Selasa, 24 April 2012
Memaknai Hari Pendidikan Nasional
“Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya” (Dr. G. J. Niewenhuis)
Setiap tanggal 2 Mei kita bangsa Indonesia memperingati hari pendidikan nasional. Sebenarnya bukan peringatan seremonialnya saja yang perlu kita rayakan dengan kegiatan-kegiatan bertema pendidikan; seperti menulis artikel-artikel, membuat poster pendidikan, lomba-lomba bertema pendidikan dan karnaval pendidikan. Namun yang lebih penting –setidaknya menurut saya- adalah evaluasi yang serius apakah proses pendidikan kita sudah benar dan tepat sehingga memungkinkan untuk mengantarkan anak didik menuju tujuan pendidikan yang telah dicanangkan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS), Pasal 3, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mewujudkan tujuan besar tersebut Kementerian Pendidikan Nasional pada periode 2010-2014 menetapkan visi Terselenggaranya Layanan Prima Pendidikan Nasional untuk Membentuk Insan Indonesia Cerdas Komprehensif. Insan Indonesia cerdas komprehensif adalah insan yang cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual dan cerdas kinestetis.
Menurut saya tujuan pendidikan yang dicanangkan oleh pemerintah melalui undang-unadang kita ini sungguh sangat mulia karena tujuan akhirnya adalah membentuk pribadi yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia. Hal ini selaras dengan tujuan pendidikan dalam konsep Islam yaitu membentuk manusia menjadi hamba Allah dan khalifatullah. Tujuan pendidikan Islam adalah mengantarkan manusia menjadi pribadi yang shalih ritual dan shalih sosial; manusia yang dekat dengan Allah ta’ala dan senantiasa menebar manfaat kepada sesama manusia. Selain itu, visi yang dicanangkan oleh kementrian pendidikan nasional pun terlihat sudah mempertimbangkan keberadaan konsep Multiple Intelligences yang diprakarsai oleh Dr. Howard Gardner dari Universitas Harvard dan juga konsep Emotional and Spiritual Quotient (ESQ) yang di Indonesia dipopulerkan oleh DR. Ari Ginanjar.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah proses pembelajaran yang berlangsung di sekolah dan juga di rumah sudah mencerminkan tujuan dan visi yang telah dicanangkan tersebut? Apakah manusia yang beriman, bertaqwa, dan berakhlaq mulia benar-benar menjadi goal proses pembelajaran di sekolah? Apakah para Bapak dan Ibu guru sebagai panutan dan idola bagi para siswa di sekolah sudah memerankan diri sebagai orang yang beriman dan bertaqwa serta berakhlaqul karimah? Apakah siswa yang jujur dan bertanggungjawab dihargai sama dengan (atau lebih dari pada) anak yang mendapatkan nilai 100 untuk pelajaran IPA?
Apakah bapak ibu di rumah selain memperhatikan nilai Matematika dan Bahasa Inggris sang anak juga mementingkan sholat dan ngaji si buah hati tersebut?? Apakah bapak ibu di rumah sudah mencontohkan akhlaq mulia seperti jujur, berkata sopan, lembut dalam bersikap, dan disiplin kepada anak sehingga anak lebih mudah untuk meniru akhlaq mulia dan menjadikannya sebagai sesuatu yang “biasa” dalam kehidupan sehari-hari di rumah? Apakah bapak ibu di rumah mau meluangkan waktu yang cukup untuk “dekat” dengan sang buah hati sehingga si anak senantiasa menjadikan bapak ibunya sebagai “tempat kembali”??
Apakah para pengajar di sekolah masih memandang dan meyakini bahwa ada murid yang pintar dan ada murid yang bodoh? Atau justru beliau memandang dan meyakini bahwa setiap murid adalah cerdas; ada yang cerdas bahasa, ada yang cerdas logika-matematika, ada yang cerdas kinestetik, ada yang cerdas musik, ada yang cerdas interpersonal, ada yang cerdas intrapersonal, dan ada juga yang cerdas natural?? Setiap anak memiliki bakat dan potensi yang unik. Setiap anak juga memiliki kecenderungan dan gaya belajar masing-masing yang berbeda satu dengan yang lain.
Apakah proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah memperlakukan dan mengajar peserta didik sesuai dengan potensi mereka masing-masing? Apakah sistem penilaian guru di sekolah tidak hanya mementingkan aspek “hafalan”, tetapi juga aspek praktek dan prilaku sehari-hari? Apakah para guru “masih” suka marah kepada anak didik jika ada anak didik yang bandel dan tidak bisa mengerjakan soal? Apakah para guru mau dengan ikhlash menjadi “teman dekat” si anak didik sehingga beliau bisa mengetahui penyebab kenapa seorang murid bersikap kurang baik atau kesulitan dalam memahami pelajaran??
Tujuan pendidikan yang mulia di atas hanya akan menjadi angan-angan jika tidak dibarengi dengan perbaikan yang serius di berbagai aspek pendidikan. Tujuan pendidikan untuk membentuk pribadi yang beriman, bertaqwa, dan berkhlak mulia itu hanya akan menjadi slogan jika tidak didukung dengan sepenuh hati oleh semua komponen bangsa terutama para pengajar di sekolah, orang tua di rumah, dan tentunya para pemimpin baik di masyarakat maupun di pemerintahan. Semoga anak-anak didik kita kelak menjadi pribadi yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Semoga buah hati kita kelak menjadi manusia yang cerdas spiritual, emosional, dan intelektual. Amien. [tj]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar