Beberapa hari yang lalu saya baru saja selesai membaca buku karangan Pak Hernowo yang berjudul “Mengikat Makna Sehari-hari”. Buku ini bukan buku baru. Buku ini diterbitkan oleh MLC pada tahun 2005. Hanya saja saya baru bertemu dengannya akhir bulan Maret 2012 yang lalu. Saya tertarik untuk membeli buku ini karena saya –sudah lama- mempunyai keinginan untuk bisa menulis lebih baik; lebih banyak dan lebih berkualitas.
Ketika masa MI (Madrasah Ibtidaiyah) saya belajar menulis tentang pelajaran di sekolah dan pelajaran di TPA (Taman Pendidikan al-Quran). Saya SS (sungguh sangat) jarang menulis selain materi pelajaran yang ditulis oleh guru saya atau tertulis di buku pelajaran kecuali corat- coret abstrak di buku yang saya pun sampai hari ini tidak tahu apa artinya. Ketika beranjak usia MTs (Madrasah Tsanawiyah) saya masih istiqomah dengan kegiatan menulis. Iya. Menulis pelajaran di sekolah dan di madrasah diniyyah serta ngesahi (memberi makna) kitab kuning. Selain itu tentu tugas PR dari guru saya. Sampai pada waktu itu saya –seingat saya- tidak pernah mengarang puisi, cerpen, prosa, atau artikel. Kegiatan belajar menulis saya berlanjut hingga masa remaja di MA (Madrasah Aliyah). Pada masa ini, materi yang saya tulis semakin beragam; terjemah kitab, murod, pidato, catatan kecil, cerita drama, rencana kerja di OSIS dan pramuka, dan rencana kerja di OSMA (organisasi siswa madrasah).
Pada puncaknya saya terlibat penulisan, lebih tepatnya pengetikan, sebuah buku karya senior, guru nahwu dan bahasa arab, teman ngopi dan makan, sahabat di kala susah dan senang, pembimbing spiritual yang mengajarkan saya makna “ikhlash”, tempat saya curhat, seorang kepala keamanan pondok yang bukan hanya ditakuti dan disegani oleh santri, tetapi juga disegani oleh sesama guru di pesantren, bahkan oleh warga sekitar pesantren. Tubuhnya kekar besar, pahanya sangat pendek karena cacat sejak lahir, kakinya pernah patah karena tertabrak motor. Beliau seorang yang multi talent. Ngaji al-Quran oke, kabarnya (rahasia) beliau hafidz, walaupun belum 30 juz, tapi beliau tidak pernah mengatakannya. Ngaji kitab oke. Mulai sulam munajat sampai fathul wahab. Mulai jurumiyah sampai al-fiyah. Mulai nashoihul ibad sampai ihya ulumiddin. Mulai arba’in nawawi sampai shohih bukhori-muslim. Jadi tukang bangunan bisa, elektro bisa, jadi petani nggarap sawah bisa, masak bisa, seni kaligrafi bisa. Ilmu dalam pun beliau menguasai. Di pondok saya dulu, seorang kepala keamanan harus siap setiap saat menghadapi “musuh” baik yang nampak maupun yang tidak, baik dari dalam maupun dari luar. Dan yang langka di pesantren, beliau juga penulis yang produktif. Puisi, cerpen, kata-kata hikmah, sampai buku pun pernah beliau tulis. Beliau bernama Imam Syafi’i. Beliau adalah seorang Arek Malang yang beliau sebut sebagai “Kera Ngalam”. Para santri memanggil beliau “mbah pi’i”. Dan buku yang saya terlibat dalam penulisannya itu berjudul “Hawaijul maghfulat”. Artinya kebutuhan-kebutuhan yang terlupakan. Buku ini berisi tentang tuntunan dalam menjalani kehidupan sehari-hari dengan pendekatan tasawwuf yang kental. Buku ini ditulis dengan bahasa jawa menggunakan huruf arab pego. Jadi kalau dipandang dari agak jauh kelihatan tulisannya arab. Kalau dibaca dari dekat bunyinya bahasa jawa. Beliau menjadi inspirasi bagi saya hingga saat ini. Kabarnya beliau sekarang menjadi seorang kyai di Jambi.
Ketika masa awal kuliah di Universitas Airlangga Surabaya jurusan sastra Inggris, saya mempunyai hobi baru. Yaitu menulis puisi dan corat-coret di buku kecil. Kemudian saya mulai belajar nulis prosa bulanan yang saya print dan saya photocopy sendiri lalu saya tempel di papan pengumuman di kampus. Saya mulai belajar menulis cerpen. Saya pernah menulis sebuah cerpen tentang perjuangan seorang pemuda dalam bergelut dengan kehidupan. Seingat saya itu adalah cerpen satu-satunya yang saya tulis sampai saya jadi sarjana. Kemudian saya belajar menulis di blog www.muhtartajuddin.blogspot.com. Di sini saya bisa menulis apa pun sesuka hati saya. Puisi, artikel, komentar, cerita kehidupan sehari-hari. Pokok’e nulis. Selanjutnya saya pun mulai belajar menulis prosa dan artikel ringan di buletin Dirosati yang diterbitkan oleh Pesma Baitul Hikmah dan buletin musholla Nurul Hidayah. Dan tentu saya menulis skripsi sebagai syarat mendapatkan gelar S.Hum. sarjana humor…. Hehe. Sarjana Humaniora.
Saya merasa bahwa saya semakin butuh untuk menulis. Semakin banyak menulis saya merasa semakin mengerti seperti apa diri saya sebenarnya dan menyadari apa sebenarnya yang saya pahami dan saya tidak pahami. Saya pun pernah mengikuti pelatihan menulis artikel. Pelatihan ini mengobarkan semangat menulis yang membara di dalam diri saya namun sayangnya saya –sampai sekarangpun- kurang bisa mengaplikasikan isi pelatihan itu. Mungkin karena materinya berat bagi saya yang belum terbiasa menulis artikel serius; menulis artikel di koran. Tu ..tu.. yang biasanya ada di rubrik opini. Atau sayanya aja yang kurang serius belajar menulis opini yang logis dan sistematis. Hingga saya bertemu Kostas Retsikas. Seorang dosen antropologi dari SOAS London yang berkwarganegaraan Yunani. Saya ditawari menjadi asisten penelitiannya dan saya pun mau. Pikir saya, beruntung sekali saya bisa belajar langsung dengan seorang Doktor antropologi yang disertasinya tentang Orang Padalungan di Probolinggo meraih penghargaan sebagai disertasi di bidang Antropologi terbaik se United Kingdom sepuluh tahun yang lalu. Hampir setiap hari saya melihat dia menulis fieldnotes tentang apapun yang dia alami selama penelitian. Apakah ketika ketemu aku, ketika menonton acara TV yang menarik, ketika refreshing di mall, ketika melihat poster yang bagus atau ketika mengikuti kegiatan bersama lembaga-lemabaga zakat di Surabaya. Saya melihatnya asik sekali punya tulisan seperti itu. Saya pun mencoba mempraktekkannya sedikit demi sedikit. Dan sejak awal Maret 2012 yang lalu saya berazam untuk menulis setiap hari, menimal dua hari sekali. Menulis apa pun yang saya alami sehari-hari. Insyaallohu ta'ala.
Beruntung sekali akhir Maret 2012 yang lalu saya bertemu dengan buku Mengikat Makna Sehari-hari di salah satu toko buku yang berlokasi di Ngagel. Apalagi pas dapat diskon 40%, langsung saya beli buku ini dan sampai rumah langsung mulai saya baca. Ternyata Pak Hernowo menawarkan sesuatu yang benar-benar menyenangkan bagi orang seperti saya yang baru belajar menulis. Di bagian awal buku ini Pak Hernowo menceritakan manfaat kegiatan “membaca-menulis” bagi beliau pribadi sesuai dengan apa yang beliau alami.
Sebenarnya saya bisa disebut sebagai orang yang cukup keranjingan dalam membaca. Saya membaca koran; Republika dan Kompas, akhir-akhir ini malah bertambah Jawa Pos, membaca majalah; majalah Islamia, Hidayatullah, Aula, al-Wa’i, dan beberapa bulan terakhir majalah Tempo yang saya dapat dari Kostas, buletin, artikel dan berita di internet dan tentunya al-Quran, kitab tafsir, hadits, fiqh, akhlaq dan tasawwuf, buku filsafat, buku pendidikan, buku tentang belajar dan mengajar, buku tentang manajemen dan kepemimpinan, novel, cerpen, buku-buku agama Islam, fatwa-fatwa, dan tentunya buku pelajaran ketika kuliah di Sastra Inggris Unair. Hampir setiap bulan saya berkunjung ke toko buku untuk mengicipi buku-buku di sana dan membeli beberapa buku sesuai dengan kapasitas kantong saya. Dan sekarang pun buku-buku itu tertata di dua buah lemari yang ada di Pesma Baitul Hikmah. Sebagian sudah saya pulangkan ke Madiun sehingga menjejali lemari di rumah dan sebagian yang lain saya bawa ke pondok pesantren Darul Hikmah tempat saya mukim sekarang. Namun entah mengapa saya merasa ada yang kurang dalam diri saya.
Lebih lagi, saya juga merupakan pembicara yang –menurut orang- cukup bagus. Kalau tidak, kenapa mereka yang pernah mengundang saya untuk mengisi materi kok mengundang lagi di lain waktu? Selain mengajar dan mbalah ngaji, saya punya hobi mendongeng, terutama sejak bertemu dengan guru dongeng saya; Ki Heru Cokro. Saya juga termasuk orang yang disebut banyak ngomong, suka diskusi, dan beberapa kali mengisi materi tentang manajemen dan kepemimpinan, tentang remaja, dan motivasi pendidikan. Namun lagi-lagi, saya merasa ada yang kurang dalam diri saya. Beberapa waktu saya cari-cari apa kekurangan itu. Ternyata yang kurang itu adalah mengamalkan..!! Ya, harusnya buku-buku yang saya baca itu benar-benar bisa menggerakkan saya menjadi lebih baik. Lebih bermanfaat. Harusnya apa-apa yang saya katakan itu sudah saya amalkan dengan konsisten. Kalau saya saja belum mengerjakannya dengan istiqomah, kenapa saya berani-beraninya menyarankan orang lain untuk mengamalkannya?!
Kemudian, ini juga sangat penting, yang kurang lagi dalam diri saya adalah menulis..!! Saya bisa baca dan bicara, tapi saya lemah dalam menulis. Entah mengapa, sejak beberapa bulan ini, saya merasa bahwa saya perlu untuk belajar lebih keras lagi agar bisa menulis lebih baik dan lebih banyak. Saya pun akhirnya bertemu dengan buku Mengikat Makna Sehari-hari ini. Di dalam buku ini Pak Hernowo menyebutkan manfaat membaca-menulis yang sudah beliau rasakan sendiri. Jadi buku ini memang sangat subjektif, apalagi penulisnya menggunakan kata ganti orang pertama “saya”, namun dengan begitu justru buku ini sangat jujur. Menjelaskan apa adanya. Bukan hanya bersumber dari teori saja tapi juga pengalaman hidup sang penulis yang benar-benar penulis alami sendiri.
Pak Hernowo menyampaikan bahwa membaca-menulis itu bisa menata pikiran, memahami diri sendiri, memberikan sugesti positif, merumuskan argumen, dan menajamkan pikiran. Hal yang menurut saya pribadi penting bagi saya adalah bahwa membaca dan terutama menulis akan bisa membantu saya memahami diri saya sendiri. Siapa sebenarnya saya, apa sebenarnya yang saya pikirkan dan saya rasakan, dan apa sebenarnya yang saya benar-benar pahami dan tidak.
Kata Pak Hernowo, membaca-menulis bisa mengasah daya ingat, merekam memori penting, meninggalkan jejak pikiran yang jelas dan menyembuhkan diri. Selain itu membaca-menulis juga bisa meningkatkan kemampuan komunikasi, mengenal detail diri dan mendidik sang penulis untuk jujur. Ketika menulis, saya hanya berkomunikasi dengan diri saya sendiri, apa yang saya tulis itu benar-benar ada pada diri saya apa tidak, hanya saya, dan Allah ta’ala tentunya, yang tahu. Hal ini melatih saya untuk jujur apa adanya dalam menyampaikan sesuatu. Namun yang paling penting, saya jujur kepada diri saya sendiri.
Lebih lanjut Pak Hernowo mengatakan bahwa manfaat membaca-menulis yang pernah beliau rasakan adalah mengefektifkan pengelolaan diri. Yang masuk dalam hal ini adalah menulis rencana, impian, target, dan tujuan hidup. Dengan menuliskan secara detail apa yang sebenarnya ingin beliau capai dalam hidup, lebih mudah bagi beliau untuk mengerti apa sebenarnya yang beliau inginkan dan dengan begitu lebih mudah juga bagi beliau dalam mencapai target-target hidupnya itu. Terakhir, manfaat yang didapat oleh Pak Hernowo dari membaca-menulis adalah menjadikan beliau lebih bermakna. Bermakna bagi diri sendiri dan orang lain. Sedikit bukti, dalam rentang tahun 2000-2005, tak kurang dari 24 buku berkualitas yang beliau tulis dan memiliki tempat istimewa di hati para pembaca.
Pak Hernowo sebenarnya ingin berbagi pengalaman bahwa kegiatan membaca-menulis itu adalah kegiatan yang ringan-menyenangkan serta penuh manfaat. Kemudian kegiatan membaca-menulis ini terkait erat dengan apa yang namanya kreatifitas. Kreatifitas, menurut beliau adalah sebuah keunikan yang membedakan seseorang dengan orang lain. Kreatifitas yang menawarkan ide baru, terus berkembang dan dapat mempengaruhi orang lain merupakan kreatifitas yang bernilai tinggi. Kegiatan membaca-menulis inilah yang disebut Pak Hernowo sebagai “Mengikat Makna”.
Agar bisa memulai kegiatan membaca-menulis dengan ringan dan menyenangkan, temukan dulu AMBAK-nya. Apa Manfaatnya BAgi Ku..??!! Semakin banyak manfaat yang diketahui dan disadari akan bisa didapat, semakkin bagus. Hal itu akan membantu kita untuk mensetting pikiran bahwa kegiatan membaca-menulis yang kata sebagian orang merupakan kegiatan yang berat itu menjadi sesuatu yang ringan karena toh kita akan mendapatkan manfaat yang banyak, manfaat yang besar..!!
Bacalah bahan bacaan yang kamu sukai. Membaca bukan hanya merupakan proses mengumpulkan informasi tetapi lebih pada proses diskusi. Ketika membaca kita melibatkan pengetahuan, pengalaman hidup, dan bahkan perasaan kita. Bacalah bahan bacaan yang manfaatnya bisa langsung kamu rasakan. Pastikan bahwa kamu mendapatkan manfaat dari bacaanmu. Kemudian tulislah manfaat dari bacaan itu.
Menulis sesungguhnya tidak semata-mata bertujuan untuk menerbitkan tulisan di media masa atau menerbitkan buku. Hal itu terlalu berat. Menulis adalah untuk mengenal diri sendiri lebih dalam dan lebih dekat. Menulis adalah untuk mengembangkan diri.
Miliki buku harian. Menulislah setiap hari di buku harian itu. Tulislah tentang apa saja yang kamu alami pada hari itu. Tulislah apa yang kamu pikirkan dan kamu rasakan. Selain membantu kita untuk menulis dengan flow, menulis buku harian juga bisa melembutkan hati sekaligus meneguhkan diri. Kita bisa melihat perkembangan diri kita dari hari ke hari dengan membaca buku harian kita.
Menulislah..!!
Praktekkan. Praktekkan. Praktekkan.
Kerjakan. Kerjakan. Kerjakan..!!
Jadikan kegiatan membaca dan terutama menulis sebagai kegiatan rutin setiap hari. Dan rasakan manfaatnya..!!
Semoga bermanfaat. [tj]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar