menjawab “iya” bercerita bahwa di rumah mereka sholat subuh berjama’ah dengan bapak-ibu mereka. Dan yang mengaku tidak mengerjakan sholat subuh bercerita bahwa mereka tidak diminta oleh orang tua mereka untuk sholat subuh dan sebagian lagi mengaku bahwa mereka tidak “diajak” oleh bapak atau ibu mereka untuk mengerjakan sholat. Bahkan ada yang mengaku kalau salah satu atau kedua orang tua mereka –memang- tidak mengerjakan sholat.
Kalau bapak ibu ingin agar sang buah hati senantiasa berkata sopan, maka sudah seharusnya bapak ibu senantiasa berkata sopan. Kalau setiap hari ketika berbicara dengan sang anak bapak ibu menggunakan bahasa yang halus dan sopan, maka sang anak akan terbiasa dengan bahasa yang halus dan sopan tersebut. Ia pun otomatis akan meniru dengan senantiasa berkata halus dan sopan. Kenapa beberapa anak kecil di sekitar kita, termasuk di dekat rumah saya, sudah bisa misuh dengan fasih? Jawabannya: Tanya saja kepada bapak ibu dia. Emang si anak bisa misuh sendiri kalau bapak ibunya tidak memberi contoh?! Saya pun mendapati kenyataan yang memprihatinkan. Ada diantara anak didik saya di TPA yang kalau sedang marah kepada temannya secara spontan berkata kotor (baca: misuh) bahkan kadang-kadang memukul temannya. Saya mencoba mencari tahu kenapa anak ini kok kasar dan keras seperti itu. Beberapa kali saya melihat bapak atau ibu si anak tersebut berkata kasar kepada sang anak ketika mereka berbicara kepada si anak. Kadangkala saya pun mendapati bapak-ibu tersebut memisuhi bahkan memukul sang anak. Jadi benar dugaan saya. Kemudian saya pun berusaha untuk mendekati anak itu dengan perkataan yang halus dan mengelus dengan lembut kepalanya. Saya juga mencoba untuk menajdi “teman”nya. Saya sempatkan untuk bermain dan bercanda dengannya. Sedikit demi sedikit sifat keras anak ini berkurang. Sekarang si anak ini sangat lengket dengan saya. Ketika ketemu saya, walaupun tidak di TPA, dia menyapa dan mendekati saya. Ketika di TPA dia sudah sangat jarang berkata kotor, apalagi kalau bertemu saya. Tidak pernah dia berkata kotor. Namun saya tidak tahu apakah di dalam rumah dan di sekolah di juga sama seperti itu, sudah berkurang perkataan kotor dan perbuatan kasarnya. Semoga saja iya.
Setiap anak lahir dengan keadaan polos tidak tahu apa-apa dan tidak bisa apa-apa. Ia bagaikan kertas yang putih bersih. Bahkan setiap anak lahir dalam keadaan fitrah; cenderung untuk berbuat kebaikan. Bapak ibunya lah yang kemudian menulis dan melukis di atas kertas putih itu. Apa pun yang bapak-ibu praktekkan di depan sang anak, dengan cerdas dia akan menirunya. Ada dikatakan, “seorang anak mungkin gagal dalam memahami apa yang orang tua katakan, tapi seorang anak tidak pernah gagal dalam meniru prilaku”.
Begitu juga bapak ibu pengajar yang menjadi pahlawan di sekolah. Jika memang menginginkan anak-didik kita menjadi pribadi yang berakhlak mulia, sudah tentu bapak ibu guru harus menjadi manusia dengan akhlak mulia tersebut terlebih dahulu. Apakah masih ada bapak ibu guru yang mengecap muridnya sebagai anak yang nakal atau anak yang bodoh..?? Bahkan secara terang-terangan berkata kepada si murid, “dasar anak nakal..!!” “dasar anak bodoh..!!” Pertanyaan saya, kalau ada murid yang nakal, siapa gurunya? Kalau ada murid yang bodoh, siapa gurunya? Apakah menjuluki seseorang dengan julukan “anak nakal” atau “anak bodoh” itu merupakan akhlak yang mulia?? Setahu saya Nabi kita yang mulia Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berprilaku seperti itu.
Suatu ketika ada seorang Arab Badui memasuki masjid, lantas dia kencing di salah satu sisi masjid. Lalu para sahabat ketika itu meneriakinya dan berkeinginan untuk mencegahnya, namun Rasulullah saw dengan penuh bijaksana bersabda, ”Jangan kalian putuskan kencingnya!” Maka tatkala orang tersebut selesai dari kencingnya, Nabi menyuruh agar tempat yang terkena air kencing tersebut disiram dengan seember air, lalu memanggil orang Badui tadi dan bersabda kepadanya, “Sesungguhnya masjid ini tidak layak untuk membuang kotoran di dalamnya, namun ia dipersiapkan untuk shalat, membaca al Qur’an dan dzikrullah.” (muttafaq ‘alaih). Dalam riwayat Imam Ahmad bin Hambal, orang Badui itu berkata: "Ya Allah sayangilah saya dan Muhammad, dan janganlah engkau sayangi seorangpun". Lihatlah betapa agungnya sikap idola kita ini.
Apakah nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatai orang Badui itu sebagai “orang bodoh” atau “orang nakal”?? TIDAK. Beliau justru dengan penuh kelembutan dan kasih sayang menjelaskan dan memberikan pelajaran yang berharga kepada orang Badui itu. Dengan memerintahkan sahabat untuk menyiram dan membersihkan air kencing dengan seember air, Rosululloh memberikan pelajaran secara visual kepada si Badui bahwa perbuatannya tidak benar. Kemudian beliau menegaskan secara rasional dengan menasehati si Badui dengan lembut bahwa masjid itu digunakan untuk shalat, membaca al Qur’an dan dzikrullah sehingga tidak pantas untuk dikencingi. Dan lihatlah respon si Badui. Subhanalloh.
Seorang pengajar hendaknya besikap lembut dan penuh kasih sayang kepada anak didiknya. Tindakan keras dan kasar tidak akan bisa menjadi solusi. Saya bertanya, apakah jika ada anak yang dianggap bodoh dan nakal kemudian dimarahi terus-menerus secara istiqomah, bisa berubah menjadi anak yang pandai dan baik?
Seorang ibu pernah curhat kepada saya bahwa dulu anaknya yang sedang duduk di bangku kelas 3 SD tidak mau berangkat ke sekolah. Ketika ditanya kenapa tidak mau sekolah sang anak menjawab, “saya takut. Bu guru xxx suka memarahi dan membentak saya”. Ibu tersebut mengatakan bahwa dia bersyukur karena sekarang si anak sudah mau berangkat sekolah. Apa penyebabnya? Ternyata bu guru xxx yang galak itu sudah pindah ke sekolahan yang lain. Nah lho?
Pada tahun yang yang lalu ada peristiwa yang menghebohkan warga Surabaya. Peristiwa itu adalah contekan massal yang melibatkan siswa-siswa sebuah SD Negeri di Surabaya. Seorang anak pintar, putra Ny Siami, “diajari” wali kelasnya memberikan contekan secara massal kepada teman-temannya pada saat Ujian Nasional SD. Bahkan sebelum UN ada simulasi pencontekan massal segala. Tidak setuju dengan tindakan guru sekolah tersebut, Ny Siami melaporkan kasus ini ke Dinas Pendidikan Surabaya yang kemudian memberi hukuman mutasi kepada sang wali kelas dan menurunkan pangkat oknum guru dan kepala sekolah yang dianggap ikut bertanggung jawab. Kasus seperti ini mungkin terjadi juga di sebagian sekolahan yang lain karena saya sendiri pernah diberi tahu oleh searang guru sekolahan yang katanya “terpaksa” mengikuti “kebijakan” sekolah untuk memberikan contekan kepada siswa ketika ujian nasional. Pertanyaan saya, “inikah pendidikan kejujuran yang dipraktekkan di sekolah??” Maka janganlah berkeluh kesah jika suatu ketika salah seorang yang sekarang menjadi murid dan mendapatkan pelajaran “menyontek” di sekolah itu kelak menjadi pejabat yang juga suka berbuat “nyontek”.
Memang benar bahwa ujian nasional itu –oleh sebagian kalangan- dianggap tidak ideal untuk menentukan lulus tidaknya seorang anak didik. Namun begitu apakah hal tersebut secara otomatis membenarkan seorang guru “mengajarkan” keahlian menyontek kepada muridnya..?? Bukankah seharusnya UAN justru memotivasi agar guru, murid, dan juga orang tua berjuang dengan segala kesungguhan agar sang anak berhasil lulus ujian? Toh Ujian Nasional tetap diadakan setiap tahun. Daripada menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran untuk menemukan “strategi menyontek” yang efektif, bukankah lebih baik menggunakan waktu, tenaga, dan pikiran itu untuk menemukan cara yang efektif dalam memfasilitasi anak- didik agar supaya bisa belajar dengan maksimal..? Misalnya dengan mempelajari dan memanfaatkan kosep Multiple Intelligences yang sudah dipraktekkan oleh beberapa sekolahan di Indonesia dan terbukti memiliki efek positif yang signifikan. Ada sebuah sekolah di Kabupaten Gresik yang semula hampir ditutup oleh dinas pendidikan setempat karena berbagai macam masalahyang sudah akut. Pihak pemangku kepentingan sekolahan tersebut kemudian memutuskan untuk menerapkan MIR (multiple intelligences research) dan MIS (multiple intelligences system). Tiga tahun kemudian sekolah ini menjelma menjadi salah satu sekolahan terbaik di kabupaten Gresik. Untuk informasi lebih lengkap silahkan membaca buku “sekolahnya manusia” dan “gurunya manusia” yang ditulis oleh Munif Chatib, CEO NEXT WORLDVIEW dan konsultan pendidikan dan manajemen. Beberapa waktu yang lalu siswa kelas akhir sekolah-sekolah di Indonesia mengikuti Ujian Akhir Nasional. Semoga kali ini pendidikan kejujuran benar-benar diajarkan dan dipraktekkan di sekolah-sekolah.
Kita bisa melihat bahwa teladan yang berkarakter merupakan syarat utama penyelenggaraan pendidikan berbasis karakter. Agaknya benar apa yang diutarakan seorang pakar pendidikan di Indonesia, Dr. Arief Rachman, MPd. yang menyatakan, “Keteladanan menjadi kunci utama dalam proses pendidikan, tanpa keteladanan pendidikan hanya akan menjadi ‘transfer knowledge’ tapi tidak ‘transfer of value’. Mari kita para guru; pengajar di sekolah, orang tua, dan para pemimpin, menjadikan kita teladan yang baik bagi murid dan anak-anak kita. Mari kita menjadikan diri kita idola yang berkarakter bagi murid dan anak-anak kita. Semoga murid dan anak-anak kita kelak menjadi pribadi yang bukan hanya cerdas, tapi (yang lebih penting) juga berakhlak mulia, berkarakter tangguh, dan jujur. Semoga bermanfaat. [tj]
Ide untuk mencanangkan pendidikan berkarakter memang sebuah langkah maju yang bagus dan patut didukung oleh segenap warga Negara Indonesia, termasuk saya dan Anda. Pendidikan karakter bukan hanya masalah bisa menghafal materi atau tidak. Bukan sekedar bisa menjawab soal ujian dan mendapatkan nilai 100. Karakter seseorang tidak bisa dibentuk hanya dengan membuat orang tersebut tahu dan hafal pelajaran. Karakter seseorang dibentuk oleh kebiasaannya. Jadi proses pendidikan hendaknya memfasilitasi agar peserta didik tidak hanya bisa hafal dan paham pelajaran tentang akhlak yang mulia tet`pi juga bisa mempraktikkan akhlak yang mulia itu dalam kehidupan sehari-hari sehingga akhlak mulia itu menjadi kebiasaan perserta didik.
Dalam proses pembiasaan, bukan hanya transfer pengetahuan saja yang dibutuhkan, tetapi juga (dan ini justru lebih penting) transfer nilai. Dalam proses transfer nilai ini, peserta didik memerlukan model atau teladan yang berkarakter yang bisa mereka teladani sehingga membantu mereka untuk melihat secara nyata pelajaran akhlak mulia dalam kehidupan mereka. Hal ini secara efektif akan membantu mereka untuk menginternalisasi nilai-nilai mulia dalam diri mereka. Jadi sesungguhnya dalam pendidikan berbasis karakter, yang sangat diperlukan adalah model atau panutan yang berkarakter. Dalam hal ini tentu guru lah yang selayaknya berupaya dengan ikhlash dan sepenuh hati agar menjadi teladan yang ideal bagi anak didik mereka. Guru yang dimaksud bukan hanya pengajar di sekolah atau madrasah, tetapi adalah semua pihak yang mempunyai peran dalam proses pendidikan. Guru adalah pengajar di sekolah, guru adalah orang tua murid di rumah, guru adalah para pemimpin. Guru adalah orang yang digugu (didengarkan nasehatnya) dan ditiru (diteladani sifat dan prilakunya).
Nabi kita tercinta Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam adalah potret guru yang paripurna. Sejak usia muda bahkan sejak usia dini beliau senantiasa menghiasi diri dengan sifat-sifat yang mulia seperti jujur, semangat bekerja keras, dan penuh kasih sayang. Bahkan di kalangan masyarakat Qurasy Mekah beliau dijuluki al-amin, orang yang dapat dipercaya. Sepanjang sejarah, hanya beliaulah yang mendapat julukan seperti itu. Beliau adalah seorang pendidik yang luar biasa sukses. Dari madrasah beliau lahirlah generasi Islam yang mendapat predikat khoiru ummah, umat terbaik, yaitu generasi para sahabat. Nabi kita yang oleh Michael H. Hart dalam bukunya The 100 ditetapkan sebagai manusia paling berpengaruh di muka bumi ini sukses mendidik generasi yang bukan hanya cerdas tapi juga berkarakter kuat serta berakhlaqul karimah. Contohnya adalah Ali bin Abi Thalib. Selain dikenal sebagai seorang yang cerdas hingga mendapat julukan “gerbangnya ilmu” beliau juga seseorang yang sangat pemberani dan rela berkorban demi agama Islam. Perang Khandaq menjadi saksi keberanian Ali bin Abi Thalib ketika Amar bin Abdi Wud, seorang jagoan kafir Qurays yang terkenal kuat berhasil melompati parit dan masuk ke daerah kaum Muslimin. Beliau berani menghadapinya dalam pertarungan satu lawan satu dan dengan satu tebasan saja Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian. Selain itu Ali bin Abi Thalib juga terkenal sangat dermawan. Suatu ketika beliau dan istrinya, Sayyidah Fatimah, hanya memiliki satu roti yang akan dimakan untuk berbuka puasa. Tiba-tiba datanglah orang yang minta-minta, beliau pun langsung memberikan roti tersebut kepada peminta-minta itu.
Orang tua di rumah hendaknya menjadi guru bagi putra putri mereka. Guru yang pantas dan layak digugu dan ditiru. Kalau bapak-ibu ingin agar sang buah hati rajin sholat lima waktu, maka sudah seharusnya bapak ibu memberikan contoh terlebih dulu. Ketika mengajar anak-anak di TPA saya sering bertanya kepada mereka, “siapa yang pagi ini mengerjakan sholat subuh?” Di antara mereka ada yang angkat tangan sambil menjawab, “saya..!” Sementara yang lain diam saja tidak mau menjawab. Mereka yang diam itu beberapa mengaku bahwa mereka tidak mengerjakan sholat subuh pagi itu. Pertanyaan tersebut sering saya ulang dan hasilnya tidak jauh beda. Kalau pun ada beda itu sangat kecil. Yang biasanya angkat tangan dan menjawab “iya” ya anak-anak itu. Yang diam dan kadang-kadang mau mengaku kalau mereka tidak mengerjakan sholat subuh ya anak-anak itu. Kemudian saya mencoba untuk mencari tahu lebih lanjut dengan mengajak anak-anak ngobrol. Mereka yang dengan percaya diri menjawab “iya” bercerita bahwa di rumah mereka sholat subuh berjama’ah dengan bapak-ibu mereka. Dan yang mengaku tidak mengerjakan sholat subuh bercerita bahwa mereka tidak diminta oleh orang tua mereka untuk sholat subuh dan sebagian lagi mengaku bahwa mereka tidak “diajak” oleh bapak atau ibu mereka untuk mengerjakan sholat. Bahkan ada yang mengaku kalau salah satu atau kedua orang tua mereka –memang- tidak mengerjakan sholat.
Kalau bapak ibu ingin agar sang buah hati senantiasa berkata sopan, maka sudah seharusnya bapak ibu senantiasa berkata sopan. Kalau setiap hari ketika berbicara dengan sang anak bapak ibu menggunakan bahasa yang halus dan sopan, maka sang anak akan terbiasa dengan bahasa yang halus dan sopan tersebut. Ia pun otomatis akan meniru dengan senantiasa berkata halus dan sopan. Kenapa beberapa anak kecil di sekitar kita, termasuk di dekat rumah saya, sudah bisa misuh dengan fasih? Jawabannya: Tanya saja kepada bapak ibu dia. Emang si anak bisa misuh sendiri kalau bapak ibunya tidak memberi contoh?! Saya pun mendapati kenyataan yang memprihatinkan. Ada diantara anak didik saya di TPA yang kalau sedang marah kepada temannya secara spontan berkata kotor (baca: misuh) bahkan kadang-kadang memukul temannya. Saya mencoba mencari tahu kenapa anak ini kok kasar dan keras seperti itu. Beberapa kali saya melihat bapak atau ibu si anak tersebut berkata kasar kepada sang anak ketika mereka berbicara kepada si anak. Kadangkala saya pun mendapati bapak-ibu tersebut memisuhi bahkan memukul sang anak. Jadi benar dugaan saya. Kemudian saya pun berusaha untuk mendekati anak itu dengan perkataan yang halus dan mengelus dengan lembut kepalanya. Saya juga mencoba untuk menajdi “teman”nya. Saya sempatkan untuk bermain dan bercanda dengannya. Sedikit demi sedikit sifat keras anak ini berkurang. Sekarang si anak ini sangat lengket dengan saya. Ketika ketemu saya, walaupun tidak di TPA, dia menyapa dan mendekati saya. Ketika di TPA dia sudah sangat jarang berkata kotor, apalagi kalau bertemu saya. Tidak pernah dia berkata kotor. Namun saya tidak tahu apakah di dalam rumah dan di sekolah di juga sama seperti itu, sudah berkurang perkataan kotor dan perbuatan kasarnya. Semoga saja iya.
Setiap anak lahir dengan keadaan polos tidak tahu apa-apa dan tidak bisa apa-apa. Ia bagaikan kertas yang putih bersih. Bahkan setiap anak lahir dalam keadaan fitrah; cenderung untuk berbuat kebaikan. Bapak ibunya lah yang kemudian menulis dan melukis di atas kertas putih itu. Apa pun yang bapak-ibu praktekkan di depan sang anak, dengan cerdas dia akan menirunya. Ada dikatakan, “seorang anak mungkin gagal dalam memahami apa yang orang tua katakan, tapi seorang anak tidak pernah gagal dalam meniru prilaku”.
Begitu juga bapak ibu pengajar yang menjadi pahlawan di sekolah. Jika memang menginginkan anak-didik kita menjadi pribadi yang berakhlak mulia, sudah tentu bapak ibu guru harus menjadi manusia dengan akhlak mulia tersebut terlebih dahulu. Apakah masih ada bapak ibu guru yang mengecap muridnya sebagai anak yang nakal atau anak yang bodoh..?? Bahkan secara terang-terangan berkata kepada si murid, “dasar anak nakal..!!” “dasar anak bodoh..!!” Pertanyaan saya, kalau ada murid yang nakal, siapa gurunya? Kalau ada murid yang bodoh, siapa gurunya? Apakah menjuluki seseorang dengan julukan “anak nakal” atau “anak bodoh” itu merupakan akhlak yang mulia?? Setahu saya Nabi kita yang mulia Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berprilaku seperti itu.
Suatu ketika ada seorang Arab Badui memasuki masjid, lantas dia kencing di salah satu sisi masjid. Lalu para sahabat ketika itu meneriakinya dan berkeinginan untuk mencegahnya, namun Rasulullah saw dengan penuh bijaksana bersabda, ”Jangan kalian putuskan kencingnya!” Maka tatkala orang tersebut selesai dari kencingnya, Nabi menyuruh agar tempat yang terkena air kencing tersebut disiram dengan seember air, lalu memanggil orang Badui tadi dan bersabda kepadanya, “Sesungguhnya masjid ini tidak layak untuk membuang kotoran di dalamnya, namun ia dipersiapkan untuk shalat, membaca al Qur’an dan dzikrullah.” (muttafaq ‘alaih). Dalam riwayat Imam Ahmad bin Hambal, orang Badui itu berkata: "Ya Allah sayangilah saya dan Muhammad, dan janganlah engkau sayangi seorangpun". Lihatlah betapa agungnya sikap idola kita ini.
Apakah nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatai orang Badui itu sebagai “orang bodoh” atau “orang nakal”?? TIDAK. Beliau justru dengan penuh kelembutan dan kasih sayang menjelaskan dan memberikan pelajaran yang berharga kepada orang Badui itu. Dengan memerintahkan sahabat untuk menyiram dan membersihkan air kencing dengan seember air, Rosululloh memberikan pelajaran secara visual kepada si Badui bahwa perbuatannya tidak benar. Kemudian beliau menegaskan secara rasional dengan menasehati si Badui dengan lembut bahwa masjid itu digunakan untuk shalat, membaca al Qur’an dan dzikrullah sehingga tidak pantas untuk dikencingi. Dan lihatlah respon si Badui. Subhanalloh.
Seorang pengajar hendaknya besikap lembut dan penuh kasih sayang kepada anak didiknya. Tindakan keras dan kasar tidak akan bisa menjadi solusi. Saya bertanya, apakah jika ada anak yang dianggap bodoh dan nakal kemudian dimarahi terus-menerus secara istiqomah, bisa berubah menjadi anak yang pandai dan baik?
Seorang ibu pernah curhat kepada saya bahwa dulu anaknya yang sedang duduk di bangku kelas 3 SD tidak mau berangkat ke sekolah. Ketika ditanya kenapa tidak mau sekolah sang anak menjawab, “saya takut. Bu guru xxx suka memarahi dan membentak saya”. Ibu tersebut mengatakan bahwa dia bersyukur karena sekarang si anak sudah mau berangkat sekolah. Apa penyebabnya? Ternyata bu guru xxx yang galak itu sudah pindah ke sekolahan yang lain. Nah lho?
Pada tahun yang yang lalu ada peristiwa yang menghebohkan warga Surabaya. Peristiwa itu adalah contekan massal yang melibatkan siswa-siswa sebuah SD Negeri di Surabaya. Seorang anak pintar, putra Ny Siami, “diajari” wali kelasnya memberikan contekan secara massal kepada teman-temannya pada saat Ujian Nasional SD. Bahkan sebelum UN ada simulasi pencontekan massal segala. Tidak setuju dengan tindakan guru sekolah tersebut, Ny Siami melaporkan kasus ini ke Dinas Pendidikan Surabaya yang kemudian memberi hukuman mutasi kepada sang wali kelas dan menurunkan pangkat oknum guru dan kepala sekolah yang dianggap ikut bertanggung jawab. Kasus seperti ini mungkin terjadi juga di sebagian sekolahan yang lain karena saya sendiri pernah diberi tahu oleh searang guru sekolahan yang katanya “terpaksa” mengikuti “kebijakan” sekolah untuk memberikan contekan kepada siswa ketika ujian nasional. Pertanyaan saya, “inikah pendidikan kejujuran yang dipraktekkan di sekolah??” Maka janganlah berkeluh kesah jika suatu ketika salah seorang yang sekarang menjadi murid dan mendapatkan pelajaran “menyontek” di sekolah itu kelak menjadi pejabat yang juga suka berbuat “nyontek”.
Memang benar bahwa ujian nasional itu –oleh sebagian kalangan- dianggap tidak ideal untuk menentukan lulus tidaknya seorang anak didik. Namun begitu apakah hal tersebut secara otomatis membenarkan seorang guru “mengajarkan” keahlian menyontek kepada muridnya..?? Bukankah seharusnya UAN justru memotivasi agar guru, murid, dan juga orang tua berjuang dengan segala kesungguhan agar sang anak berhasil lulus ujian? Toh Ujian Nasional tetap diadakan setiap tahun. Daripada menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran untuk menemukan “strategi menyontek” yang efektif, bukankah lebih baik menggunakan waktu, tenaga, dan pikiran itu untuk menemukan cara yang efektif dalam memfasilitasi anak- didik agar supaya bisa belajar dengan maksimal..? Misalnya dengan mempelajari dan memanfaatkan kosep Multiple Intelligences yang sudah dipraktekkan oleh beberapa sekolahan di Indonesia dan terbukti memiliki efek positif yang signifikan. Ada sebuah sekolah di Kabupaten Gresik yang semula hampir ditutup oleh dinas pendidikan setempat karena berbagai macam masalahyang sudah akut. Pihak pemangku kepentingan sekolahan tersebut kemudian memutuskan untuk menerapkan MIR (multiple intelligences research) dan MIS (multiple intelligences system). Tiga tahun kemudian sekolah ini menjelma menjadi salah satu sekolahan terbaik di kabupaten Gresik. Untuk informasi lebih lengkap silahkan membaca buku “sekolahnya manusia” dan “gurunya manusia” yang ditulis oleh Munif Chatib, CEO NEXT WORLDVIEW dan konsultan pendidikan dan manajemen. Beberapa waktu yang lalu siswa kelas akhir sekolah-sekolah di Indonesia mengikuti Ujian Akhir Nasional. Semoga kali ini pendidikan kejujuran benar-benar diajarkan dan dipraktekkan di sekolah-sekolah.
Kita bisa melihat bahwa teladan yang berkarakter merupakan syarat utama penyelenggaraan pendidikan berbasis karakter. Agaknya benar apa yang diutarakan seorang pakar pendidikan di Indonesia, Dr. Arief Rachman, MPd. yang menyatakan, “Keteladanan menjadi kunci utama dalam proses pendidikan, tanpa keteladanan pendidikan hanya akan menjadi ‘transfer knowledge’ tapi tidak ‘transfer of value’. Mari kita para guru; pengajar di sekolah, orang tua, dan para pemimpin, menjadikan kita teladan yang baik bagi murid dan anak-anak kita. Mari kita menjadikan diri kita idola yang berkarakter bagi murid dan anak-anak kita. Semoga murid dan anak-anak kita kelak menjadi pribadi yang bukan hanya cerdas, tapi (yang lebih penting) juga berakhlak mulia, berkarakter tangguh, dan jujur. Semoga bermanfaat. [tj]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar