Rabu, 12 Juli 2017

Indahnya Persaudaraan





Persaudaraan merupakan hal yang sangat penting dalam agama Islam. Hal itu berhubungan erat dengan keimanan seseorang. Di dalam ajaran Islam, persaudaraan bukan hanya menyangkut hubungan antar dua orang atau lebih secara horisontal, tetapi juga menyangkut keimanan dan ketaatan seseorang terhadap Allah ta’ala.
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (QS. Al Hujurat: 10)
Di dalam ayat tersebut Allah menggunakan lafadz ikhwatun (إخوة) untuk menyebut persaudaraan antar mukmin. Padahal lafadz ikhwatun dalam bahasa Arab berarti saudara kandung. Untuk menyebut persaudaraan dengan orang lain yang bukan saudara kandung, sepadan dengan kata persahabatan atau pertemanan, di dalam bahasa Arab digunakan lafadz ikhwanun (  إخوان ). Hal ini mengindikasikan bahwa berdasarkan tuntunan al-Qur`an, seyogyanya setiap mukmin itu menganggap dan memperlakukan mukmin yang lain sebagai saudara kandungnya sendiri. Hendaknya setiap mukmin senantiasa berusaha menumbuhkan, memupuk dan menjaga persaudaraan dengan mukmin lainnya layaknya ia melakukan upaya tersebut terhadap saudara kandungnya.
Apa yang bisa kita lakukan untuk menumbuhkan, memupuk dan menjaga persaudaraan?
Allah ta’ala,Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, para sahabat, tabi’in, dan ulama telah memberikan pentunjuk sekaligus teladan bagaimana cara menumbuhkan, memupuk dan menjaga persaudaraan antar orang-orang yang beriman.
1.     Menyadari bahwa Allah ta’ala menciptakan manusia dengan karakter yang berbeda-beda
Perbedaan adalah sunnatullah. Adanya manusia dengan wajah, bentuk, warna kulit, karakter, watak, dan tabiat yang berbeda-beda adalah salah satu kehendak Ilahi yang selayaknya kita sadari. Hal ini penting agar kita tidak selalu berharap atau bahkan memaksa orang lain agar senantiasa sependapat dengan kita. Justru sebaiknya kita belajar untuk memahami orang lain; memahami latar belakang kehidupannya, tabiat dan wataknya, kesenangannya, hal-hal yang dia tidak sukai, dan kecenderungannya. Dengan menyadari bahwa tidak semua manusia sama dan mencoba memahami kepribadian orang lain, dalam hal ini saudara sesama mukmin, insyaAllah kita akan siap membangun hubungan persaudaraan dengan setiap orang yang beriman.
2.     Menebar salam
Salam merupakan pembuka pintu persaudaraan. Salam merupakan simpul awal dari sebuah tali persaudaraan yang kuat. Salam merupakan sarana untuk menumbuhkan rasa saling mencintai di qolbu orang-orang yang beriman.Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا. أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَىْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ ؟أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ
“Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Kalian tidak beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian mengerjakannya maka kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian”. (HR. Imam Muslim no. 203)
Mari kita membiasakan diri untuk mengucapkan salam kepada saudara sesama mukmin, baik yang kita kenal, maupun yang tidak kita kenal.
3.     Itsar
Abu Hurairah  radhiyallahu ‘anhu bercerita: seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan mengeluh kepayahan dan kelaparan. Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertanya kepada para isteri, namun ternyata mereka semua tak memiliki sedikitpun makanan untuk disuguhkan. Beliau pun bersabda; “Adakah seseorang yang menyuguh laki-laki ini pada malam ini?” Seorang sahabat (Abu Thalhah) pun menjawab, “Saya wahai Rasulullah”. Abu Thalhah kemudian pulang ke rumah dan bertanya kepada isterinya, “Ini adalah tamu Rasulullah, janganlah kamu menyimpan makanan”. Isteri menjawab, “Demi Allah saya tidak menyimpan sedikitpun kecuali jatah makan malam anak kita”. Abu Thalhah berkata, “Jika anak kita minta makan, tidurkan saja dia. Matikan lampu, biarlah malam ini perut kita lapar”. Pagi harinya lelaki tersebut datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau pun bersabda, “Sungguh Allah heran dengan suami isteri itu”. (Muttafaqun ‘alaihi)
Setelah kejadian tersebut, turunlah firman Allah ta’ala berikut:
...وَيُؤْثِرُوْنَ عَلَى اَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بـِهِمْ خَصَاصَةٌ...
“…dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan….” (QS. Al Hasyr: 9)
Apa yang dilakukan oleh sahabat Abu Thalhah dan keluarganya itulah yang disebut itsar, mendahulukan kepentingan orang lain daripada diri sendiri. Itulah contoh akhlaq mulia yang diamalkan oleh generasi terbaik umat ini, yaitu para sahabat. Ajaran Islam bukan mengajarkan take and give. Ajaran Islam menganjurkan agar orang-orang yang beriman senantiasa give, give, and give. Bahkan ketika dalam keadaan sulit pun, seorang mukmin dianjurkan untuk mendahulukan kepentingan saudaranya sesama mukmin, daripada dirinya sendiri. Jika akhlaq itsar ini bisa menjadi budaya antara sesama mukmin, insyaallah akan tercipta sebuah persaudaraan yang kuat dan kokoh. Hal itu karena setiap mukmin tidak lagi mementingkan egonya sendiri. Bukankah kebanyakan percekcokan, pertengkaran, dan permusuhan terjadi karena setiap pihak ingin menang sendiri?
4.     Mendamaikan saudara yang bertikai
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya…” (QS. Al-Hujurat: 9)
Ayat tersebut dengan sangat gamblang menjelaskan bahwa hendaknya setiap mukmin berusaha untuk menjaga tali persaudaraan antar sesama mukmin.  Jika terjadi pertikaian, pertengkaran, ataupun permusuhan antar sesama orang yang beriman, hendaknya orang mukmin itu berusaha dengan segenap upaya untuk mendamaikannya.
Setelah Khalifah Ali ibn Abi Tholib wafat, terjadi perpecahan antar umat Islam. Umat Islam di Kuffah (Iraq) mengangkat sayyidina Hasan ibn Ali sebagai khalifah. Sementara umat Islam di Syam mengangkat Mu’awiyah ibn Abi Sufyan sebagai khalifah. Pertikaian dan peperangan pun terjadi antar kedua pihak. Melihat fenomena yang mengiris hati ini, sayyidina Hasan mengambil inisiatif untuk menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada Mu’awiyah dengan tujuan agar umat Islam bersatu hidup dalam kedamaian. Kepada penduduk Kufah yang sangat mencintainya beliau berkhutbah, “Sesungguhnya orang yang paling cerdas adalah dia yang bertaqwa. Sebaliknya orang yang bodoh adalah dia yang mudah melakukan dosa. Demi terciptanya perdamaian antar umat Islam dan agar mereka tidak mati sia-sia, maka aku serahkan sepenuhnya urusan pemerintahan kepada Mu’awiyah”. Begitulah sayyidina Hasan. Dengan rendah hati beliau menyerahkan kekuasaan kepada saudaranya sesama muslim agar terjadi perdamaian antar umat Islam.
Dalam lingkup yang lebih kecil, dalam kehidupan berkeluarga, bertetangga, dan bermasyarakat, hendaknya setiap mukmin juga berusaha mendamaikan saudara-saudaranya yang terlibat dalam persengketaan atau permusuhan. Jangan malah “ngobor-ngobori”, memperuncing perselisihan, atau malah menyebarkan fitnah yang mengakibatkan orang lain bermusuhan.
Marilah kita menteladani Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang senang mendamaikan orang-orang yang berselisih.
“Diriwayatkan dari Abul ‘Abbas Sahl bin Sa’d as Sa’idiy. Telah datang kabar kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa terjadi “sesuatu yang buruk” (perselisihan) di antara Bani Umar bin ‘Auf. Beliaupun keluar bersama beberapa sahabat dan mendamaikan mereka”. (Muttafaqun ‘alaih, Riyadhus Sholihin; 137-138)
Di saat Bani Khazraj dan ‘Aus nyaris beperang karena ada sebagian orang Yahudi yang mengungkit-ungkit peperangan diantara mereka di masa lampau, Nabi shallallahu alaihi wa sallam datang dan mendamaikan mereka. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun berhasil mendamaikan dua kelompok yang sudah lama bertikai dan mengikat mereka dalam sebuah persaudaraan yang berlandaskan iman.
Dari Abû Darda ra., ia berkata; Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Maukah kalian kuberitahu suatu perkara yang lebih utama daripada derajat shaum, shalat, dan shadaqah. Para sahabat berkata, “Tentu saja ya Rasulullah!” Beliau lalu bersabda, “Pekara itu adalah mendamaikan perselisihan. Karena karakter perselisihan itu membinasakan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya, at-Tirmidzi ia berkata, “Hadits ini hasan shahih”).
5.     Tidak mengolok-olok, tidak mencela, dan tidak memanggil dengan gelar yang buruk
Ketika bangunan persaudaraan telah terbangun dengan kokoh, hendaknya kita menjaga bangunan tersebut agar tidak rusak, apalagi roboh. Hendaknya setiap mukmin berusaha agar persaudaraan yang telah terjalin antar sesama mukmin senantiasa terjaga dengan baik, bahkah lebih baik. Bagaimana caranya? Allah ta’ala berfirman:
يَـٰأَيُّهَاالَّذِينَ ءَامَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٍ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ  وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ .. ﴿الحجرات: ۱۱﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum merendahkan/meremehkan kaum yang lain. Boleh jadi mereka (yang diremehkan) lebih baik daripada mereka (yang meremehkan). Jangan pula wanita merendahkan wanita yang lain. Boleh jadi wanita (yang diremehkan) lebih baik daripada wanita (yang meremehkan). Janganlah kalian saling mencela dan janganlah kalian saling memanggil dengan panggilan yang buruk”. (QS. Al Hujurat: 11)
Melalui al-Qur`an Allah ta’ala memberikan tuntunan agar setiap mukmin hendaknya tidak merendahkan saudaranya sesama mukmin. Setiap mukmin tidak boleh mencela saudara sesama mukmin. Setiap mukmin hendaknya tidak memanggil saudaranya sesama mukmin dengan panggilan atau gelar yang buruk, yang tidak disukai oleh saudaranya tersebut.
Marilah kita hentikan sekarang juga kebiasaan mencela orang lain dengan perkataan, “bodoh”, “bento”, “goblok”, “kere”, dan perkataan-perkataan buruk yang lain. Mari kita segera menghentikan kebiasaan buruk memanggil orang lain dengan gelar yang jelek seperti, “ambon”, “gendut”, “si hitam”, atau yang lebih parah lagi “hai ahli bid’ah”, “hai kafir”. Sungguh perbuatan semacam itu haram hukumnya dan akan mendatangkan malapetaka bagi pelakunya baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, celaan, hinaan, dan panggilan yang buruk seperti itu sangat mungkin menimbulkan permusuhan antar sesama. Sementara di akhirat, orang yang suka mencela, menghina, dan memanggil orang lain dengan gelar yang buruk akan menjadi orang yang bangkrut. Bukankah perbuatan semacam ini merupakan bentuk kedholiman kepada orang lain?
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengingatkan:
“Orang yang benar-benar bangkrut  di antara umatku ialah orang yang pada hari kiamat membawa (sebanyak-banyak) pahala shalat, puasa dan zakat; tetapi (sementara itu) datanglah orang-orang yang menuntutnya, karena ketika (di dunia) ia mencaci ini, menuduh itu, memakan harta si ini, melukai si itu, dan memukul si ini. Maka diberikanlah pahala-pahala kebaikannya kepada si ini dan si itu. Jika ternyata pahala-pahala kebaikannya habis sebelum dipenuhi apa yang menjadi tanggungannya, maka diambillah dosa-dosa mereka (yang pernah didhaliminya) dan ditimpakan kepadanya. Kemudian dicampakkanlah ia ke api neraka.” (HR. Imam Ahmad, Muslim, dan Turmudzi)
6.     Tidak berprasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, dan tidak menggunjing
Jangan sampai seorang mukmin menjadi “rayap” yang menggerogoti bangunan persaudaraan antar orang-orang yang beriman. Jangan sampai seorang mukmin menjadi pelopor perpecahan dan pertikaian antar umat Islam. Oleh karena itu, orang yang beriman kepada Allah ta’ala dan Hari Akhir selayaknya menjauhi prasangka buruk...
يَـٰأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيْرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ صلى وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ج ...
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain…” (QS. Al Hujurat: 12)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman melarang hamba-hamba-Nya dari banyak persangkaan, yaitu menuduh dan menganggap khianat kepada keluarga, kerabat dan orang lain tidak pada tempatnya. Karena sebagian dari persangkaan itu adalah dosa yang murni, maka jauhilah kebanyakan dari persangkaan tersebut dalam rangka kehati-hatian. Kami meriwayatkan dari Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, ‘Janganlah sekali-kali engkau berprasangka kecuali kebaikan terhadap satu kata yang keluar dari saudaramu yang mukmin, jika memang engkau dapati kemungkinan kebaikan pada kata tersebut’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7/377, Maktabah Samilah)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah menyampaikan sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya:
 “Jauhilah oleh kalian persangkaan yang buruk (dhon) karena dhon itu adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah kalian mendengarkan ucapan orang lain dalam keadaan mereka tidak suka. Janganlah kalian mencari-cari aurat/cacat/cela orang lain. Jangan kalian berlomba-lomba untuk menguasai sesuatu. Janganlah kalian saling hasad (dengki, iri hati), saling benci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara sebagaimana yang Dia perintahkan….” (HR. Al-Bukhari no. 6066 dan Muslim no. 6482)
Demikianlah. Perbuatan merendahkan, mencela, memanggil dengan gelar yang buruk, prasangka, mencari-cari kesalahan, dan menggunjing adalah perbuatan jelek yang sangat merugikan. Perbuatan-perbuatan semacam itu sangat mudah menyulut api permusuhan antar orang-orang yang beriman. Maka hendaknya setiap mukmin menjauhi perbuatan-perbuatn buruk tersebut. Semoga Allah ta’ala menjauhkan kita semua dari perbuatan-perbuatan buruk ini.
Semoga ungkapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait persaudaraan antar sesama mukmin, bisa membumi di zaman sekarang. Minimal di lingkungan keluarga, tetangga, pertemanan, persahabatan, dan masyarakat kita.
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Mukmin satu dengan mukmin yang lain itu bagaikan sebuah bangunan. Sebagian menguatkan bagian yang lain”. (HR. Imam Muslim, No. 6750, Maktabah Samilah)
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mencintai, saling menyayangi, dan saling membantu adalah seperti sebuah jasad. Jika salah satu anggota tubuh itu sakit, anggota yang lain ikut merasakan sakit, dengan tidak bisa tidur dan (merasakan) demam”. (HR. Imam Muslim, No. 6751, Maktabah Samilah)
والله أعلم بالصواب
Semoga bermanfaat.
M. Tajuddin, S.Hum.

Daftar Bacaan:
1.     Maktabah Samilah; Tafsir Ibnu Katsir, Shahih Bukhari, Shahih Muslim
2.     Riyadhus Sholihin lil-Imam an-Nawawi
3.     Mukhtashar Ihya Ulumiddin, Imam al-Ghazali
4.     Wawasan al-Qur`an, Prof. Dr. Quraish Shihab
5.     Rumah Hati Dengan Cahaya Ilahi (Tafsir Tematik), KH. M. Ihya Ulumiddin
6.     Keukenhof, Taman Wisata Hati, KH. M. Ihya Ulumiddin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar