Matahari masih hangat. Burung-burung mensenandungkan tasbihnya
masing-masing. Sementara semut, jangkrik, kupu-kupu, kumbang, kelinci, dan
kambing tengah mengerjakan dluha
mereka. Fithri bergegas menuju kebun di sebelah rumah. Seperti anak tiga
tahunan yang lain di desanya, Fithri suka sekali bermain di kebun yang juga
bersebelahan dengan rumah tetangganya itu. Dengan muka yang cinuk-cinuk1 si
Fithri menuju kebun. Sesampainya di sana ia mendapati Ulfi tengah bermain di
comberan yang merupakan tempat favoritnya. Ulfi yang usianya tiga bulan lebih
tua dari Fithri itu memang suka sekali bermain dengan sesuatu yang basah-basah,
comberan salah satunya.
Fithri pun bergegas mendatangi si Ulfi. Mungkin agak terkejut dengan
kedatangan Fithri, si Ulfi tanpa sengaja memuncratkan isi comberan ke badan
Fithri. Tak ayal badan Fithri pun basah kuyup plus belepotan dengan lumpur
basah karena memang air comberan yang muncrat ke badannya. Fithri terlihat
tidak suka dengan perlakuan si Ulfi. Fithri berang “Ulfi, kamu nakal..!!”
“tidak. Ulfi tidak sengaja
kok…” Ulfi coba membela diri.
Terjadilah perang mulut antar
ke dua anak ingusan itu. Percekcokan semakin panas hingga menimbulkan suara
gaduh. Kakak si Fithri yang sedang menyirami bunga di halaman pun mendengar
kegaduhan itu.
”ada apa Fithri..??” tanya
Kakak kepada Fithri.
”Ulfi nakal kak...”
”nakal gimana..??” tanya Kakak
menginterogasi.
”ni badan Fithri kotor semua”
”kenapa kok bisa kotor kayak
gitu..??”
”si Ulfi memuncratkan air
comberan ke badan Fithri. Kotor deh jadinya...”
”o....alah, kamu ya yang
nakal...” sang Kakak menatap Ulfi dengan mata memelotot.
Karuan saja Ulfi ketakutan dan
.... ”Huwa... huwa .... huwa ....!!!” si Ulfi menangis dengan sekeras-kerasnya
hingga kelinci dan kambing yang sedang ber-dluha
di kebun pun menghentikan aktivitas mereka sejenak.
Tangisan Ulfi terdengar hingga
ke dapur rumahnya. Ibunya yang sedang mengulek2
sambal pun segera memahami bahwa ini suara tangisan si Ulfi. Si Ibu langsung
bergegas menuju tempat sumber suara tangisan. Dilihatnya dari kejauhan di Ulfi
menangis dan di depannya berdiri Kakaknya Fithri. Pikir si Ibu pasti si Ulfi diapa-apain sama
kakaknya Fithri. Ibu pun langsung melabrak si Kakak.
”kamu apakan anakku..??!!
beraninya sama anak kecil..!! ayo lawan aku kalau berani..!!”
”wong Ulfinya yang salah. Dia
yang memuncratkan air comberan ke badan adikku” si Kakak coba membela diri.
”gak mungkin. Anakku emang
suka comberan. Tapi gak suka memuncratkan comberan” si Ibu gak mau menerima
pembelaan si Kakak.
Si Ibu mulai melinting lengan bajunya. Tanda siap
bertarung.
Sementara itu Pak Dollah, ayah
Fithri, hendak berangkat kerja. Didengarnya su`ra ribut dari kebun sebelah
rumah. Ia pun menengoknya. Dan ia melihat Ibunya Ulfi dengan kondisi siap
tempur berhadapan dengan Kakaknya Fithri yang masih muda belia. Ia pun bergegas
menuju kebun.
”Bu, jangan Cuma berani sama
anak muda..!!”
”lalu kamu mau ngelawan
aku..??!! ayo..!!” Ibunya Ulfi menantang Pak Dollah. Percekcokan semakin panas. Dan terus memanas
hingga menjelang siang.
Sekarang dua kubu sedang
berhadapan. Keluarga besar si Fithri berhadapan dengan keluarga besar si Ulfi.
Kakak, Bapak, Ibu, Pak Lek, Bu lek, pak De, bu de, kakek, nenek,
dan uyut dari kedua belah pihak sudah berkumpul lengkap dengan senjata andalan
masing-masing; mulai suthil3,
sapu lidi, pemukul lalat, hingga martil.
Situasi semakin memanas. Tidak
ada tanda-tanda akan diadakan gencatan senjata. Pertarungan tinggal menunggu
waktu saja. Dan....
”assalamu’alaikum...” Kang
Udin datang.
”wa’alaikumussalam ...” mereka
serentak menjawab salam.
”ada apa ini..?? siang-siang
kok pada kumpul di kebun, mau kerja bakti ya...?” Kang Udin memulai
pembicaraan. Kang Udin merupakan orang yang cukup disegani oleh masyarakat
setempat. Walaupun pernah ke Baitulloh dua kali, penampilannya tetap bersahaja,
gaya hidupnya pun sederhana. Pekerjaan harian Kang Udin adalah sebagai
pengembala kambing. Tapi kalau sudah waktunya sholat, ia alih profesi menjadi
imam sholat. Karena akhlaqnya yang baik itulah, ia disegani warga setempat.
”enggak Kang, ini lho Bapaknya
si Fithri ini, ya ini, masak mau ngajak berantem istri saya, istri saya kan
wanita”. pak Sarmin, bapaknya Ulfi,
tidak mau didahului. ”lha masak anak
saya yang masih belia dan imut-imut ini mau diajak berantem sama Ibuknya si
Ulfi yang tangannya sekeras bambu petung4.
Ya gak bisa saya biarkan” Balas pak Dollah gak mau kalah.
”o... gitu...”
Setelah berdiam diri sejenak.
Kang Udin mengajukan pertanyaan
”sebenarnya masalahnya apa..?
kok bisa sampek dua keluarga besar hendak perang baratayudha seperti ini..?”
Akhirnya Kakaknya si Fithri
menjelaskan asal muasal persoalannya. Bahwa tadi pagi ketika Fithri mau bermain
di kebun, ia dimuncrati comberan oleh Ulfi.
Kang Udin pun
mengangguk-anggukkan kepalanya
”o.. gitu to persoalanya..”
Kang Udin pun tersenyum.
”kenapa Kang, kok tersenyum?”
tanya orang-orang itu hanpir bersamaan.
”lihatlah.. dua anak yang
kalian katakan sebagai sumber persoalan itu sekarang sedang bermain comberan
bersama...”
Orang-orang itu pun
memutar-mutar mata mencari kemana perginya si Fithri dan si Ulfi. Kedua mata
mereka terhenti di sebuah pemandangan yang membuat mereka geleng-geleng kepala.
Fithri dan Ulfi sedang bermain comberan bersama. Sekarang bukan cuma bajunya si
Fithri yang terkena comberan. Dari ujung rambut sampai ujung kuku kaki,
semuanya bermandikan comberan. Begitu juga Ulfi. Dan keduanya terlihat sangat
menikmati comberan itu. Keduanya bermain dan bahagia bersama. Mereka sudah
tidak ingat lagi apa yang terjadi pagi hari tadi. Mereka tidak ingat lagi bahwa
pagi tadi Ulfi memuncratkan comberan yang mengotori badan Fithri. Fithri sudah
melupakan kesalahan Ulfi. Dan mereka pun tertawa bahagia bermain comberan
bersama.
Orang-orang itu hanya bisa
melongo dan tertegun melihat pemandangan yang agak aneh itu.
”kita ini, yang suka mengaku
dewasa, ternyata masih kalah bijak dengan anak-anak. Anak itu dengan mudah
memaafkan dan melupakan kesalahan temannya. Lha kita...??” Kang Udin menutup
pembicaraan. Ia bergegas menuju tempat wudlu di sebelah utara musholla.
Sebentar lagi waktu sholat dzuhur tiba.
Sementara dua keluarga besar
yang semula siap bertempur tadi masih terbengong di kebun. Mereka saling tatap.
Lalu membubarkan diri tanpa sepatah kata pun.
"forgiveness is not something we do for others
we do it for ourselves, so we can get well and move on..."
"forgiveness is not something we do for others
we do it for ourselves, so we can get well and move on..."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar