Minggu, 23 Oktober 2011

“Pesta” Haji di Tengah Jeritan Kemiskinan

Kemiskinan di Sekitar Kita
Kemiskinan merupakan masalah sosial yang tak kunjung henti kita temui di Negara kita tercinta; Indonesia Raya. Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2010 jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 31 juta jiwa atau 13, 33% dari penduduk Indonesia (sekitar 250 juta) dengan Garis Kemiskinan berupa penghasilan sejumlah Rp 211.726 per bulan atau Rp 7.000 per hari. Silahkan Anda analisa sendiri. Dengan penghasilan Rp 7.000 per hari, apa yang bisa dilakukan seseorang dengan uang tersebut? Jadi jika Garis Kemiskinan tersebut dinaikkan “sedikit” saja, jumlah warga yang masuk kriteria miskin tentu akan melonjak dari angka semula.



Masalah kemiskinan dapat menimbulkan masalah turunan yang lain. Salah satu efek kemiskinana adalah terbatasnya kesempatan mengenyam pendidikan bagi warga yang miskin atau anak orang miskin. Angka putus sekolah secara nasional masih cukup tinggi.

Kepala Bagian Perencanaan dan Penganggaran Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kemendiknas Nono Adya Supriatno mengungkapkan, saat ini jumlah siswa miskin di Indonesia hampir mencapai 50 juta. Jumlah tersebut terdiri dari 27,7 juta siswa di bangku tingkat SD, 10 juta siswa tingkat SMP, dan 7 juta siswa setingkat SMA. Dari jumlah itu, sedikitnya ada sekitar 2,7 juta siswa tingkat SD dan 2 juta siswa setingkat SMP yang terancam putus sekolah. "Siswa di SMP, hanya 23 persen yang mampu meneruskan ke tingkat SMA. Sisanya tidak bisa meneruskan, di antaranya ada yang terpaksa bekerja," ujar Nono ketika menjadi narasumber dalam lokakarya "Membedah Pembiayaan Pendidikan", Sabtu (23/7/2011) di Bandung. 

Lebih jauh, jumlah warga Indonesia yang bisa merasakan pendidikan di perguruan tinggi saat ini baru 4,8 juta orang. Bila dihitung terhadap populasi penduduk berusia 19-24 tahun, maka angka partisipasi kasarnya baru 18,4 persen. Maksudnya, warga Indonesia usia 19-24 tahun yang tidak kuliah sebesar 81,6 persen dari jumlah total.
Selain itu, masalah kemiskinan juga berdampak terhadap kualitas kesehatan penduduk. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 berbicara dengan sendirinya tentang kemiskinan di Indonesia. Secara nasional, jumlah penduduk yang mengonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal—kurang 70 persen dari angka kecukupan energi orang Indonesia—masih cukup tinggi, yaitu 40,7 persen. Kekurangan konsumsi energi terjadi pada semua kelompok umur, terutama pada usia sekolah, praremaja, usia remaja, dan ibu hamil, terutama di pedesaan. Konsumsi energi di bawah kebutuhan minimal mencerminkan kurangnya jumlah konsumsi karbohidrat yang dapat menjadi ukuran kelaparan dan karenanya menjadi indikator kemiskinan. Artinya, masih banyak orang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar yang biasanya dipenuhi dari nasi (Kompas.com)
“Pesta” Haji
Pada saat masih banyak warga yang kekurangan dari segi ekonomi sehingga berdampak pada kualitas pendidikan dan kesehatannya, ada sebuah fenomena “unik” di Negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini. Direktur Pengelolaan Dana Haji Kementrian Agama Ahmad Djunaidi mengungkapkan, di Jakarta untuk pemberangkatan haji tahun 2011 adalah calon haji antrian 6 hingga 7 tahun lalu. Kuota haji reguler tahun ini 194 ribu jamaah, sedang kuota ONH Plus 17 ribu, total 211 ribu. Melihat minat yang begiru besar dari umat muslim untuk naik haji itu, sekitar 1,4 juta orang telah masuk daftar tunggu untuk naik haji. Rata-rata waktu antre mencapai 6,5 tahun. Sedangkan di sejumlah daerah tertentu antrean lebih lama lagi, misalnya daerah di Sulawesi 12 tahun dan Aceh 10 tahun. Perlu diketahui, ongkos biaya haji regular di Indonesia sekitar 27 juta rupiah, itu belum termasuk kebutuhan hidup selama kegiatan haji. Untuk jalur ONH Plus, biaya tersebut bisa menjadi dua kali lipat.
Berbeda dengan ketika menunaikan ibadah haji yang masyarakat mampu melaksanakannya dengan penuh semangat, untuk urusan bayar zakat, masih banyak warga yang “lalai” atau “malas”. Padahal jika muslim Indonesia mau membayar zakat dengan benar, hal tersebut sangat cukup untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia secara signifikan. Wakil Ketua Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Naharus Surur,  mengatakan potensi zakat di Indonesia sangat luar biasa. Hal ini ia katakan saat memberi sambutan pada Pelatihan Da’i Baznas-MUI, Kamis (21/07/2011) pagi, di Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jakarta. Naharus Surur menjelaskan bahwa berdasarkan hasil riset Islamic Development Bank (IDB) pada 2010 disebutkan jika potensi zakat di Indonesia mencapai Rp. 100 triliun. Sementara di tahun 2011, jumlahnya semakin meningkat, potensi zakat mencapai Rp. 217 triliun, dengan perincian Rp. 117 triliun dari rumah tangga dan Rp. 100 triliun dari perusahaan-perusahaan milik Muslim.Meski jumlah potensinya besar, tetapi, kata Naharus Surur, jumlah nilai zakat yang terealisasi hanya Rp. 1.2 triliun. “Kesadaran umat untuk berzakat masih tergolong rendah,” jelasnya. (Hidayatullah.com)
Itulah sebuah paradoks yang terjadi di kehidupan umat muslim di negeri yang mayoritas warganya beragama islam ini. Memang benar bahwa haji itu merupakan salah satu rukun islam yang lima dan merupakan kewajiban bagi muslim yang mampu melaksanakannya. Tapi bukankah zakat juga merupakan salah satu rukun islam dan juga merupakan kewajiban bagi setiap muslim? Kalau biaya untuk berangkat haji (juga haji plus) aja mampu, tentu sudah mampu membayar zakat. Apalagi zakat merupakan rukun islam nomer 3 setelah syahadat dan sholat. Ingat; syahadat, sholat, zakat, puasa, haji. Itulah urutannya. Selain itu, apakah “tega” menghabiskan uang untuk berangkat haji, sedangkan tetangganya, saudaranya sesama muslim, masih ada yang kesulitan hanya sekedar untuk makan.
Alloh ta’ala dengan sangat tegas menyatakan bahwa “berinfaq” adalah salah satu kriteria orang yang bertaqwa, orang yang mulia di sisi-Nya.
“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka”. (QS. Al Baqoroh: 2-3)
“dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS. Ali Imron: 133-134)
Kepada para jama’ah yang sedang haji, sudah haji, atau antri mau berangkat haji, saya bertanya kepada Anda; “Apakah Anda sudah membayar zakat?”, “Apakah Anda sudah berinfaq?”, “Apakah Anda tega, ketika Anda berangkat ke tanah suci untuk berhaji, beribadah kepada Alloh ta’ala, mengharap surga-Nya, sementara pada saat yang sama tetangga Anda sedang menderita kelaparan, putus sekolah, dan berpenyakitan?”
Semoga haji Anda mabrur. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar