Awal bulan April 2012 yang lalu saya pergi ke Toko Buku Manyar untuk mencari buku yang berjudul "Children's Nursing", tetapi saya tidak menemukan buku itu di sana. Saya pun kemudian memenuhi hasrat saya; "ngicipi buku-buku" yang ada di toko tersebut. Tanpa sengaja saya melihat cover sebuah buku berjudul "Alunan Vektor Allah". Saya pun mengambil buku tersebut dan tentu saya membayar harganya kepada kasir yang berdiri di samping pintu masuk-keluar toko. Novel ini merupakan karya seorang santri asal Kota Apel. Novelnya ini merupakan Pemenang Juara 1 Lomba Nasional Penulisan Cerita Fiksi Keagamaan Departemen Agama RI Tahun 2009.
Alunan Vektor Allah bercerita tentang seorang pemuda yang sekolah di Madrasah Aliyah Negeri ternama di Malang. Karena keterbatasan finansial ia tidak tinggal di asrama seperti teman-temannya. Justru ia menetap di sebuah masjid sekaligus menjadi anggota team ta'mir masjid yang bertugas mengurusi masjid. Pemuda ini punya keahlian menulis cerita fiksi baik berupa cerpen maupun novel. Walaupun masih muda, beberapa kali karyanya telah diterbitkan. Ia pun disenangi oleh guru-gurunya. Tidak hanya itu, seorang wanita cantik dan cerdas pun jatuh hati kepadanya. Mereka pun terikat oleh sebuah ikatan yang disebut "pacaran islami" (tanda petik itu penting -pen).
Alunan Vektor Allah bercerita tentang seorang pemuda yang sekolah di Madrasah Aliyah Negeri ternama di Malang. Karena keterbatasan finansial ia tidak tinggal di asrama seperti teman-temannya. Justru ia menetap di sebuah masjid sekaligus menjadi anggota team ta'mir masjid yang bertugas mengurusi masjid. Pemuda ini punya keahlian menulis cerita fiksi baik berupa cerpen maupun novel. Walaupun masih muda, beberapa kali karyanya telah diterbitkan. Ia pun disenangi oleh guru-gurunya. Tidak hanya itu, seorang wanita cantik dan cerdas pun jatuh hati kepadanya. Mereka pun terikat oleh sebuah ikatan yang disebut "pacaran islami" (tanda petik itu penting -pen).
Walau menjadi anggota team ta'mir masjid, seringkali pemuda ini bangun kesiangan. Tak ayal subuhnya pun barengan dengan dhuha, jadilah "subha", subuh-dhuha. Sebenarnya ia merasakan ketidaknyamanan di dalam hatinya. Ia merasa bersalah karena telah lalai. Namun rasa bersalah itu tidaklah cukup memaksanya untuk berhenti telat sholat subuh. Ia memiliki teman sekaligus saingan dalam hal menulis novelet. Akhir-akhir ini temannya itu sering menyindirnya dengan kata-kata yang membuatnya "dongkol". Batinnya, mungkin temannya itu iri karena prestasi temannya itu kalah darinya. Suatu ketika temannya yang lain datang kepadanya -meminta agar dia mau ngajari ngaji adiknya. Pemuda ini menolak dengan alasan karena sudah ada agenda penting yang tidak lain adalah jadwal ketemu Fahira, teman wanitanya.
Bu Guru mengumumkan bahwa sebuah penerbit tertarik untuk menerbitkan novelet pemuda ini. Namun si penerbit memberikan tantangan baru agar dia menulis satu karya lagi yang lebih menantang. Ia pun menyanggupinya. Setelah menyelesaikan karyanya itu, -satu hari sebelum deadline- ia bersiap diri untuk mengeprint. Tanpa ia duga flasdisk-nya hilang. Ia coba cari namun tak berhasil menemukannya. Ia tahu bahwa penerbit tak akan mau menerima alasan apa pun. Karena ia sudah teken kontrak, wajib baginya memenuhi kontrak tersebut.
Di tengah kegalauannya, seorang temannya yang baik hati menawarinya agar menggunakan komputernya di kamar untuk menulis kembali noveletnya itu. Ia pun menerima tawaran bantuan dari temannya itu. Ia peras otak dan tenaganya sampai habis untuk menyelesaikan tulisannya. Ia pun lembur di rumah temannya. Sampai tengah malam, ia pun berhasil menyelesaikan tulisannya. Langsung ia mengeprint karyanya itu.
Ia kembali ke komplek masjid secara sembunyi-sembunyi. Ketika ia menginjakkan kaki di masjid, ternyata sang ustadz sedang menunggu kedatangannya. Dengan tenang ustadz tersebut mengajaknya ke kamar ta'mir dan menunjukkan bahwa teman setimnya panas-demam karena kecapekan mengerjakan tuga ta'mir -membersihkan masjid- sendirian. Ia merasa sangat bersalah karena telah mengorbankan temannya untuk kepentingannya sendiri. Namun temannya yang baik hati itu justru menyatakan bahwa dia tidak apa-apa. Temannya itu senang jika ia berhasil meyelesaikan tulisannya yang sudah dipesan oleh penerbit.
Paginya ia pergi ke sekolah. Ia sudah janjian dengan Bu Guru untuk menitipkan noveletnya itu. Bu Gurunya itu punya agenda ke Jakarta, jadi ya sekalian. Ketika ia sampai di sekolah, ternyata gurunya sudah tidak ada. Ia pun mendapati gurunya sedang masuk taksi. Ia mencoba berlari menuju taksi yang ada di seberang jalan. Brakkk..!! Sebuah sepeda motor yang melaju kencang menabraknya. Ia tersungkur jatuh. Darah pun bercucuran. Ia menahan tangis karena merasa bahwa usaha mati-matian-nya selama ini tak ada guna. Di tengah rasa bersedihnya, penunggang sepeda motor itu menawarinya untuk mengejar taksi itu. Ia pun mengiyakan. Dan akhirnya ia berhasil mendapatkan taksi itu. Ia pun segera menyerahkan amplop berisi karyanya kepada Bu Guru yang langsung bergegas menuju bandara karena kawatir ketinggaa pesawat. Sementara itu darah segar mengalir semakin deras, pemuda itu pun roboh tak sadarkan diri.
Begitu terbangun ia mendapati dirinya sudah di rumah sakit dengan perban di tangannya. Ia pun akhirnya dibawa pulang menuju kamar team ta'mir. Malamnya ia tidur dengan rasa njarem di sekujur tubuh. Di tengah tidurnya ia bermimpi. Ia melihat karpet, tiang, tangga, dan atap masjid mengeluh kepada Allah ta'ala. Mereka mengeluh karena setiap hari digunakan sujud, bertemu, diinjak, dan menaungi seorang munafik. Kelihatannya santri tapi mau juga pacaran. Sudah tahu bahwa "pezina hanya pantas untuk pezina". Bukankah ketika pacaran, mata, telinga, dan hati-nya melakukan zina? Kelihatannya ta'mir masjid, pengurus masjid, tapi kok subuhan sering kesiangan. Bahkan tak jarang sholat subuhnya barengan dengan waktu dhuha. Namun begitu, semuanya mendoakan kebaikan untuk nya. Ia hanya bisa bengong saja. Ia semakin tertekan ketika tumpukan novelet karyanya tiba-tiba berbicara. Tulisannya itu menghujatnya. Ia pandai menulis tentang kebaikan, namun ia sendiri tidak mengamalkannya. Ia hanya memanfaatkan novelnya untuk meraih popularitas dan kebanggaan. Sang pemuda itu pun terbangun dan segera mengambil wudhu. Ia pun tersungkur semalaman dengan linangan air mata. Mengharap ampunan dari Sang Maha Pengampun atas banyaknya salah yang telah ia lakukan.
Kemudian ia mencoba mencari jawaban atas kegalauannya itu. Ia bertanya kepada teman-temannya, tapi gak ada jawaban temannya yang bisa membuatnya puas. Ia pun akhirnya berkesempatan bertemu dengan Kang Abik, penulis yang sudah lama menjadi idolanya. "Allah ta'ala tidak suka kepada pemuda yang di hatinya ada noda". Ya, hubungannya kepada Fahira telah membuatnya sering lalai, membuatnya sulit untuk mendekat kepada Sang Pencipta. Hubungannya yang tidak halal -karena belum ada ijab qobul- itu membuat hatinya ternoda.
Ia pun memutuskan untuk mengakhiri "pacaran islami"-nya dengan Fahira. "Pezina hanya pantas mendapatkan pezina. Mari kita menjaga diri. Mensucikan diri. Jika Allah ta'ala menentukan, kita pun kan berjumpa di pelaminan. Sebagai orang yang menjaga kesucian diri, kesucian hati. Kalau pun tidak, semoga kita dipertemukan dengan jodoh kita masing-masing, yang lebih baik, dunia-akhirat".
Pemuda itu pun melanjutkan hidupnya dengan energi baru. Sekarang ia bukan hanya sholat subuh berjama'ah tepat waktu, ia juga rajin tahajjud. Setiap senin sore ia pun menyempatkan diri ngajar ngaji adik teman baiknya. Ia pun semakin bersemangat ngurusi masjid, sebagai anggota team ta'mir. Di wajahnya terpancar cahaya yang menyejukkan. Cahaya orang yang merasa bahagia karena bertemu Tuhannya.
Penulis menggambarkan bahwa perjalanan hidup seseorang itu layaknya sholat. Ia memulainya dengan takbiratul ihram. Yang ia tuju adalah salam: kedamaian dan keselamatan dunia akhirat. Tidak ada artinya hidup di dunia ini jika seseorang tidak mendapatkan keselamatan itu. Dan tentu keselamatan itu bisa didapat jika seseorang mengikuti "manual" atau "buku petunjuk" yang disiapkan oleh Sang Pencipta dunia.
Novel ini memperlihatkan "wajah" para santri yang memiliki keunikan tersendiri dalam liku-liku hidupnya. Sebagai contoh tentang "pacaran". Diantara mereka ada pula yang berpacaran, dengan dalih "pacaran islami". Tapi jangan dibayangkan mereka pacarannya sampai pegang-pegangan atau peluk-pelukan. Paling banter mereka hanya ketemu dan duduk atau berdiri agak berjauhan. Lalu ngobrol sambil bercanda. Kadang-kadang ada yang tukeran buku diari. Ada pula yang lucu, pacaran dengan syarat menjaga wudhu, jadi ya gak pernah pegangan. Namun begitu, hal-hal tersebut tetap saja tidak dibenarkan karena memang ajaran agama Islam tidak memperbolehkan. Hal tersebut sudah masuk dalam ranah ber"khalwat". Walaupun tidak menyentuh, toh mereka yang berpacaran tetap saja berlaku "zina asghor"; zina mata, zina telinga, dan tentu zina hati dan pikiran. Apalagi hal-hal semacam itu justru memberikan jalan bagi syaitan untuk menjerumuskan mereka lebih jauh ke dalam jurang kehinaan. Bukankah Allah ta'ala sudah memperingatkan?? Janganlah kalian mendekati zina. Sungguh zina itu perbuatan yang keji dan jalan yang sangat buruk. Bukankah Allah ta'ala melalui Nabi-Nya telah memberikan jalan yang mulia, semulia derajat manusia..?? Jika kalian punya kemauan dan mampu, maka menikahlah. Dengan menikah, yang haram jadi halal, yang dosa jadi pahala. Jika belum mampu, ya berpuasalah. Tahanlah dirimu. Kontrollah nafsumu. Jangan kau hinakan dirimu dengan menjadi budak nafsu.
Lebih lanjut, yang menarik dari novel ini adalah penggunaan point of view tokoh utama orang pertama laki-laki. Padahal penulisnya adalah seorang wanita. Apalagi ketika menulis novel ini penulis masih duduk di bangku Madrasah Aliyah, ia masih sangat muda. Ini tentu menjadi nilai plus bagi penulisnya. Satu hal yang mungkin kurang, bagian akhirnya "terlalu curam" dan terkesan berubah haluan menjadi "seperti ceramah". Menurut saya, lebih menarik jika penulis berkreasi dengan dialog-dialog dari pada menuturkan "ceramah''. Terlepas dari itu, novel itu pantas diapresiasi. Keberanian dan kreatifitas penulis patut diacungi empat jempol; dua jempol tangan dan dua jempol kaki. hehe
Akhirnya saya -dengan sadar- merekomendasikan kepada kalian para pemuda-pemudi untuk membaca novel ini. Kalian akan merasakan liku-liku kehidupan seorang santri muda yang bergelut untuk mencari makna kehidupan yang sesungguhnya.
[tj]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar