cerita ini sudah cukup lama kutulis, november 2008, tapi belum sempat ku posting ke blog. kali ini aku ingi berbagi. cerita ini berawal dari keyakinanku bahwa: 'never give up..!!' aku akan terus bangkit, walaupun beribu kali terjatuh. hidup ini terlalu berharga untuk di-putusasa-i. selalu ada kesempatan untuk bangkit, dan menjadi lebih baik..!!
PESAN IBU...
Membosankan. Itulah kata yang sangat tepat bagi rutinitasku. Kuliah. Mendengarkan ceramah dari para sarjana, magister, dan beberapa doktor, serta kadangkali profesor. Tugas. Buat makalah, laporan, presentasi, lalu mendengarkan ceramah lagi. Hampir setiap hari. Tepatnya 1000 menit per minggu. Aku harus duduk di atas kursi lipat yang terbuat dari kayu jati. Membelalakkan mata mengamati gerak-gerik dosen, mengikuti slide demi slide power point yang barangkali sudah berpuluh-puluh kali ditayangkan. Aku juga musti memasang pendengaran dengan penuh siaga. Karena kerap kali sang dosen menunjuk ku untuk menjawab pertanyaan atau sekedar mengulang penjelasan yang telah beliau sampaikan. Kalau jawabanku tidak sesuai dengan selera sang dosen, maka aku harus bersiap-siap menerima sarapan berupa cacian. “kamu ke mana aja?!”. Padahal beliau tahu aku tetap duduk di atas kursi. “begitu saja gak bisa, kamu kan mahasiswa!”. Batinku; emang kalau jadi mahasiswa musti selalu bisa. Bisa menjawab pertanyaan –yang belum tentu berguna-. Bisa melakukan apa saja. Ya... begitulah. Tapi aku tetap menghormati beliau –walau kadang terpaksa-. Karena itulah aku masih bersedia menyebut kata ‘beliau’.
“Mad, koen wis ngerjakne Reading ta??” kata-kata yang hampir setiap selasa sore diucapkan oleh Bondan. Temanku yang menganggap dirinya mahasiswa paling gaul sekampus. Badannya lumayan gemuk. Lumayan tinggi. Parasnya lumayan ganteng. Pokoknya serba lumayan. Termasuk kemampuan analisis serta prediksinya. Lebih baik kuhapus aja dia dari ceritaku. Gak ada yang asik.
Aku coba sedikit bercerita tentang kampus. Aku kuliah –walau dengan terpaksa- di Universitas Airlangga. Unair, begitu orang-orang menyebutnya. Memilih jurusan Sastra Inggris. Mencoba mengikuti trend yang cukup santer di kampung. “wah hebat, si Mamad bisa bahasa Inggris, kayak orang bule”. Mungkin seperti itulah kata-kata yang akan diucapkan orang-orang kampung ketika aku pulang. Harapan mereka. Kenapa aku terpaksa?? Aku adalah salah satu penganut aliran pragmatis. Tidak menyukai hal-hal yang tidak langsung bisa dinikmati. Kuliah adalah salah satunya. Hal yang tidak bisa langsung dirasakan enaknya. Sekali lagi; membosankan.
Hari demi hari kebosananku akan rutininas di kampus semakin menjadi. Ku coba mencari obatnya. Tapi tak juga ku dapat. Akhirnya aku berkesimpulan; memang membosankan. Aku pun larut dalam kebosanan demi kebosanan. Hingga satu semerter kulampaui. Nilai IPKku cukup memuaskan, bagi seseorang yang terpaksa kuliah; 2.8.
Semester berikutnya aku lebih suka menghabiskan waktu soreku buat jalan-jalan di Kenjeran. Nongkrong sambil menanti matahari terbenam. Kemudian pulang. Nonton televisi. Apa pun acaranya. Mulai sinetron, kuis, film barat, sampe komedian macam suami-suami takut isteri. Bahkan aku tetap memaksakan diri untuk senantiasa menonton televisi walau sebenarnya aku gak nyambung dengan acaranya. “dari pada buka buku” pikirku. Kalau sudah bosen dengan berbagai program televisi, aku pergi ke luar. Nongkrong di pinggir jalan. Minum kopi sambil bercanda ria dengan teman jalanan. Secangkir kopi bisa membuatku betah berjam-jam nongkrong sambil ngobrol ngalor-ngidul tak karuan. Aku baru beranjak balik bila otot-ototku sudah tak kuasa menahan dua kelopak mataku. Tidur, dan baru bangun bila matahari udah cukup panas.
Aku mulai sering bolos. Terbiasa TA. Bagiku kuliah adalah sesuatu yang memuakkan. Sering kali aku dapat sms “mad, gak kuliah?”. Tapi kubiarkan aja. Malas menjawabnya. Buang-buang pulsa aja. Toh dia sudah tahu jawabannya. Ku hitung paruh tahun ke dua ini aku sudah absen rata-rata 5 kali per mata kuliah. Aku sudah tahu konsekuensinya. Gak diizinkan mengikiuti UAS. Harus mengulang tahun depan. Tapi aku tak peduli. Bahkan aku sudah berat untuk sekedar mengingat bahwa aku adalah mahasiswa. Biarlah, yang penting aku menikmati hari-hariku.
Pobhia kuliahku makin menjadi. Aku sudah gak mau lagi ngurusi KRS, apalagi KHS, sudah jelas gak ada isinya. Wong ikut kuliah aja enggak. Satu semester ku habiskan untuk menjalani rutinitas. Bangun tidur, makan siang, nonton televisi, tepe-tepe di Kenjeran, nonton televisi lagi, makan malam, nongkrong di pinggir jalan Karang Menjangan, main PS, tidur.
Surat pak Dekan.
Terus begitu hingga aku sadar sudah satu tahun terlewati. Kadang-kadang aku merasa ada sesuatu yang gak bener dengan diriku. Kok bisa seperti ini ya. Emang aku mau jadi apa nanti. Tapi itu hanyalah sekelebat pikiran dan perasaan. Tidak cukup untuk menggerakkan tubuhku keluar dari rel yang telah aku buat sendiri. Hingga sampai pada suatu hari
“Mad, ni ada surat buat mu, dari pak Dekan lho...” Danang, seorang teman yang masih bisa kuandalkan untuk sekedar mengetahui situasi kampus.
“tumben Pak Dekan kirim surat ke aku”
“mungkin kamu mau diangkat jadi menantu, putri Pak Dekan kan lumayan cantik, he..he..he..” si Danang sudah kumat, mulai mengejekku.
“ma kasih ya” ku coba mengakhiri pertemuan.
“ya udah aku kuliah dulu”
kata-kata terakhirnya membuat telingaku makin gatal.
Beberapa saat setelah Danang meninggalkanku, ku ambil amplop yang berkopkan Fakultas Ilmu Budaya itu. Aku buka. Aku baca. Sekilas aku sudah langsung bisa menangkap apa isinya. Tak seperti biasa, aku merasa ada sesuatu yang lain. Ada perasaan aneh yang sebelumnya belum pernah ku rasakan. Tiba-tiba aku teringat Ibuku. Ya ibu. Wanita yang setiap bulan tidak pernah telat mengirimiku living cost. Aku mulai kepikiran dari mana Ibu bisa memperoleh uang sebesar itu setiap bulan. Padahal aku tahu, keluargaku gak begitu mampu. Kalau uang sebesar itu dialokasikan untuk diriku, berarti Ibu dan Indah, adik perempuanku pasti sangat jarang bisa makan lauk ayam goreng. Ibu pasti mengurangi jatah belanja harian. Ibu pasti mengurangi jatah belanja perabot rumah tangga. Dan Adikku, Indah, sulit baginya untuk membeli buku bacaan penunjang sekolah. Tiba-tiba aku merasa sangat kangen kepada Ibu dan Indah. Aku yakin kamu tahu apa isi surat pak Dekan tadi. Ya, aku di Drop Out. Aku bukan lagi mahasiswa sastra Inggris Unair. Suatu hal yang sudah ku prediksi jauh-jauh hari. Bibirku mencoba tersungging. Aku tahu, inilah saat yang paling ku nantikan. Gak perlu kuliah. Tapi perasaan ini, tak pernah ku nyana sebelumnya. Aku bisa merasakan hal seperti ini. Dadaku tiba-tiba sesak. Nafasku tak beraturan. Jantungku berdegup tanpa irama. Tanpa ku sadari dari ke dua mataku mulai menetes air mata. Aku tak kuasa menahannya. Hingga basahlah kaos oblong merahku.
Pulang.
Tidak sebentar waktu yang ku perlukan untuk merenung. Dua minggu. Mencoba mengulang memory perjalanan hidup. Setidaknya selama dua tahun terakhir. Waktu begitu cepat berlalu. Di tengah perenungan, aku dikejutkan oleh suara hape ‘es em es dari siapa tuh..’ segera ku raih hape nokia N73, ku pencet tombol kiri atas, open; “Ms Mad,Ibu mnt mas plng.sgra.Indah” singkat, padat, dan langsung tepat sasaran. Sudah dua tahun ini aku gak pernah bertemu Ibu dan Indah. Setiap dapat sms atau telpon permintaan pulang, aku beralasan aku mau fokus kuliah. Gak bisa diganggu gugat. Tapi kali ini hatiku langsung mengiyakan, aku harus segera pulang.
Esok paginya aku pergi ke stasiun Gubeng. Beli tiket Jurusan Pasar Senin, Jakarta, kelas bisnis. Sorenya aku berangkat. Aku tertidur di kereta. Enam belas jam kemudian, setelah turun dari kereta, aku naik Bus jurusan Kalianda. Setelah dua jam melewati selat sunda. Tibalah aku di tanah kelahiranku. Sekali lagi aku merasakan hal yang sama sekali lain. Aku ingin sesegera mungkin sampai rumah. Menemui Ibu. Aku turun di Kecamatan Candipuro, lalu naik ojek menuju desa Candi Mulyo. Setelah berjalan sekitar 500 meter. Sampailah aku di pelataran rumah. Dengan sedikit berlari aku menuju pintu. Ku ketuk beberapa kali, ‘Ibu..Ibu..!!’. ‘Bu.. Ahmad pulang’.
Ibu adalah seorang wanita berumur lima puluhan. Wajahnya tetap cantik, meski mulai dihiasi keriput. Beliau sangat sayang kepadaku. Mulai kecil, Ibu tidak pernah menolak permintaanku. Kalau kebetulan sedang tidak punya uang, Ibu senantiasa memberiku harapan “doakan Ibu cepet dapet duit banyak ya.., biar bisa beliin Ahmad sepeda”. Begitulah ibu, tidak mau mengecewakan anaknya. Ayahku sudah meninggal sejak adikku berada dalam kandungan. Sejak itu ibulah yang menjadi tumpuan hidup keluarga kami. Ibu berperan sebagai kepala rumah tangga, seorang ibu rumah tangga, sekaligus teman belajar aku dan adikku. Itulah Ibuku, wanita terbaik yang ada dalam hidupku. Ibu lah satu-satunya alasan kenapa aku mau kuliah di Surabaya. Namun sekarang.... sudahlah.
Beberapa menit berlalu, tidak juga ada jawaban dari dalam rumah. ‘mungkin Ibu masih tidur’ pikirku. ‘Bu.. Ahmad Bu...’ ku coba setengah teriak. Sambil mengetuk daun pintu dengan kayu kecil yang bergelantungan di gawang pintu. Setelah beberapa saat, tidak juga ada sahutan. Aku pun memberanikan diri membuka pintu. Tidak terkunci, emang seperti itulah biasanya. Gak ada yang perlu dikawatiri. Aku mengecek setiap kamar. Setiap ruang, bahkan sampai kamar mandi. Hasilnya nihil. Tidak ada seorang pun. ‘mungkin lagi nonton TV di rumah Lek Abu’ seketika aku ingat satu nama, Lek Abu.
Rumah Lek Abu berjarak sekitar lima puluh meter dari rumahku. Pintu rumah lek Abu ternyata tertutup. Aku coba mengetuk pintu. ‘tok.. tok.. tok..’, ‘Lek Abu..., ini Ahmad’ Aku coba mengeraskan suara. Segera pintu terbuka, perlahan-lahan. Tapi yang ada di balik pintu bukanlah Lek Abu, tetapi seorang gadis 12 tahunan. ku coba mengenalnya. Yap, gak salah, Indah, satu-satunya Adik perempuanku. Dia sudah besar, bertambah cantik tentunya. “mas Mad...” adikku yang baru kelas 6 SD ini segera memelukku. Ia menangis sejadi-jadinya. Aku maklum. Mungkin ia kangen berat sama aku. “mas, Ibu...”, Indah bersuara lirih. Telingaku langsung merespons suara tersebut. “ada apa Indah? Ibu di mana?” tanyaku. “Hiks..hiks..hiks...Ibu...Ibu...” Tangisnya makin menjadi. Deb..!!! Jantungku terasa berhenti berdetak. Merasakan sesuatu yang amat lain. Belum pernah ku rasa sebelumnya. Ku coba menguasai situasi. Dengan tersendat-sendat Indah mengatakan “Ibu.. Ibu... meninggal 2 hari yang lalu”. DARRR...!!! seakan petir menyambar tubuhku yang kaku. Denyut nadiku berhenti. Angin pun berhenti bertiup. Hampa. Kosong. Air mataku tumpah. Tangisku pecah. “Ibu...” pekikku dalam hati. Aku merasa menjadi orang paling berdosa di alam semesta ini. Aku telah mengecewakan ibu. Aku telah menyia-nyiakan pengorbanan ibu. Dan sekarang ibu sudah pergi, selamanya, tak kan pernah kembali. Sebelum sedikit pun aku membalas pengorbanan dan kasih sayang ibu. “Oh..Ibu..!!” teriak batinku.
........................................................................................................
Kini...
Sekarang aku sedang duduk di kursi kulit yang empuk, lembut. Aku sedang berada di ruang ber-AC berukuran empat kali sepuluh meter. Menunggu staf pemasaran dan produksi untuk melaksanakan rapat. Aku tak kuasa menahan tetes air mataku. Peristiwa itu masih terasa baru. Baru saja terjadi. Masih sangat jelas tergambar di kepalaku. Peristiwa itu terjadi sekitar dua puluh lima tahun yang lalu. Sekarang aku adalah seorang manager PT. Sinar Jasa, sebuah perusahaan pengekspor produk perkebunan di lampung selatan. Produk ekspor kami berupa kopra, sawit, kina, dan coklat. Kami bekerjasama dengan beberapa perusahaan di USA, Australia, Jepang, dan China. Adikku, Indah, sekarang bekerja di RSU Metro Lampung Tengah. Ia berhasil menggapai cita-citanya untuk menjadi seorang dokter. Cita-cita yang tertanam sesaat setelah ibu kami meninggal dunia. Ia menikah dengan seorang dokter juga. Mereka sampai saat ini dikaruniai dua anak perempuan. Intan, si bungsu, duduk di bangku kelas VI SD, sementara Dewi, adiknya, baru masuk sekolah pertengahan tahun ini.
Sementara aku sendiri beristri seorang ibu rumah tangga yang super hebat. Ialah yang setiap hari mengatur segala tetek bengek keluarga. Membagi waktu belajar, bermain, dan istirahat bagi anak-anak. Sekaligus berperan sebagai sekretarisku. Kami dianugerahi tiga anak, dua laki-laki, satu perempuan. Iqbal sudah kelas tiga di SMAN Kalianda. Hafidz kelas dua SMPN 1 Kalianda, sementara si Suci satu kelas dengan keponakannya, Intan. Merekalah yang setiap hari membuat hidupku bahagia. Menjadikan hari demi hari yang ku jalani begitu berarti. Aku masih ingat pesan terakhir dari Ibu. Pesan itu disampaikan oleh adikku, Indah;
“Mad, Ndah, jadilah orang yang berguna. Wujudkan citi-cita kalian dengan kerja keras dan tidak pernah putus asa. Ingat selalu Alloh ta’ala”
...............................................................................................................................................
langit cerah. cukup dingin. di lantai tiga pesma
dini hari, enam november dua ribu delapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar