Minggu, 31 Mei 2009

selanjutnya...

Si tajud or si bonggol sudah naek kelas, kelas 2.

Di kelas 2, bonggol mempunyai lebih banyak teman dan kawan. Dan tentu lawannya pun juga bertambah. Dunia anak-anak pun tidak sepi dari persaingan, bahkan kadang menjurus keras, seperti yang dialami bonggol di kelas 1. Namun kebanyakan, atau hampir semuanya, persaingan tersebut mudah mereka lupakan. Pagi berantem, jotos-jotosan,ntar siang sudah beli jajan bareng di kantin sekolah. Sore lempar-lemparan gragal, malamnya udah bisa main petak umpet bareng pula. Mereka akan mengingatnya dengan senyuman nanti kalau udah –merasa- dewasa. Karena ketika dewasa, mereka sulit untuk mengulanginya.

Ada peristiwa menggemparkan di kelas. Suatu hari salah seorang murid berak di celana, ia pun lari keluar, dan tak ayal ia meninggalkan jejak berupa hasil metabolismenya yang kurang sempurna. Entah karena salah makan atau memang lagi nervous berat. Aku tak perlu menyebut namanya. Kalau ia membaca tulisan ini, semoga ia ingat dan besyukur karena aku masih mengingatnya.

Selama duduk di kelas 2, si bonggol mulai belajar betapa besar kasih sayang seorang guru kepada muridnya. Mbah Sam, alm. (allohumaghfir lahu warhamhu wa’afihi wa’fu ’anhu, lahul fatihah), seorang guru yang sudah cukup berumur, berwibawa, dan bersahaja. Salah satu pesan –yang sering terbahasakan melalui bahasa visual- besar beliau kepada para murid adalah; Jangan pernah mentolelir hal-hal yang sudah jelas dilarang..!! beliau tidak segan menghukum murid-murid yang melakukan pelanggaran, walau pelanggaran itu semisal gaduh di kelas saat pelajaran berlangsung. Terimakasih bapak...

Si bonggol hanya butuh satu tahun untuk menyelesaikan studinya di kelas 2. Ya, karena ada beberapa temannya yang harus menghabiskan waktu 2 tahun. Ia naik kelas 3. Usianya setahun lebih tua. Pengalamannya pun bertambah setahun.

Mulai tahun itu, si bonggol mulai mengerti apa yang disebut pri dan wanita. Tapi ia belum mengerti kenapa pria lebih banyak tertarik kepada wanita dari pada kepada sesama pria. Tapi bonggol adalah seorang pemalu. Walau ia pernah merasa tertarik kepada wanita, ia tidak pernah mengatakannya. Dan sampai sekarang pun ia tidak pernah mengatakannya. Entah sampai kapan...

Di kelas ini ada seorang guru senior yang murid-murid segani. Pak Tahid, lengkapnya pak Mujtahid, alm. (allohumaghfir lahu warhamhu wa’afihi wa’fu ’anhu, lahul fatihah) Beliau mengajrkan murid-murid pelajaran al-quran hadits dan fiqih. Salah satu peristiwa yang mungkin banyak diingat oleh murid-murid adalah; kejadian di mana pak Tahid menunjukkan apa yang terjadi bila murid-murid tidak memperhatkan pelajaran al-quran hadits. Yang jadi sample pada waktu itu adalah si Bondet. Semoga sekarang ia sudah sadar bahwa al-quran hadits adalah sangat penting bagi kita. Terimakasih bapak...

Di kelas 3 ini si bonggol mulai belajar merasa puas dan tidak puas. Semester pertama ia berhasil mendapatkan nilai yang cukup baik; cukup baik bagi orang yang 3 tahun sebelumnya tidak begitu diperhitungkan di dunia persaingan IQ. Di tengah tahun tersebut ia finish di peringkat kedua. Sungguh membanggakan. Entah kenapa, atau mungkin terlena dengan kenikmatan sesaat, ia pun mulai berulah; jarang belajar, banyak bermain dan bergurau. Di akhir tahun kelas3 ia terlempar jauh dari 10 besar, bahkan namanya tidak masuk di 20 besar dari 40-an siswa. Ia kesal, ia marah, bahkan ia mulai menyalah-nyalahkan orang, termasuk dirinya sendiri. Padahal sebelum kelas 3 ia tidak pernah merasa seperti itu. Walaupun ia tidak masuk di dalam jajaran 40 siswa dengan nilai terbaik. Masa itu menjadi salah satu masa kritis baginya. Ia baru merasakan kesejukan angin sepoi-sepoi di atas pohon asem, namun tak lama kemudian, ia terjatuh di tempat yang tak terjamah.

Si bonggol berusaha sekuat tenaga untuk melupakan ‘kegagalannya’ (waktu itu si bonggol masih mengenal kata ‘gagal’). Ia tetap naik kelas dengan nilai mepet pet… di kelas barunya ini, kelas 4, bonggol memulai untuk senantiasa maju ke depan kelas. Salah satu penyebabnya ia tak mau malu dan dipermalukan di depan kelas. Pada waktu pak Kardi mengajar pelajaran matematika, hampir setiap pertemuan beliau meminta murid maju ke depan secara berurutan untuk mengerjakan soal. Bagi yang sukses dan benar jawabannya, pertanda baik baginya. Bagi yang gagal, siap-siap berdiri lebih lama di depan kelas. Biasanya Pak Kardi meminta siswa yang sudah bisa untuk mengajari temannya yang belum bisa sampai ia bisa. Jika sampai batas waktu yang ketentuannya hanya diketahui pak Kardi anak-anak yang sudah cukup lama berdiri tadi masih belum bisa mengerjakan soal, maka mereka akan mendapatkan hukuman berupa saling jewer. Itulah mengapa dalam pelajaran yang satu ini si Bongggol termasuk salah satu siswa yang biasa mengajari temannya sampai bisa. Rasa malu dan semangat tidak mau dipermalukan telah membentuknya sedemikian rupa.

Pak sulaiman kembali menjadi guru “favorit” di kelas ini. Beliau mengajar IPS. Urutannya adalah sebagai berikut;

1. pak sulaiman masuk kelas, duduk, lalu mengucap salam.

2. setelah berdoa, pak sulaiman membuka-buka buku paket IPS berwarna hijau yang bisa dipinjam di perpus dengan membayar kas (seingat saya) Rp 5oo untuk satu tahun.

3. setelah menemukan halam yang dicari, sang guru “favorit” ini berucap: anak-anak, silahkan dibuka halaman …., dibaca bergantian dari depan pojok kanan, kalau ada yang baca yang lain menyimak yaa.. setelah selesai nanti dikerjakan sola-soal di halaman …., setelah itu hasil kerjaan dikumpul di meja.

4. ketika beberapa menit anak-anak barisan pertama membaca, pak sulaiman berangsur-angsur “menghilang dari dunia kami”, beliau akan “kembali” tepat ketika kami selesai membaca atau rampung mengerjakan soal.

Begitulah dan berulang-ulang… terimakasih atas pelajaran membacanya pak…

Di akhir tahun kelas 4, bonggol bisa tersenyum agak lebar. Ia finish di 5 besar. Bersama dengan mbak Ruroh, Athok, dan 2 temannya.

Ia pun mantap menjajaki kelas barunya, kelas 5. Tantangan baru. Semangat baru.

Bonggol kembali terlibat dalam sebuah pergumulan. Dimulai dengan bercanda, pergumulan tersebut berakhir serius. Bonggol melawan Holifyl. Se kecil melawan si besar. Terlihat kembali betapa si bonggol memang keras kepala, gak mau ngalah, apalagi mundur. Walau sudah jelas secara matematis logis ia tidak akan menang. Beruntung pergumulan itu tidak berkelanjutan. Sifat “anak-anak” masih ada di jiwa bonggol dan holifyl. Dengan mudah mereka bercanda senda gurau kembali.

Di kelas 5 ini ada seorang Guru yang dikenal sangat tegas, bahkan ada yang menyebut sangar. Terutama anak-anak yang sering melanggar peraturan. Namun bagi bonggol guru inilah salah satu guru favoritnya. Pak Damanuri namanya, guru pelajaran IPA dan Penjaskes. Sejak saat itu si bonggol mulai gemar belajar IPA (lebih detai mengenai ini akan diceritakan ketika si bonggol sudah hendak lulus).

Salah satu Guru favorit yang seharusnya disebut di sini sejak bonggol duduk di kelas 4 adalah Mbah Haji Subakir. Kepala sekolah MIS Barek pada waktu itu. Beliau mengajar bahasa arab di kelas 4,5,6, matematika di kelas 5 dan 6. Beliau merupakan salah satu guru yang sangat berwibawa. Anak-anak tidak akan banyak bertingkah bila beliau sudah memulai pembicaraan. Selain mengajar ilmu secara praktis, beliau senantiasa mengajarkan kejujuran, keuletan, kerjakeras, rajin beribadah, hormat dan ta’dhim, dan berbagai nilai-nilai lainnya. Allohuman_fa’na bihi wabi’ulumihi fi daroini amiin.

Salah satu ujaran beliau yang masih mengiang-ngiang dan menginspirasi kami adalah; “selama masih diberi kemampuan dan kekuatan, saya akan mengabdikan diri saya di madrasah ini, saya tidak akan berhenti mengajar”. Sebuah dedikasi dan totalitas yang luar biasa, yang muncul dari seorang Guru, tokoh masyarakat, Kyai, dan sesepun desa. Dan kata-kata beliau itu masih bisa dilihat, didengar, dan dirasakan sampai hari ini.

Bonggol naik kelas 6. Jenjang tertinggi di MIS Barek. Saya akan berusaha mengingat nama guru-guru kami sebanyak-banyaknya. Bu ida, bu Eni, pak Sulaiman, Mbah sam, pak Tahid, pak jailani, bu Sundari, pak hadi, pak Damanuri, pak Jakfar, pak Kardi, mbah haji Bakir, (dan semua guru yang –maaf- saya tak mampu mengingat lagi nama beliau) Allohuman_fa’na bihim wabi’ulumihim fi daroini amiin.

Saya juga akan berusaha mengingat nama teman-teman saya. Alfian, mbak ruroh, mbak anik (kidul), mbak anik (lor), laila, budi, tajuddin, faif, hari kemen, topa B, harun, Kadis, fery, Adib, Ima, Aan, Munir, Budi, Gino, Sana, Sani, Endang, Dewi, Nurul, Topa A, Kholis, Bondet, farid, hanif, lisa, nova, dan yang –maaf- saya tidak mampu lagi mengingatnya. Terus berjuang kawan..! semoga kita bisa berjumpa lagi, dalam keadaan yang lebih baik.

Di kelas ini bonggol mulai belajar menatap hari esok. Ke mana arahnya, apa tujuannya, cita-citanya. Cita-cita bonggol pada waktu itu adalah menjadi pedagang. Cita-cita yang terus ia pertahankan sejak pertama ia menulis apa cita-citanya. Hal tersebut tak lepas dari kenyataan bahwa Ayah si bonggol ini adalah seorang pedagang. Pedagang arit, pacul, pangot, gancu, dan mbako. Si bonggol sangat terinspirasi oleh ayahnya, hingga ia ber-asa agar bisa meneruskan jejak perjalanan sang ayah. Ya, ia sadar dan tahu (walau dengan makna yang lebih sederhana) ayahnya lah yang telah menafkahinya sejak ia masih di kandungan sampai ia bisa berjalan, berlari, dan mungkin nanti “terbang”. Ayahnya tidak hanya menafkahinya dengan beras, sayur, lauk-pauk, susu dan jajan, tetapi juga dengan hal, ruh, serta sirr. Dan justru yang nafkah terakhirlah yang lebih berguna baginya di hari-hari selanjutnya.

Si bonggol juga senantiasa mengingat betapa Ibunya menyayanginya dengan sangat. Tidak pernah satu kali pun sang ibu menolak permintaan si bonggol. Ibunyalah yang setiap hari menyiapkan makanan kesukaanya. Ibunyalah yang dengan penuh kehangatan memeluknya ketika ia demam dan kedinginan. Ibunyalah yang dengan lembut memijatnya ketika ia kecapekan. Ibunyalah yang pertama kali mengingatkan jika ia berbuat kesalahan. Ibunyalah yang senantiasa mengusahakan apa yang ia minta. Ya, ibunya…

Di kelas ini bonggol masih mampu mempertahankan prestasinya di 5 besar. Ia memang masih kalah dengan mbak Ruroh, putri pertama pakdenya. Tapi ia masih punya asa, suatu saat ia akan menang. Ia berusaha dengan ‘segala cara’ agar dapat melewati prestasi mbak Ruroh. Dan hasil akhirnya adalah; sampai akhir sekolah di MIS Barek, ia tetap tak mampu mengalahkan kakak sepupunya tersebut. Ia kalah, namun ia masih merasa menang. Ia merasa menang karena ia punya asa untuk menang.

Ujian akhir datang. Ada satu tantangan datang dari pak Daman, guru IPA. Jika bongggol mampu mendapat nilai IPA minimal 8, ia akan mendapatkan hadiah. Entah berapa sebenarnya nilai IPA yang berhasil diraih si bongggol. Namun yang pasti pak Daman memberi hadiah khusus kepada bonggol beberapa hari sebelum bonggol meninggalkan bangku MI-nya.

Saat yang paling mendebarkan telah tiba; pembagian ijazah. Sebelum pak Bakir membagikan hasil ujian berupa dua lembar kertas. Pak menanyai satu per satu siswa; ke mana kalian akan melanjuutkan study kalian? Dengan mantab bonggol menjawab MTs Wali Songo, sebuah madrasah setingkat SLTP yang baru beroperasi secara resmi selama 1 tahun. Tapi memamng itulah pilihan bonggol. Sementara yang lain ada yang menjawab MTs Doho Dolopo, SMP Dolopo, MTs Kembangsawit, dan lai-lain.

Kali ini, kembali bongggol diuji, ia tidak berhasi mencapai target yang ia tetapkan. Dari 5 mata pelajaran, ia hanya mampu meraih nilai total 37 koma sekian. Masih kalah dengan temannya, farid, yang mampu meraih 40 koma sekian. Dan entah, ia tak tahu berapa nilai yang dicapai oleh temannya yang lain. Namun sekali lagi, bonggol tidak mau berlama-lama memikirkan hasil ujiannya. Ia lebih memilih melupakan kekalahan yang kesekian kalinya itu. Ia kembali menyiapkan segalanya, ia kembali menatap hari esok…

(edisi TK-MI sudah rampung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar