(Sabtu, 8 Oktober 2011)
Kalimat itu diucapkan oleh seorang senior saya ketika ia menyalami saya yang baru saja diwisuda. Ya, setelah 8 semester bergelut dengan dunia perkuliahan dan perkampusan beserta bumbu-bumbunya, saya akhirnya diwisuda. Saya berhak menyandang gelar S.Hum. beserta segenap hak dan konsekuensinya. Mendapatkan gelar sarjana merupakan salah satu mimpi saya ketika saya masih sekolah di Madrasah Aliyah Walisongo, Pon-Pes Darussalam Mekar Agung, Madiun. Waktu itu saya benar-benar hanya bermimpi, hanya kepingin. Bagi saya, anak udik yang sekolah di Madrasah Ibtidaiyyah dengan biaya SPP tidak lebih dari 10 ribu, lalu melanjutkan sekolah di Madrasah MTs dengan SPP sebesar 7 ribu (saat itu, siswa tingkat SD dan SLTP masih harus membayar SPP), selanjutnya belajar di Madrasah Aliyah dengan SPP sebesar 12 ribu, merasakan duduk di bangku perkuliahan hanya merupakan mimpi. Mendengar kata kuliah aja, pikiran langsung melayang ke “uang”, emang mau bayar pake daun. Kalau membebani ayah ibu saya, jelas saya tidak tega. Mungkin saja beliau mau membiayai, dengan tetesan keringat dan darah bahkan, tapi saya yang tahu kehidupan sehari-hari keluarga kami, jelas tidak sampai hati. Akhirnya saya hanya bisa bermimpi, berazam dalam hati, sambil berdoa kepada Yang Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan Doa. Dan sekarang, Dia, Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, berkenan mewujudkan mimpi saya dulu. Al hamdulillah.
Setelah prosesi wisuda selesai, saya dan ibu serta pak De saya keluar dari ruangan. Begitu di luar, ada banyak teman-teman yang ngucapin selamat, ada juga yang ngasih bunga. Hingga pada suatu saat, ada seorang senior menyalami saya sambil berucap, “selamat datang di dunia nyata”. Deg. Saya pun langsung kepikiran akan banyak hal. Lamunan saya menerawang ke mana-mana. Mereview kehidupan saya selama kurang lebih empat tahun terakhir. Saya pun bergumam dalam hati, “emang kehidupan yang telah saya lalui hanyalah ilusi?”
Sekejap pikiran dan batin saya menyusun argumen. Berusaha menolak ucapan senior saya tadi. Su`udz dzon saya langsung mencerca, “itu kan elu, kalau gua kan beda. Elu dulu kan kuliah hanya leha-leha. Nghabisin uang papa mama. Elu hanya kuliah. Itu pun gak sungguh-sungguh, sering maen-maen, tidur di kelas, bolos, titip absen, de el el. Abis kuliah elu ngobrol ma temen-temen, jagong, makan-makan, terus maen ke mall, belanja, ngedisko, karaoke, jalan-jalan, pokoke hura-hura tok. Lha sekarang begitu lulus, elu kebingungan nyari kerja. Kebingungan nyari duit. Karena emang tujuan utama elu kuliah ya nyari duit, begitu kesulitan nyari duit, elu mulai stress, terus elu mulai menilai bahwa sekarang adalah dunia nyata, dunia yang sebenarnya, jelas elu kaget. Dan elu mengira semua mahasiswa kayak elu,. . .” Begitu dan seterusnya. Pikiran dan batin saya berpikir hal-hal jelek yang –mungkin- ia lakukan selama kuliah, selama menjalani kehidupan kampus.
Tidak hanya itu, pikiran dan bathin saya juga mulai membela diri, membenarkan diri sendiri, dan gak mau sedikit pun disalahkan, “kalau gua kan beda. Dulu gua kuliah sungguh-sungguh, serius. Kadang memang ngantuk di kelas, tapi gua benar-benar serius. Gua berusaha keras agar mendapat nilai A sebanyak-banyaknya, walau memang tak semua nilai kuliah gua adalah A, tapi gua benar-benar belajar dengan keras. Gua juga aktif di berbagai organisasi. Di kampus, gua pernah –sedikit- aktif di BLM dan HIMA, walau tidak sampai hidup mati gua persembahkan untuk organisasi itu. Gua juga aktif di SKI, sentra kerohanian islam, gua pernah jadi Kadept (Kepala Departemen) Kaderasasi, terakhir gua diplot ma temen-temen buat jadi ketua umum. Gua juga terlibat dalam berbagai kegiatan UKMKI, ski tingkat universitas. Selain itu, gua juga kenal cukup akrab dengan dosen, pak dekan, wakil dekan, dan juga para pegawai. Di luar kampus, gua aktif di Kassande, Keluarga Besar Santri Depag, Unair, terakhir saya dipercaya sebagai vice president, patner special pak President. Gua juga aktif di CSS MoRA, Community of Santri Scholars of Ministry of Religious Affairs, tingkat nasional, gua diamanahi sebagai Kadept P3M (Pemberdayaan dan Pengabdian kepada Pesantren dan Masyarakat) selama dua tahun. Ditambah lagi, selama kuliah saya tinggal di Pesantren Mahasiswa, ngaji dan ngajar di sana. Aktif juga di Musholla dan TPA Nurul Hidayah, ngebiba anak-anak kampung kota, juga remajanya, end ibu-ibunya. Juga turut serta berkontribusi di Pesantren Yatim Darul Hikmah. Saya juga sering megikuti pelatihan-pelatihan, training, seminar, workshop, baik yang tingkat fakultas, universitas, lokal, nasional, bahkan internasional. Ada pelatihan yang berhubungan dengan pengembangan diri, skills, entrepreneur, leadership, de el el. Gua juga sempat belajar mendongeng untuk anak-anak, biar kalu gua punya anak, gua bisa dongengin. Gua sudah berkeliling Indonesia mulai dari Bali sampai Sumatera. Bahkan gua pernah mencoba berwirausaha, pernah jualan pulsa, pernah jualan jajanan, es, nasi bungkus, dan obat. Memang hanya coba-coba, jadi hasilnya ya gak maksimal. Gua juga nyambi ngelesi, les privat, buat nambah uang pulsa. Gua pun pernah ngajar di salah satu MTs Unggulan di Surabaya. Semua itu sudah saya kerjakan. Bedakan dengan elu..!! sejak dulu gua dah njalanin hidup yang nyata. Bukan hidup yang hanya main-main” Hati saya mulai menyombongkan diri. mulai merasa bahwa saya hebat. Astaghfirulloh al ‘adhim.
Control+A, delete. Saya delete semua sinisme dan su`udzdzon yang ada di hati. Astaghfirulloh al adhim. Toh, saya gak tahu pasti bagaimana kehidupan senior saya itu. Karena saya gak tahu pasti, kenapa saya menjudge bahwa dia seperti ini dan seperti itu? Bisa jadi, dan sangat mungkin, ketika kuliah dan menjalani kehidupan kampus, dia lebih serius daripada saya, dia lebih semangat daripada saya, dan dia lebih banyak aktifitas positifnya daripada saya. Toh dia merasakan bahwa kehidupan pasca kampus lebih berat dan lebih menantang dari pada kehidupan kampus. Maka bolehlah dia berpendapat bahwa inilah, kehidupan pasca kampus, adalah kehidupan yang sebenarnya.
Kedua, selama menjalani kuliah dan dunia perkampusan, seringkali saya menghabiskan waktu untuk kegiatan yang kurang bermanfaat. Tidak jarang saya kehilangan momentum untuk berbuat lebih besar dan lebih bermanfaat. Saya pun juga sering malas dalam membekali diri dengan hard skills, soft skills, dan life skills. Maka sudah selayaknya saya berterimakasih kepada senior saya tadi, yang telah mengingatkan saya akan kehidupan nyata, kehidupan dengan tantangan yang lebih berat. Bukankah saya selayaknya bisa mengambil hikmah dari setiap fenomena yang hadir di hadapan saya?
Dengan nasehat senior saya itu, hendaknya saya mempersiapkan diri lebih baik, luar dalam, jasmani rohani, untuk menjalani kehidupan yang lebih menantang.
Kehidupan pasca kampus ini saya mulai dengan mengabdi di Pesantren Mahasiswa Baitul Hikmah Surabaya, menemani, mengajar dan menginspirasi mahasantri-mahasantri muda yang mempunyai semangat dalam mendekatkan diri kepada Alloh ta’ala dan menebar manfaat kepada sesama (untuk hal ini saya sudah mendapat ACC dari Ketua Yayasan Pondok Pesantren Darussalam Mekar Agung dan Kepala Madarasah Walisongo, Madiun, pesantren dan madrasah asal saya dulu. Sebagai santri yang ikut PBSB [Program Beasiswa Santri Berprestasi], setelah lulus kuliah, saya harus mengabdi di pesantren, walau sebenarnya tanpa perjanjian tertulis pun, saya memang interested to pesantren, maklum dalam diri saya mengalir darah pesantren). Tahun depan kami berencana membeli tanah ukuran 4.5 x 20 m di sebelah kami, untuk dibangun ruang ustadz, kantor, ruang kelas, dan hall, dengan harapan agar lantai 2 gedung sekarang bisa dijadikan kamar santri, sehingga kapasitasnya bertambah menjadi 40 santri (saat ini kapasitas maksimum pesantren adalah 20 santri). Rencana jangka panjang, kami ingin menjadikan pesantren kami lebih bermanfaat bagi masyarakat luas; mahasiswa, anak-anak TK-SD, remaja SMP dan SMA, juga bapak-ibu warga. Mohon doa dan partisipasi anda semua.
Saya juga belajar khidmah, bersama teman-teman ngurus Musholla dan TPA Nurul Hidayah. Warga kampung kami merasa senang dengan keberadaan kami, kami pun merasa tersanjung dan berusaha untuk melakukan yang terbaik. Selain itu saya juga belajar khidmah, membantu teman-teman menemani, mengajar dan menginspirasi santri Pon-Pest Yatim Darul Hikmah. Saya berharap kelak mereka akan menjadi orang yang mandiri. Hal yang sering saya katakan kepada mereka, “sekarang kalian memang dibantu oleh banyak orang, kelak, 10 tahun lagi, 20 tahun lagi, kalian harus mandiri, dan bisa membantu banyak orang. Beranilah bermimpi. Bercita-citalah yang tinggi. Raih mimpi dan cita-cita kalian, dengan belajar yang sungguh-sungguh, dan membekali diri dengan iman dan akhlaq yang baik..!”
Dalam hal yang berhubungan dengan akademik, akhir September 2011 lalu, saya ditawari oleh Kadept. Sastra Inggris, Bu Lilla Musyahda, M.Pd. dan Wadek 3 FIB yang juga dosen sastra Inggris, Bu Nur Wulan, Ph.D. untuk mendampingi Dr. Kostas, dosen Antropologi dari SOAS (School of Oriental dan African Studies) Universitas London, yang sedang mengadakan penelitian tentang zakat di Indonesia, khususnya di Jawa. Dengan niat belajar penelitian langsung kepada seorang doktor yang pernah mengajar Marty Natalegawa, Menteri Luar Negeri Indonesia saat ini, serta berusaha untuk menyampaikan ajaran Islam yang penuh dengan semangat kasih sayang kepada sesama manusia, plus belajar diskusi secara terbuka dengan seorang dosen Antropologi Islam tentang banyak hal, terutama yang terkait dengan ajaran Islam, saya menerima tawaran tersebut. Ini merupkakan pekan kedua kami bekerjasama. So far so good.
Ya, begitulah. Saya pun juga tak lupa untuk senantiasa memperbaiki diri sendiri, meningkatkan kualitas diri, dengan berbagai aktifitas yang bermanfaat. Terimakasih saya sampaikan kepada mas senior saya yang telah mengingatkan saya akan kehidupan yang sebenarnya, kehidupan yang penuh dengan tantangan. Semoga saya bisa istiqomah dalam menebar manfaat. Semangat..!!
Hanya kepada Alloh ta’ala jua lah saya memohon pertolongan. Hasbiy Alloh wa ni’ma al wakil. Ni’ma al maula wa ni’ma an nashir. Laa haula wa laa quwwata illa billahi al ‘aliyyi al ‘adhim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar